Harry baru saja keluar dari kamar mandi yang berada di dalam kamar Hans ketika sebuah getaran dari atas meja mengejutkannya. Dengan langkah lebar, ia bergegas menghampiri benda itu. Sebuah pesan beruntun masuk
memenuhi notifikasi pada layar ponsel miliknya. Harry mengernyit ketika mendapati sebuah nomor baru yang tidak ia kenal. Didorong oleh rasa penasaran, Harry segera membuka pesan-pesan itu. Dan jantungnya langsung berlompatan ketika Si Pengirim Pesan menyebutkan identitasnya.
“Aira?” gumam Harry pelan tanpa sadar. Sudut bibirnya langsung terangkat. Ada kebahagian yang menelusup dalam hatinya ketika tahu siapa yang menghubunginya. Begitu tahu siapa sosok yang berada di balik nomor
baru itu, Harry langsung membuka beberapa pesan lainnya. Dan seketika langsung tertegun.
“Harry, apa kabar? Maaf, bukan maksudku turut campur dalam urusanmu. Meskipun kita baru saja bertemu secara resmi, tapi aku sudah mengenalmu sejak setahun silam. Kita masuk di universitas yang sama. Dengan jurusan yang sama. Kita memang tidak pernah saling bertegur sapa, apalagi berbincang. Tapi aku tahu pasti kau bukanlah tipe pria yang suka berbohong. Tentang tugas dari universitas yang menjadi alasanmu meninggalkan makan malam itu, bukankah tidak pernah ada? Kau memang terlihat tersenyum ketika pergi, tapi kau menyimpan kegelisahan yang begitu besar. Dua hari telah berlalu, kau tak kunjung kembali. Kau juga tidak menghubungiku. Apa kau sedang ada masalah? Atau, kau tidak menginginkan perjodohan kita? Jika kau keberatan, kita bisa bicarakan baik-baik. Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya membutuhkan kejelasan. Kuharap kau senantiasa dalam kebaikan. ─Aira.”
Harry menghela napas panjang ketika selesai membaca pesan dari satu-satunya gadis yang mampu membuka hatinya. Ada perasaan bersalah sekaligus penyesalan ketika membiarkan gadis itu menunggu tanpa sepatah kata pun darinya.
Dengan perasaan sedikit bimbang, Harry menekan icon bergambar telepon berwarna hijau. Ia menggigit bibir ketika dering pertama terdengar. Tangannya mulai basah oleh keringat ketika beberapa saat berlalu dan panggilannya belum mendapat jawaban. Pemuda itu hampir saja memutuskan untuk menutup panggilannya ketika suara lembut tapi tegas mengalun merdu menyapa gendang telinganya. Membuat pemuda itu langsung memejamkan mata dilingkupi perasaan yang sulit sekali dipahaminya. Satu hal yang pasti, jantungnya berdegup kencang. Ia kembali menggigit bibir untuk menenangkan degup jantungnya yang diluar kendali. Mengalirkan perasaan gugup yang asing baginya.
“Halo?” sapaan itu kembali terdengar ketika Harry tak kunjung menyahut.
Harry menutup layar ponsel di tangan kanannya dengan telapak tangan kiri dengan maksud menyembunyikan suara tarikan napasnya. Sebelum akhirnya kembali mendekatkan posnsel itu di telinga dan memutuskan untuk berbicara. “Aira, ini aku Harry,” kata Harry dengan nada suara setenang mungkin. Berusaha agar debaran jantungnya tidak terdengar lawan bicaranya, atau jika tidak, pasti akan sangat memalukan.
“Ya, Harry. Kau pasti sudah membaca pesanku. Jika tidak, kau pasti tidak akan menghubungiku,” terdengar kekehan renyah di ujung kalimat gadis itu. Membuat Harry yang sudah susah payah menenangkan debaran
jantungnya harus berusaha lebih keras lagi. “Apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan?” sambung gadis itu langsung pada intinya.
Harry menghela napas, tersenyum lembut meski lawan bicaranya tidak bisa melihatnya. Aira tetaplah Aira. Gadis yang memiliki pemikiran yang jauh lebih matang dari rata-rata gadis seusianya. Ia selalu realistis dan bersikap bijaksana. Sebuah posona yang mampu memikat Harry tanpa kegagalan. Karena itulah, Harry memutuskan untuk mengatakan kebenaran yang terjadi tanpa berusaha menutup-nutupinya lagi.
“Maafkan aku, Aira. Aku terpaksa berbohong. Malam itu, sahabat Qaireen yang menghubungiku. Ia mengatakan bahwa Qaireen menghilang sejak pagi ketika berada di lembah saat menikmati pesona arka. Malam itu juga
aku langsung ke sana bersama beberapa orang teman. Berusaha keras menemukan keberadaan adikku yang malang itu. Tapi …” hening sejenak,dari seberang telepon Aira pasti bisa mendengar suara tarikan napas berat. Membuatnya tak mampu berkata-kata. “Sampai detik ini, kami belum berhasil menemukan jejaknya,” jelas Harry.
“Harry,” gumam gadis itu dengan suara lembut penuh simpati. “Maafkan aku. Tidak seharusnya aku menambah beban pikiranmu dengan pesan yang baru saja kukirimkan,” sambung Aira dengan nada penyesalan yang sangat.
Harry terkekeh pelan, “Tidak apa, Aira. Aku mengerti. Aku sama sekali tidak keberatan dengan perjodohan kita. Sebaliknya, aku … aku senang bawah gadis yang dipilihkan orangtuaku ternyata adalah kamu,” gumam Harry pelan, sepelan desau angin yang menyibak lembut kelopak bunga tabebuya yang bermekaran di taman. Membuat wajah Aira langsung disengat rasa panas yang membuatnya terlihat memerah laksana lobster yang direbus.
“Kau ada di mana sekarang? Sebelum ke luar negeri, aku tergabung dalam tim SAR pendakian. Mungkin ada beberapa hal yang bisa kulakukan,” sela Aira cepat, mengalihkan topik pembicaraan. Hal yang langsung membuat
Harry tersenyum. Aira tidak menolak atau pun membantah kalimat pernyataannya, apakah itu berarti gadis itu juga memiliki perasaan yang sama dengannya?
“Terima kasih atas niat baikmu, Aira. Tapi Hans sudah menyebar anak buahnya sekarang. Aku sendiri sedang dalam perjalanan pulang bersama Hans untuk memberitahu Ayah dan Ibu, sekaligus menemui seorang paman kenalan Hans di Lembah Tersembunyi yang mungkin bisa membantu menemukan Qaireen,” jelas Harry.
“Oh, ini pasti akan berat bagi Tante. Jam berapa kau datang? Aku akan menemani Tante,” sahut Aira penuh ketulusan.
Demi mendengar pertanyaan itu, hati Harry langsung dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran. Berbagai spekulasi pun muncul dalam benaknya layaknya seorang gadis yang sedang dilanda asmara. Tapi tidak, ia harus tetap realistis. Aira tulus mengatakan ingin menemani ibunya. Aira bukanlah tipikal gadis yang suka berbasa-basi dan bermanis-manis di mulut. Tapi, tetap saja. Ada perasaan jahil yang sulit dikendalikan dalam diri Harry.
“Kau sungguh calon menantu yang baik,” kelakarnya dengan seringai lebar. Tersenyum membayangkan betapa wajah lembut gadis itu pastilah dipenuhi semburat merah karena malu.
Terdengar suara deham ringan sebelum suara tegas menyusul, “Bicara sesukamu, Harry. Tapi kau harus tahu, ini bukan saat yang tepat untuk merayuku,” balas gadis itu dengan nada tegas. Meski demikian, Harry yang memiliki pendengaran setajam kelelawar masih mampu mendeteksi getar kegugupan di sana, walau samar. Membuatnya tersenyum dan semakin tertarik menjahili gadis pujaan hatinya.
“Apakah itu artinya aku bisa merayumu─”
Suara deheman keras memutuskan kalimat Harry yang terkejut dan langsung menoleh hanya untuk mendapati Hans sudah berdiri di ambang pintu kamarnya seraya melipat kedua tangannya di dada. Berjalan mendekat dengan sangat mencurigakan. Membuat Harry langsung memiliki firasat buruk.
“Beraninya kau menghubungi wanita lain di kamar kita, Sayang!” serunya dengan suara melambai yang disengaja. “Apa kau lupa apa yang kita lakukan semalam, huh?” sambungnya dengan nada keras nan provokatif. Membuat Harry langsung terbeliak dan membuka mulutnya bingung. Apa-apaan? Kesambet setan jenis apa makhluk ini?
Sebenarnya, Hans hendak memanggil Harry karena ia sudah selesai makan. Mengajaknya bergegas dan bermaksud menarik paksa jika sahabatnya itu masih asyik berendam air hangat. Tapi, percakapan Harry dengan
seorang gadis yang pasti merupakan hal yang sangat, sangat, sangat langka, membuat jiwa jahilnya terusik. Sejak kapan seorang Harry berbicara begitu lembut dengan seorang gadis di telepon? Senyum jahil pun terbit dari kedua
bibir tipisnya.
“Har-ry?” Harry langsung panik ketika mendengar suara terbata penuh tanya dari ponsel yang masih menempel di telinganya. Aira pasti telah mendengar segala bentuk omong kosong Hans. Tidak, dia tidak boleh salah paham.
“Jangan dengarkan dia, Aira! Dia Hans. Teman yang kuceritakan. Dia suka makan rumput seperti keledai, karena itulah otaknya sedikit bermasalah. Sepuluh menit lagi aku sampai di rumah. Sebaiknya kau segera datang,” jelas Harry cepat. Dan tanpa pernah ia duga, gadis di seberang sambungan justru tertawa renyah. Eh, dia tidak marah? Harry menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa kesulitan memahami perasaan wanita.
“Baiklah. Hati-hati di jalan. Sampai jumpa,” kata gadis itu sebelum menutup telepon. Bahkan sisa tawa masih mengekori setiap kalimat yang ia ucapkan. Membuat Harry tersenyum, meski ia tidak begitu mengerti apa yang lucu dari ucapannya yang membuat gadis itu tertawa sedemikian menyenangkan. Tapi senyum itu tidak bertahan lama. Ia merasakan ada sesuatu yang menusuk punggungnya. Dan segera berbalik untuk memastikan dugaannya. Benar saja, Si Tuan Muda Hans tengah berdiri di sana dengan tatapan mendelik tajam sempurna dengan bibir yang mengerucut seperti pantat ayam. Membuat Harry nyaris tergelak.
“Beraninya kau menyebutku seperti keledai, huh? Aku harus menghukummu!” ancamnya galak. Berjalan cepat merangkul leher Harry dan menyeretnya keluar kamar sambil menggeram, “Cepat katakan, siapa gadis itu, huh? Bagaiamana bisa kau berbicara begitu lembut dengannya?”
Harry meronta kesakitan, tapi Hans sama sekali tidak terpengaruh. Harry tahu betul sifat Hans. Ia tidak akan melepaskannya sampai ia mendengar apa yang ingin ia dengar, “Oke-oke! Dia calon istriku, puas? Sekarang
lepaskan aku, Idiot! Aku tidak bisa bernapas!” seru Harry dengan napas tersenggal. Hans terus saja menggiringnya sampai ke ruang tamu dengan posisi sedemikian merusak reputasinya sebagai pria keren.
Keterkejutan membuat Hans terhenti. Ia menatap sahabatnya itu dengan mulut terbuka tak percaya, lantas tertawa, “Oh astaga! Istri? Kau bilang calon istri? Sejak kapan? Bahkan tiga hari yang lalu kau masih jomlo terhormat yang menolak segala macam jenis gadis yang mendekatimu?” tanya Hans penuh selidik.
“Dia gadis yang dijodohkan orangtuaku tepat sehari sebelum Qaireen pergi. Dan tepat di malam aku mendengar Qaireen menghilang, aku meninggalkannya begitu saja di acara jamuan rekan bisnis Ayah. Kami sudah kenal lama. Teman satu universitas. Bahkan satu jurusan dan satu kelas,” jelas Harry sambil bersungut-sungut membenarkan kerah kaos polonya setelah Hans tanpa sadar melepaskannya karena rasa kejamnya terkalahkan oleh rasa penasaran.
“Oh, oh, tapi aku tahu kau luar dalam, Kawan. Bahkan ukuran celana dalammu pun aku tahu,” Hans mengerling jahil, membuat wajah Harry langsung memerah karena malu, merutukki dirinya yang membeli pakaian dalam bersama Hans kala masa sekolah dulu. “Kau tidak mungkin langsung bisa berbicara selembut itu meskipun ia calon istrimu jika kau tidak menyimpan perasaan apa pun sebelumnya, katakan jika aku salah?” sambung Hans tanpa ampun menguliti isi pikiran Harry. Dan tertawa bahak ketika wajah sahabatnya itu semakin merah, semburat merah memenuhi seluruh wajahnya yang seputih salju.
Harry berdeham untuk menetralkan rasa malunya. “Tutup mulut, Hans! Kita harus bergegas!” selanya cepat. langsung berjalan menuju mobil, sama sekali tidak memberi kesempatan bagi Hans untuk terus melontarkan godaan padanya.
Hans hanya tersenyum dan mengangkat bahu, sebelum akhirnya menyusul Harry. Ada hal yang lebih penting saat ini yang harus menjadi prioritas daripada kisah asmara sahabat sok kerennya ini.
Hans duduk di balik kemudi dengan tenang. Meski demikian, kakinya menginjak pedal gas dengan sangat kuat. Melajukan kendaraan jenis jeep itu layaknya mobil balap. Memangkas hampir separuh dari waktu yang diperlukan
dalam kecepatan normal. Harry sama sekali tidak protes dengan gaya mengemudi Hans, karena ia tahu Hans adalah raja jalanan. Yang menguasai medan terjal maupun datar. Ia sudah sangat lihai mengemudi di jalanan becek, berkelok, dan terjal di tengah hutan. Aspal yang mulus dengan puluhan kendaraan yang melaju bukanlah masalah baginya.
Hanya butuh waktu kurang dari tujuh menit mereka telah sampai di kediaman keluarga Dharmawan.
Harry langsung melompat turun ketika melihat ibunya tengah berdiri di taman, terlihat sibuk memangkas batang mawar agar tumbuh tunas baru yang lebih besar dan sehat. Pemuda itu langsung memeluk ibunya erat. “Ibu, maafkan Harry,” gumam Harry sambil menenggelamkan wajahnya di bahu ibunya yang terlihat kebingungan. Putranya ini sudah dua hari tidak pulang dengan alasan mengerjakan tugas kuliah. Lalu tiba-tiba datang dan langsung memeluknya dan meminta maaf. Ada apa?
“Anak nakal,” gerutu wanita 40 tahunan yang masih terlihat sangat cantik itu. “Hai, Nak Hans, apa kabar?” sapa wanita itu pada Hans yang terlihat tersenyum canggung melihat Harry menghambur memeluk ibunya. Sekeren dan semenakjubkannya Harry di luaran sana, ia tetaplah anak mama yang tanpa rasa malu mengekspresikan perasaannya.
“Baik, Tante. Tante sendiri apa kabar?” balas Hans. Obrolan mereka pun berlanjut sampai ke ruang tamu. Saling bertanya kabar dan hal-hal ringan. Sementara itu, Harry terlihat lebih pendiam daripada biasanya. Pikirannya dipenuhi kabut kebimbangan. Ia mengalami kebingungan bagaimana ia harus mulai bercerita.
Tapi ia tak punya pilihan. Batas yang diberikan Hans untuk awak media agar tidak mengekspos berita hilangnya Qaireen hanyalah tiga hari. Terhitung sejak pagi hari menghilangnya Qaireen. Dan mereka hanya memiliki waktu sehari lagi untuk menemukan Qaireen tanpa pemberitaan. Jika besok Qaireen tidak juga ditemukan, maka berita-berita di saluran informasi pasti akan langsung menapilkan isu terhangat ini. Harry tahu betul betapa update-nya
Ayah dan Ibunya terhadap segala informasi. Tentu tidak akan baik jika orangtuanya mengetahui perihal putrinya yang hilang dari media informasi. Tidak. Harry tidak punya pilihan. Bagaimana pun caranya, ia harus mengatakannya sekarang. Ia melirik jam tangannya gelisah. Menunggu kedatangan Aira dan dengan segera akan menyampaikan berita pahit itu pada ibunya. Ayahnya sedang berada di kantor. Kehadiran Aira akan sangat membantu terutama ketika ia harus segera pergi bersama Hans ke Lembah Tersembunyi.
Tidak lama kemudian, suara bel berbunyi dari pagar depan. Menandakan kedatangan seseorang. Harry melirik melalui jendela, menghela napas lega ketika gadis yang ditunggunya telah datang.
Begitu memasuki ruang tamu yang langsung disambut hangat oleh ibunya, pandangan Aira dan Harry saling bertemu, kilatan canggung tampak jelas terlihat dari pendar kedua mata mereka. Membuat Hans yang sangat jeli langsung tersenyum ketika menyadari situasi yang terjadi. Aira gadis yang sangat cantik dengan wajah polos tanpa sedikit pun makeup yang menghiasi wajahnya. Sinar matanya tampak sangat cerdas. Sopan. Dan apa adanya. Ia terlihat sangat anggun bahkan hanya dengan kaos panjang dan celana katun yang longgar menyerupai kulot. Senyumnya yang tulus dan terlihat sangat natural akan dengan mudah membuat kaum pria jatuh terjerembab dalam pesonanya. Pantas saja Harry terpikat olehnya. Tanpa sadar, Hans mengangguk-angguk setelah melemparkan tatapan penuh penilaian secara samar pada sosok tinggi semampai yang tengah berbincang dengan calon mertuanya. Membuat Harry menyikut perut sahabatnya itu sedikit lebih keras, yang efeknya langsung terasa. Hans meringis kesakitan.
Setelah perkenalan singkat, Hans merasa gadis itu memberikannya tatapan bersahabat sekaligus tawa tertahan. Membuat pemuda itu mengangkat sebelah alis dan tersenyum maklum.
“Sekarang waktunya,” bisik Hans.
Harry beranjak berdiri, mengambil posisi duduk tepat di samping kanan ibunya. Sementara di samping kiri, ada Aira yang juga telah siap memberikan pelukan pada ibunya jika ada sesuatu yang tidak diinginkan.
Setelah meminta maaf, Harry pun dengan lancar menceritakan apa yang terjadi. Segala hal mulai dari acara jamuan makan malam hingga kepulangannya saat ini. Berusaha tidak melewatkan detail apa pun dalam ceritanya. Seperti yang telah ia duga, ibunya langsung lunglai dengan air mata deras mengalir, kedua bibirnya terus memanggil nama putrinya dengan suara yang membuat hati Harry seperti tercabik.
Aira langsung mengambil perannya, merangkul tubuh lunglai calon ibu mertuanya. Memberikan ketenangan melalui pelukan lembutnya.
Sementara Hans, ia dengan nada suara yang terdengar penuh keseriusan─bahkan Aira pun sedikit terkejut karena kepribadian Hans yang ia lihat sangat bertolak belakang dengan kelakuannya ketika ia berbicara dengan Harry melalui telepon─mulai meluncurkan kata-kata menenangkan layaknya sebuah hipnotis. Membuat Harry merasa sedikit lebih lega saat ibunya terlihat lebih tenang. Hans juga berjanji akan melakukan segala cara untuk menemukan Qaireen. Kesemapatan itu ia gunakan untuk mengutarakan tujuannya sekarang. Ia dan Harry harus
menemui seseorang yang mungkin bisa membantu. Dan memohon do’a agar urusan mereka dipermudah dan diringankan.
Harry mengecup lembut kening ibunya sebelum berpamitan. Dan ibunya langsung menangkup wajah putranya dengan tatapan penuh harapan, “Ini semua salah Ibu, Nak. Andai saja waktu itu Ibu mendengarkanmu, pasti tidak akan ada kejadian hari ini,” isaknya pilu.
“Tidak, Ibu. Tidak ada yang bisa menyalahkan takdir. Semua sudah terjadi. Tidak ada yang perlu disesali. Ibu, Aira akan di sini menemani Ibu sementara Harry dan Hans akan mencari cara untuk menemukan Qaireen. Bagaimana
pun caranya.” Setelah berkata demikian, Harry memohon pamit pada ibunya. Mengucapkan terima kasih pada Aira yang menatapnya lembut penuh dukungan. Cukup. Tatapan itu sudah cukup memberinya kekuatan untuk tidak pernah menyerah atas Qaireen. Tunggu Kakak, Anak Nakal! Aku pasti akan membawamu pulang!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Lidia kando nababan Lidia
wowwww
cakep benar tu harry 😳😳
2021-03-14
1
Sumiati
cakep 😅😅
2020-09-12
1