“Oh, kumohon, Pangeran. Berhentilah melakukan hal-hal berbahaya seperti ini. Jika Kaisar mengetahuinya, kita bisa celaka," kata seorang pria yang menggunakan pakaian kebesaran putra mahkota dengan gusar. Pakaian itu terlihat seperti karung ketika ia gunakan. Sangat tidak pas di tubuhnya. Jelas sekali bahwa pakaian itu dijahit khusus bukan untuknya.
“Tenang saja, Paman. Tidak akan ada yang tahu selama Paman bisa mengendalikan diri untuk tidak memberitahukan apa pun pada orang lain.” Sosok dengan postur tinggi tegap dengan paras rupawan itu tampak mengendap-endap dalam keremangan setelah menukar pakaian kebesarannya dengan pakaian pelayan. Mata sewarna aquamarine miliknya berbinar penuh semangat. Tampak antusias sekali berbuat pelanggaran.
“Tapi, Pangeran─”
“Ayolah, Paman Han. Aku hanya ingin berjalan-jalan sebentar. Tunggu di sini sampai aku kembali. Paman mengerti?” perintah sang pangeran. Han, sang pelayan tidak bisa membantah. Ia mengangguk, meski wajahnya diselimuti kekhawatiran. Ia adalah pengasuh pangeran sejak kecil. Pangeran Liu Zhi yang keras kepala dan susah diatur. Ratusan kali ia mengingatkan untuk tidak memanggilnya “Paman”, tapi tetap saja. Panggilan itu selalu dilekatkan padanya. Tidak peduli di mana pun mereka berada. Termasuk di hadapan para pejabat dan kaisar. Yang mengundang dengusan tidak suka dari para pejabat dan gelengan maklum dari kaisar. Bagaimana tanggapan si putra mahkota terhadap sikap pejabat? tentu saja ia hanya tersenyum dan mengangkat kedua bahu tidak peduli.
“Oh, Han yang malang. Mungkin ini terakhir kalinya kau bisa melihat sinar matahari sebelum Kaisar memenggal kepalamu,” ratap Han pilu. Membuat Liu berbalik dan tertawa pelan.
“Tenang saja, Paman. Tidak ada yang akan memenggal kepalamu. Aku tidak akan lama. Oke?” katanya seraya menepuk-nepuk bahu Han, mengerling jahil. Lantas segera berbalik, menyelinap ke luar dinding batu besar yang menjulang setinggi sepuluh meter. Meninggalkan pengasuhnya dalam kekhawatiran.
Dalam diri Liu Zhi, mengalir darah seorang kaisar hebat dan kuat. Mudah saja baginya menyelinap dari penjaga tanpa pernah ketahuan. Melenggang keluar kompleks istana dengan aman. Tersenyum lebar ketika telinganya mendengar ranting-ranting kering berkeretak saat diinjak.
Hamparan hutan luas siap menyambutnya. Pohon-pohon tinggi menjulang. Membentuk kubah besar yang menaungi dasar hutan. Inilah yang ia inginkan. Kebebasan. Bebas berkelana ke segala penjuru mata angin. Menikmati kesibukan makhluk-makhluk lain di bumi.
Liu menghirup napas dalam sebelum melangkahkan kakinya menuju tempat yang sudah ia petakan dalam ingatan. Di seberang hutan, ada danau sangat luas dengan kejernihan air menyerupai kristal. Ke sanalah kakinya diperintah. Ia ingin mandi di danau itu. Menikmati kesegaran air dan bermain bersama ikan-ikan besar di danau.
Begitu sampai di perbatasan hutan, cahaya hangat matahari menerpa wajahnya yang seputih susu, sebening kristal. Membuatnya tampak berkilauan mempesona.
Liu semakin bersemangat melangkahkan kakinya ketika melihat hamparan padang yang dipenuhi jutaan batang bunga arka yang siap mekar. Dia juga bisa melihat banyak tenda didirikan di sekitaran danau.
Pemuda dengan surai putih keperakan itu tersenyum lebar. Ia tidak peduli dengan kehadiran mereka, para manusia. Karena pada kenyataannya, makhluk-makhluk fana itu tidak bisa melihatnya. Kecuali jika ia ingin memperlihatkan diri. Dengan begitu, ia akan dengan leluasa berkeliaran di antara mereka tanpa membuat keributan.
Liu meregangkan tubuh sejenak. Sebelum tanpa ragu berjalan dengan langkah lebar mendekati bibir danau yang terlihat sangat jernih.
Saat berjalan, tanpa sengaja bahunya menyenggol daun bunga arka yang tumbuh subur dengan tinggi batang nyaris dua meter. Seketika, langkahnya terhenti. Ia tersenyum lebar dengan mata berbinar, sebelah tangannya terangkat untuk menyentuh kuncup bunga arka. “Tiga hari lagi, aku akan ke sini. Akan kunikmati pesona indahmu. Jangan khawatir,” tuturnya lembut. Lantas kembali berjalan. Ia melenggang santai di tengah banyak orang yang sedang menikmati pesona matahari terbit.
Setibanya di bibir danau, pemuda itu langsung melepas baju luarnya, yang merupakan baju yang ia pinjam dari pengasuhnya. Menyisakan baju dalam berwarna putih yang membungkus seluruh tubuh. Khas pakaian dalam seorang pangeran. Tanpa berpikir dua kali, ia langsung melompat ke dalam air. Menyelam di kedalaman untuk melihat ada apa di dalamnya. Karena ini merupakan kali pertama ia datang.
Saat pandangannya tertawan oleh ikan-ikan pelangi dan rimbunnya rumput air, ia melihat ular putih yang sedang menarik sesosok manusia. Kedua alisnya saling bertautan. Dahinya mengernyit dalam. Ular itu bukan ular dari dunia fana. Jelas, ular itu berasal dari bangsanya. “Ular sialan, beraninya ia merusak keseimbangan!” jiwa kesatrianya bangkit. Ia langsung berenang menuju pusaran air yang diciptakan ular putih untuk menarik manusia masuk ke dalamnya.
“Lepaskan manusia itu!” serunya dengan suara tegas, tenang, dan dalam. Tentu saja ini hasil dari latihannya bertahun-tahun di akademi istana. Si Ular Putih tampak tersentak saking terkejutnya. Ia menoleh perlahan, dan langsung menunduk memohon ampun saat tahu sedang bicara dengan siapa.
“Maafkan hamba, Pangeran. Apa gerangan yang membuat Pangeran datang ke tempat hamba?” tanya Si Ular Putih dengan suara sedikit bergetar karena rasa takut. Tak pernah terpikirkan dalam benaknya ia akan ditegur sang pangeran. Karena yang ia tahu, sang pangeran hidup di dalam istana yang megah dan tak pernah bepergian sejauh ini. Terutama jika usia sang pangeran masih di bawah umur. Seharusnya ia belum diperkenankan keluar istana, apalagi tanpa pengawalan.
“Kenapa kau menarik manusia itu ke dasar, Paman Ular? Apakah kau melupakan kesepakatan leluhur kita dengan bangsa manusia?” tanya Liu menuntut penjelasan. Kedua alisnya menukik tajam, menimbulkan kerutan di dahi yang semakin dalam.
Si Ular Putih menelan ludah. Kata-kata sulit keluar dari lisannya. Usia pemuda di hadapannya memang terpaut ratusan tahun. Tapi, aura kekuatan yang ia miliki sungguh membuatnya ingin menenggelamkan diri ke dasar sungai saat itu juga.
“Katakan, Paman Ular,” tegas Liu sekali lagi.
“I-iya, Pangeran. Hamba sungguh tidak bermaksud melanggar perjanjian para leluhur. Tapi, manusia itu yang memulai. Dia membuang kotoran ke lubang tanpa permisi. Mengotori rumah sekaligus tubuh hamba dengan kotorannya. Manusia itu pantas mendapat hukuman, Pangeran,” jelas Si Ular Putih membela diri.
Demi mendengar itu, Liu mengernyitkan dahi. Menatap lekat ular putih yang kini menunduk takzim di hadapannya. Dari gestur tubuhnya, Liu tahu ular putih ini tidak sedang berbohong. “Jika demikian yang terjadi, kita tidak perlu mencelakainya, Paman Ular. Kita tinggal memberikan mereka sedikit peringatan. Kurasa itu cukup,” tutur Liu bijak.
“Tapi, mereka sangat bebal, Pangeran. Mereka akan segera melupakan peringatan. Dan akan terus mengulanginya lagi, lagi, dan lagi. Mereka harus diberi pelajaran,” tuntut Si Ular Putih. Menatap sang putra mahkota takut-takut.
“Tidak, Paman Ular. Hal itu memang mudah dilakukan. Paman bisa memuaskan amarah. Tapi masalah yang sesungguhnya baru dimulai. Hal ini akan menimbulkan percikan pertikaian antara manusia dan bangsa kita. Tolong, kendalikan diri Paman. Masalah ini, biar aku yang menyelesaikan. Dan kuharap, kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi. Jika aku mengetahuinya, aku tidak akan segan-segan bertindak tegas pada Paman,” tegas Liu seraya menatap lekat ke arah mata reptil ular putih di hadapannya. Ular putih sebesar pohon kelapa itu tampak tak berdaya. Kepalanya menunduk dengan sikap patuh.
“Baik, Pangeran,” sahut Si Ular Putih seraya menunduk hormat.
Setelah Liu memastikan kalimatnya bisa dimengerti dan ditaati, ia melesat menuju sesosok tubuh manusia yang bergerak perlahan nyaris tenggelam. Dengan gerakan secepat kilat, Liu merangsek menarik pinggang sosok manusia yang dari ciri fisiknya, seorang gadis. Matanya terpejam erat dengan mulut sedikit terbuka. Liu tahu gadis itu sedang di ambang pintu kematian. Ia segera menggendong gadis itu ke tepian. Melingkupinya dengan kabut gaib agar manusia lain tak mampu melihat mereka. Dengan kekuatan yang ia miliki, ia menyalurkan tenaga dalam untuk mengeluarkan air danau dari tubuh si gadis. Memberikan ruang udara ke dalam tubuhnya.
Tak berselang lama, gadis itu terbatuk-batuk dengan mulut yang memuntahkan air. Ia langsung terduduk dengan sebelah lengan menumpu tubuhnya. Berusaha bernapas dengan benar. Belum menyadari sosok pemuda yang sedang berjongkok memperhatikkan di sampingnya.
“Bagaimana keadaanmu? kau baik-baik saja?” tanya Liu, tersenyum.
Seketika, si gadis berambut panjang menoleh dengan tampang keterkejutan maksimal. Manik sewarna madunya membulat sempurna. Mulut kecilnya berkali-kali membuka dan menutup. Hendak mengatakan sesuatu. “K-kau siapa?” serak ia bertanya.
Liu tersenyum, “Kau tidak perlu tahu siapa aku. Tapi, satu hal yang pasti. Dan harus kau ingat baik-baik, berlakulah sopan di mana pun berada. Kau tidak tahu makhluk apa saja yang ada di sekitarmu. Jangan meludah sembarangan, membuang sampah sembarangan, mengumpat, berbicara kasar, dan perbuatan buruk sejenisnya. Karena kau bisa mencelakai dirimu sendiri. Ingat itu baik-baik. Kau mengerti maksudku, bukan?” jelas Liu. Gadis yang masih terpaku tak berkedip itu mengangguk perlahan. “Bagus. Dan sampaikan peringatanku ini pada teman-temanmu. Juga manusia lain yang kau temui.” Setelah berkata demikian, Liu langsung menghilang, meinggalkan seorang gadis cantik berambut panjang yang tampak kebingungan. Berkali-kali mengucek mata dan menepuk-nepuk kedua pipinya. Memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi.
Seiring menghilangnya Liu, kabut gaib yang ia ciptakan pun memudar. Menampakkan beberapa remaja yang berteriak-teriak di sekitar danau memanggil nama si gadis. Dan begitu salah satu di antara mereka melihat gadis yang dicari tampak duduk linglung di tepian danau, mereka langsung berteriak pada teman yang lainnya, memberitahu bahwa apa yang mereka cari telah ditemukan.
“Oh syukurlah, kau selamat, Eliana. Kami nyaris putus asa mencarimu. Apa yang terjadi?” tanya seorang gadis berambut keriting dengan kecemasan bercampur kegembiraan, kedua tangannya bergerak memeluk erat teman yang baru saja ia temukan. Tapi tak ada respon. Pertanyaan gadis keriting itu terabaikan. Gadis yang dipanggil Eliana itu masih dengan tampang linglungnya. “Hey, kau baik-baik saja?” tanya gadis itu seraya merenggangkan pelukan, mengamati Eliana dari ujung kaki sampai kepala. Memastikan keadaan temannya.
“Res, a-aku … aku baru saja bertemu dengan pangeran yang sangat, sangat, sangat tampan.” Setelah sekian lama ia sibuk dengan pikirannya sendiri, justru kalimat itulah yang meluncur keluar. Membuat temannya yang dipanggill Res *** rambut keritingnya gemas. Bisa-bisanya.
“Dengar, Eliana! Kami mencarimu hampir sejam. Kami bahkan sudah ketakutan jika kau terbawa arus dan tenggelam ke dasar danau. Tapi, oh ….” Gadis berambut keriting itu kehilangan kata-kata. Mulutnya membuka tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tapi tunggu, apakah mungkin temannya baru saja masuk ke dimensi lain?
“Bagaimana keadaanmu, Eliana? Kau dari mana saja?” teman-teman satu rombongannya mulai berdatangan dengan wajah khawatir, tapi penuh kelegaan karena ternyata temannya masih hidup. Salah seorang di antaranya menyelimuti tubuh basah Eliana dengan selimut kering yang diambil sembarang dari dalam tenda.
Setelah beberapa saat, gadis yang bernama Eliana itu seperti tersadarkan akan sesuatu. Keningnya mengernyit untuk menyatukan kepingan ingatan tentang kejadian apa yang menimpanya. “Ah, aku ingat. Aku sedang berhalangan. Dan aku membuangnya pada sebuah lubang di sudut terjauh danau. Tiba-tiba saja aku terpeleset, dan jatuh ke danau. Ada pusaran kuat yang menarik tubuhku ke dasar. Tapi … oh, pangeran tampan itu yang menyelamatkanku, ya Tuhan.” Eliana tidak melanjutkan ceritanya, tapi malah sibuk sendiri membekap mulutnya sambil menggeleng-gelengkan kepala tak mempercayai apa yang baru saja ia alami.
“Lalu?” tanya teman-temannya penasaran. Setelah itu, Eliana menceritakan pesan Liu tanpa dikurangi juga ditambahi sedikit pun.
“Kau beruntung, Eliana,” tutur seorang anak lelaki di antara mereka yang memiliki postur tubuh tinggi tegap. Tampak paling berkharisma di antara yang lain. Tidak heran jika ia ditetapkan sebagai ketua tim pendakian. “Danau ini memang indah. Tapi sering memakan korban. Mungkin mereka telah melakukan kesalahan yang sama sepertimu. Jika pemuda yang kau sebutkan itu tidak menolongmu, kemungkinan terburuk, kau akan mengalami nasib yang sama dengan mereka. Pemuda itu telah memperingatkan kita. Dan kita berkewajiban memperingatkan siapa pun yang ada di sini. Setelah ini, sebaiknya kita memasang papan peringatan,”
Liu, sebenarnya tengah berdiri di antara mereka. Mendengarkan pembicaraan anak manusia tanpa diketahui. Apalagi terlihat. Tapi Liu jelas bisa melihat dan mendengar apa pun yang sedang mereka bicarakan. Saat sang ketua berkata demikian, Liu tersenyum simpul. Masalah sudah terselesaikan. Ia bisa pergi sekarang.
Ia bergegas kembali ke istana. Mengendap-endap seperti seorang penyusup. Ketika tiba di tempat yang ia sepakati dengan pelayan Han, sosok itu tak tampak batang hidungnya. Liu menyesap ibu jarinya, berpikir. Mungkinkah Han meninggalkannya? Tidak mungkin. Liu menggeleng. Lalu? Apakah ia tertangkap? kemungkinan itu membuatnya panik. Ia tidak peduli jika yang mendapat hukuman adalah dirinya. Tapi kalau Han? Tidak. Ini semua salahnya.
“Kau mencari sesuatu, Putraku?” Sebuah suara yang datang dari belakang punggungnya benar-benar membuat jantungnya nyaris berhenti berdetak. Ia menoleh perlahan. Ia kenal betul dengan suara yang baru saja diterima gendang telinganya. Celaka!
“Eh, Ayah.” Liu tersenyum dengan tampang polosnya. “Ada keperluan apa Ayah di sini?” tanyanya sedikit salah tingkah. Berpura-pura tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tangannya mengibas-ngibaskan pakaian pelayan yang ia gunakan, lantas tersenyum lebar menatap sang kaisar.
Sang kaisar tersenyum sangat anggun. “Apa keadaan di luar sana sangat menarik perhatianmu, Pangeran Liu? Apakah segala sesuatu yang ada di istana besar ini membuatmu bosan?” tanya kaisar tanpa perlu berbasa-basi.
Liu tersenyum jahil, “Ayolah, Yang Mulia. Sebagai seorang pangeran, aku harus tahu bagaimana keadaan bangsa kita di luar sana. Bagaimana jika mereka ceroboh dan melanggar perjanjian leluhur? bukankah itu akan menjadi bencana?” kilah Liu beralasan.
Sang kaisar manggut-manggut, tanpa sedikitpun memalingkan pandangannya dari manik biru sang pangeran. “Kau sudah pandai berdiplomasi rupanya. Ah, sebaiknya aku segera menyusun rencana pernikahanmu. Dengan begitu, kau bisa dengan bebas menjelajah ke luar istana. Bagaimana pendapatmu?” Senyum kemenangan sang kaisar merekah. Ia tahu putranya sangat keras kepala dan susah diatur. Untuk mengikatnya, diperlukan siasat yang tepat.
Liu terkesiap sejenak, tapi dengan lihai, ia mengubah ekspresinya secepat kilat. Ia sadar sang ayah sedang mengajaknya melakukan jual beli. Ia tidak boleh rugi. Liu tersenyum lebar, “Ayah, usiaku masih sangat muda. Jika aku menikah sekarang, itu artinya aku harus naik tahta menggantikan Ayah. Apa Ayah sudah rela melepas kerajaan besar ini pada seorang anak kemarin sore yang bahkan masih suka memeluk ibunya saat tidur?” Liu terbahak dalam hati saat melihat wajah kesal Ayahnya tersirat, meski samar. Tapi, ia langsung terdiam ketika menyadari ada kilat kesedihan yang teramat dalam yang melintas di mata jernih ayahnya. Yang berusaha keras ia sembunyikan. Pangeran jahil itu sungguh tak menyangka gurauannya membuka luka kerinduan di hati sang ayah. Ibunya telah lama meninggal. Rupanya ia telah salah bicara. Membuatnya merasa sangat bersalah. Ia membuka mulut hendak meminta maaf tetapi ayahnya ternyata lebih dulu bersuara.
Sudut bibir sang kaisar berkedut, tapi ia segera tersenyum untuk menutupi kekesalannya karena kalah berargumen, sekaligus berusaha keras menyembunyikan sengatan menyakitkan dalam hatinya. “Kalau begitu, kau tidak perlu menikah sekarang. Kau bisa bertunangan saja dulu. Ini perintah, Tidak ada tawar-menawar lagi,” tegas sang kaisar dengan nada yang tak bisa dibantah.
“Ta-tapi, Ayah. A-aku ….”
“Kau tidak berada dalam pihak yang bisa memilih, Nak. Bukankah kau menginginkan kebebasan? Maka aku akan memberikannya,” jelas sang kaisar, tersenyum penuh kemenangan. Ia tahu pasti putranya sangat tidak suka dijodohkan. Pantang baginya memiliki ikatan sedang ia menginginkan kebebasan. Setelah berhasil membuat wajah putranya pucat pasi, sang kaisar dengan langkah anggun meningglkan sang pangeran, diikuti oleh para pengawal dan pelayan yang senantiasa mengekorinya.
Liu *** rambutnya frustrasi. Membenturkan kepalanya ke dinding dengan putus asa. “Oh sial! Kenapa aku harus terlahir sebagai seorang pangeran! Kenapa aku tidak terlahir menjadi orang biasa,” ratapnya pilu. Mengundang simpati dan belas kasihan dari seekor burung kakaktua yang bertengger di atas gerbang.
“Pangeran yang malang. Pangeran yang malang. Pangeran yang malang," kicaunya dengan sangat menjengkelkan.
Liu menatap tajam ke arah burung kakaktua yang memprovokasinya, “Diam! Atau kau akan berakhir di penggorengan dapur istana!” geramnya. Seketika, sang burung terbang menjauh dengan kicauan yang sama. Kali ini ditambah dengan tawa yang terdengar sangat menjengkelkan. Membuat Liu kesal setengah mati dan bersumpah akan memanggangnya hidup-hidup.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Taramia
aku komen ni pangeran...😁😁
2020-11-11
1
cinta inaku
Qai sama si liu
2020-04-03
1
Raidah Rasyid
I like
2020-02-28
1