NovelToon NovelToon

Kisah Asmara Sang Pangeran

Episode 1. Qaireen - Sejarah? What The Hell!

Aku sama sekali tidak mengerti. Bukankah mereka selalu bilang, “Yang lalu biarlah berlalu. Tidak perlu terlalu dipikirkan.” Lantas, oh guru konselingku yang baik, kenapa masih ada pelajaran sejarah di sekolah? Membaca, menghapal, exam. Membaca, menghapal, exam. Kita dituntut untuk terus menghapal nama-nama tokoh pahlawan. Dari tanggal lahir sampai meninggalnya. Peristiwa-peristiwa penculikan, penyanderaan, bahkan pembunuhan.

Oh ayolah, itu urusan pribadi mereka. Untuk apa kita terus membicarakan mereka? Bahkan menghapal seluk-beluk mereka yang dianggap pengkhianat hanya karena berbeda pandangan. Seperti ratu gosip yang terus mewariskan kebencian pada anak-cucunya.

Oke, aku sudah mengutarakan alasanku, ‘kan? Jadi, jangan salahkan aku jika aku memilih tidur saat pelajaran sejarah berlangsung. Oh, maafkan aku. Aku lupa, sekarang sedang ujian. Tapi tenang saja, aku sudah selesai.

“Pssssst, Qai! Psssst, Qai! Bangun, Idiot!” Samar-samar, aku menangkap suara sesorang berbisik. Terasa begitu jauh di belakang. Oh, apa peduliku. Mungkin itu hanya bisikan setan. Lebih baik aku mengabaikannya.

“Qai! Qai!” Oh, demi langit. Setan itu sungguh tak kenal kata menyerah dalam mengganggu manusia. Beruntung, siang ini rambutku sudah kugulung, jika tidak, sosok anak lelaki idaman para gadis itu pasti sudah menarik-nariknya seperti tali kekang kuda. Tambahkan, dengan sangat tidak tahu malunya.

Aku menggeram jengkel. “Apa? Kau tidak lihat aku sedang sibuk?” desisku sambil bersungut-sungut. Dan semakin geram ketika berbalik dan mendapati wajah Yusuf yang sudah menunjukkan pesonanya; senyum lebar dengan tampang memelas maksimal. Dia pasti menginginkan sesuatu.

“Nomor 3-5, dong,” bisiknya dengan kedua tangan menangkup di depan dada. Memasang tampang sok imut yang membuatku benar-benar ingin menendang tulang keringnya keras-keras, mengajarinya cara yang baik dan benar menjadi seorang pria sejati.

Aha! Aku ada ide. Senyum lebar merekah dari sudut-sudut bibirku. Membuat Yusuf langsung melongo dan bergidik ngeri. “Ada syaratnya!” kataku sambil mengangkat jari telunjuk.

“Apa? Jangan aneh-aneh. Cepat katakan. Aku tidak ada waktu menyalin jawabanmu,” balas Yusuf dengan suara yang menyerupai desisan ular.

“Mendaki. Hari Minggu kita mendaki. Bagaimana?” sahutku dengan senyum lebar. Setelah berkata demikian, aku bisa melihat Yusuf nyaris terbahak.

“Gampang. Cepat berikan lembar jawabanmu!”

“Janji?”

“Astaga! Iya, janji.” Oke, aku langsung menghadap ke depan, tegak lurus. Celingukan seperti tupai. Memastikan bahwa sang guru otoriter tidak mengetahui tindakan muliaku. Suasana kelas yang tenang sungguh menyulitkan.

Sekolah ini menerapkan sistem kelas unggulan. Dan di antara  400 siswa kelas XI dengan 10 kelas yang ada, aku tidak mengerti kenapa aku bisa masuk ke kelas dengan reputasi terbaik itu. Dan di sini masalahnya, anak-anaknya super genius dan terlampau rajin. Banyak kutu buku di sini, dan secara otomatis, mereka akan menjadi contoh bagi anak-anak kelas lain. Kandidat-kandidat olimpiade selalu berasal dari kelas ini. Kebodohan tidak mendapat tempat di sini. Menciptakan kesenjangan yang begitu memprihatinkan dengan kelas lain. Aku mengutuk diri sendiri kenapa bisa terjebak di kelas ini.

Setelah berhasil memindai keamanan sekitar, dengan gerakan perlahan, tangan kananku mulai menggeser lembar jawaban terhebat sepanjang sejarah agar menjuntai dari atas meja. Hanya untuk mendengar umpatan Yusuf yang sungguh tidak berguna.

“Kau gila!” seru Yusuf tanpa sadar. Seketika, mengundang perhatian seluruh kelas. Wajahnya memerah karena malu, membungkuk untuk meminta maaf. Aku? Tentu saja aku berpura-pura tidak kenal. Terlebih lagi ketika mata tajam yang terbingkai kacamata bulat itu menatap lekat ke arah kami. Aku tidak takut. Hanya demi sopan santun aku tidak menatapnya balik. Berpura-pura sedang membaca soal ujian untuk menghindari masalah yang merepotkan.

Dari belakang, kurasakan Yusuf menendang kaki kursiku. Ah, karena Yusuf sudah berani berbuat seperti itu, kurasa sudah aman. Aku menegakkan badan. “Qai, kau serius?” bisiknya dengan kepala sedikit dicondongkan ke depan.

Aku meletakkan punggung pada sandaran kursi. Menghalangi gerakan bibir dari pandangan guru dengan soal ujian, berbisik pelan, “Aku tidak pernah main-main dengan apa yang kulakukan.”

“Oh, demi langit,” lirih Yusuf dengan nada gemas, dari sudut mataku, aku bisa melihat ia meremas rambutnya yang sedikit berantakan. Style-nya memang seperti itu, tapi anehnya disukai para gadis. “Apa kau lupa siapa Pak Parno?” desisnya lagi.

“Ah siapa dia? Apa kau sedang membicarakan pendongeng di depan sana itu?” tanyaku serius dengan pelan.

Kulihat Yusuf mendesis gemas. “Kalau kau sudah tahu, apa maksudmu dengan doraemon berpantat besar dan kuda nil bermulut lebar?” Oh, anak ini sungguh keras kepala. Tidakkah ia tahu dalam soal ujian itu kita disuruh mengutarakan pendapat? Yang namanya pendapat itu ‘kan terserah kita. Lalu, apa masalahnya? Aku mengangkat kedua bahu tidak peduli.

“Yusuf! Qaireen! Kumpulkan lembar jawaban kalian dan segera keluar. Kalian selalu saja membuat gaduh kelas,” seru Pak Parno. Kumisnya bergerak-gerak. Membuat tanganku gatal sekali ingin memotongnya. Jangan salahkan

aku yang membenci pelajaran sejarah. Salahkan guru itu yang mengajar dengan sistem yang langsung membuat murid-muridnya muntah darah.

Tanpa harus diteriaki dua kali, aku langsung berdiri. Menyerahkan lembar jawaban dan bergegas meninggalkan kelas sebelum guru yang sangat “menyenangkan” itu membaca jawabanku. Jika tidak, bisa celaka duabelas karat.

Begitu sampai di depan pintu kelas di sisi luar, berhubung badanku rasanya pegal-pegal semua, aku menyempatkan diri untuk meregangkan tangan sambil menguap. Dan seketika, kurasakan tatapan tajam yang menghujam punggungku. Sebelum beranjak pergi, aku mendengus sedikit keras. Tanpa perlu merasa harus menoleh, kedua kakiku yang pintar langsung mengambil inisiatif berjalan cepat ketika merasakan ada ancaman yang mengintai. Di belakangku, Yusuf berlari-lari kecil mengejar.

“Bagaimana jika kita gagal dalam ujian ini? aku hanya menjawab dua dari lima. Apa menurutmu aku bisa lolos tanpa mengulang?” tanyanya polos ketika berhasil mensejajari langkahku. Sinar matanya menyiratkan bara kekhawatiran.

“Apakah pertanyaan itu masih diperlukan?” Aku menatap sosok tinggi nan ramping di sebelahku sekilas. Mendengus pelan. “Tentu saja kita akan gagal. Bahkan sebelum lembar jawaban kita dikoreksi sampai akhir. Tapi aku tidak peduli. Sebentar lagi guru itu pensiun. Kuharap penggantinya lebih kompeten.”

“Tapi, Qai. Jika nilaiku ada yang merah, jatah uang sakuku pasti akan dikurangi. Dompetku akan menipis. Dan aku tidak lagi─”

“Qaireeeeeeeen!” Oh, demi kuda nil! Aku mengumpat dalam hati. Jantungku nyaris copot.  Bisa-bisanya si guru paling menyenangkan sedunia itu berteriak dari depan pintu kelas dengan nada setinggi seribu oktaf. Kedua tanganku refleks menutup kedua telinga. Menyelamatkannya dari suara paling merdu yang bisa membuat gendang telinga pecah.

Aku menoleh, si guru bertubuh tambun itu menghentak-hentak marah, berjalan cepat ke arah kami dengan kepala bertanduk. Tidak perlu daya analis yang tinggi. Aku segara tahu apa yang akan terjadi. “Cepat lari, Idiot!” seruku pada Yusuf yang malah mematung dengan tampang “cerdas” maksimal. Refleksnya sungguh buruk. Suatu saat  nanti, aku akan memberikannya tutorial bagaimana menjadi manusia yang bermartabat.

Dan segera saja kami langsung menjadi pusat perhatian. Para siswa dan guru yang sedang dalam proses belajar mengajar di ruang kelas─seperti memiliki telepati─kompak melongok ke luar. Wajah-wajah penasaran yang menjengkelkan. Tidak sedikit para gadis yang memekikkan nama Yusuf dengan nada tanya. Entah apa maksudnya. Mungkin mereka pikir Yusuf adalah makhluk seperti malaikat yang tidak akan pernah terlibat dalam masalah. Dan itu tidak salah. Penilaian mereka benar. Tapi sebelum mengenalku, tentu saja.

“Qai, apa yang harus kita lakukan?” tanya Yusuf dengan napas memburu. Kami terus berlari menyusuri lorong menuju halaman belakang.

“Lompat pagar,” sahutku singkat. Sesekali menoleh untuk mendapati pengejar kami bertambah dua. Satpam sekolah. Bagus. Sungguh hari yang baik.

“Kau gila! Kita bisa dikeluarkan dari sekolah,” sergah Yusuf dengan tampang polosnya.

“Terserah. Kau tidak perlu mengikutiku,” sahutku cepat. Dinding pagar sekolah tinggal sepuluh langkah lagi. Aku berhenti sejenak. Mengambil ancang-ancang untuk melompat. Di sana ada pohon beringin besar dengan kursi-kursi kayu yang mengitari. Jika dewi fortuna berpihak padaku, aku dapat dengan mudah melompatinya dalam sekali lompatan. Tapi jika tidak, aku akan menurunkan jabatannya menjadi dewi kesialan. Lihat saja.

“Qai, tunggu. Apa kau lupa di balik dinding ini ada apa?” seru Yusuf panik.

“Ada makam. Aku tahu. Memangnya kenapa? Kau takut?” kali ini, aku tidak tahan untuk melemparinya senyum mengejek. Dan tertawa bahak saat melihatnya mengacak rambut frustrasi. Oh, Yusuf yang budiman. Sepertinya kau salah memilih teman.

Berhubung kedua satpam sudah berlari semakin mendekat dan kegaduhan para murid yang penasaran semakin memekakkan telinga. Sama sekali tak ada niat dariku untuk berlama-lama di sini. Lebih baik pulang. Masalah dengan Pak Parno bisa diurus nanti-nanti.

Perlu diingat, aku memiliki kemampuan seorang elit militer, ehem, atau maling profesional? Terserah saja. Yang jelas aku bisa melentingkan tubuhku yang ringan melampaui dinding dan mendarat mulus di sisi seberangnya dengan aman.

“Qai, tunggu. Aku ikut,” seru Yusuf yang terlihat mengambil posisi ancang-ancang. Aku tersenyum miring. Kembali menghadap ke depan dan, ya, menunjukkan bakat yang terpendam. Aku tidak mengkhawatirkan Yusuf. Sebagai ketua tim basket sekaligus senior dalam ekstrakurikuler judo, kemampuannya cukup layak mendapatkan tepuk tangan. Seperti yang selalu dilakukan para fans butanya ketika ia menjuarai judo tingkat nasional yang diselenggarakan elit militer.

“Upss! Sial! Apa yang kalian lakukan, hey!” seruku seraya menunjuk sepasang senior─anak kelas XII─dengan geram yang bercampur keterkejutan level dewa. Lihat kelakuan mereka. Tepat di bawah dinding yang menjulang tiga meter, di bawah pohon beringin yang besar, di dekat barisan makam, oh, demi Tuhan. Aku ingin menyumpahi mereka sejadinya. Apakah otak mereka sudah digerogoti ****?

Beraninya mereka melakukan tindakan paling tak bermoral di atas tanah pemakaman. Dan lebih parahnya lagi, nyaris membuatku terjungkal tepat di atas sebuah gundukan tanah yang masih baru. Dengan bunga yang masih segar dan tanah yang memerah.

Sejujurnya, aku sedikit kasihan melihat tampang keterkejutan mereka yang menyerupai kuda nil. Tapi─

“Astaga! Jangan lihat, Qai!” Dengan gerakan super cepat, Yusuf yang sudah mendarat di sampingku langsung menggunakan telapak tangannya yang kokoh untuk menghalangi pandanganku.

“Apa-apaan, hey! Lepas!” Aku berusaha sekuat tenaga menepis tangan Yusuf, tapi sial. Sekalipun aku kuat, tetap saja, harus kuakui tenaga seorang pria lebih besar dibanding wanita.

“Tidak. Kau masih di bawah umur. Pemandangan seperti ini tidak diizinkan memasuki panca inderamu,” tegas Yusuf. Apa maksudnya? Dia pikir usianya berapa? Jika tidak kasihan, aku pasti sudah menendangnya. “Pak Satpam. Cepat ke mari. Kami menemukan pelanggaran berat di sini.” Setelah Yusuf berteriak demikian, dua satpam yang tadinya mengejar kami turut terperanjat dari atas dinding tempatnya berpijak. “Bagus. Pengalih yang sempurna. Cepat pergi dari sini,” lanjut Yusuf. Dengan segera menarik tanganku yang masih terpaku menatap keributan yang baru saja terjadi. Segera saja, dua satpam itu mengabaikan kami dan langsung disibukkan dengan ulah sepasang murid yang sudah diluar batas moral.

Setelah lelah berlari, kami berhenti untuk mengambil napas di taman terbuka tidak jauh dari gedung sekolah.

“Sekarang bagaimana? Kita ke mana?” tanya Yusuf, menghempaskan tubuhnya pada kursi taman di bawah pohon tabebuya kuning yang rimbun.

“Pulang,” sahutku singkat. Memilih berselonjor di rerumputan, bersandar pada batang pohon akasia besar yang menaungi hampir sepertiga area taman. Mengusap keringat di dahi dengan punggung tangan dan menatap sekitar. Di jam-jam seperti ini, tidak banyak orang yang memilih bersantai di taman. Kecuali para pedagang dengan gerobaknya.

“Jam pulang sekolah masih sejam lagi. Apa kau ingin melihatku dipanggang hidup-hidup?” protes Yusuf setelah melirik jam tangan dengan tali kulit berwarna coklat di tangan kirinya. Jam mahal. Aku tahu itu, karena Yusuf bukan anak sembarangan. Ia anak tunggal dari keluarga saudagar kaya yang menguasai daratan.

Aku terbahak melihat ekspresi wajahnya yang memilukan. “Apa orangtuamu segalak itu?”

“Lebih dari apa yang kau pikirkan.”

“Bahkan ketika kau sudah menjadi remaja 17 tahun? Mereka tidak sedikit pun mengendurkan tali kekangnya?” tanyaku sedikit heran. Masalahnya, aku anak terakhir dari lima bersaudara. Perempuan sendiri. Keempat kakakku laki-laki. Meski demikian, semenjak usiaku 12 tahun, sepertinya orangtuaku sudah membicarakan banyak hal denganku. Aku merasa diakui karena mereka mau mendengarku, seperti seorang teman.

“Ya. Mereka selalu menganggapku masih anak-anak,” keluh Yusuf dengan pandangan jauh menembus awan.

“Wajar. Mereka orangtua. Dan kita anak-anaknya. Kurasa semua orangtua akan beranggapan seperti itu. Bahkan ketika kita sudah beranak pinak.”

“Lalu, untuk apa kau bertanya?” dengusnya sambil bersedekap, memanyunkan bibirnya seperti pantat ayam yang minta digoreng.

“Hanya ingin tahu. Barang-barang kita masih di sekolah. Kalau begitu, kita tunggu saja di sini. Nanti selepas jam pulang, kita ambil,” sahutku santai. Mendongak, menatap awan-awan putih yang berarak perlahan. Indahnya, sepertinya menjadi awan lebih menyenangkan.

“Apa kau tidak takut mendapat surat teguran dari sekolah?” tanya Yusuf tiba-tiba.

Aku menggeleng perlahan, “Tidak. Kenapa harus takut?”

“Ya, karena kita sudah melanggar peraturan sekolah,” gumam Yusuf, pandangannya masih menatap awan yang tak berbentuk.

Aku menatapnya sekilas. Kemeja putih yang biasanya sangat rapi itu sekarang terlihat sedikit berantakan. Lengan panjangnya bahkan digulung sampai siku. Memperlihatkan lengannya yang bersih dan tampak kokoh. Urat-urat menonjol berkat aktivitas olahraga yang ia gemari.

Secara garis besar, tubuh Yusuf tampak atletis dan bisa diandalkan ketika kesusahan membawa barang berat. Fisiknya memang sudah bagus, tapi mentalnya masih butuh latihan. Sebuah ide pun muncul, membuatku tak mampu menahan diri untuk menyeringai. Aku akan mengajarinya bagaimana cara menikmati hidup. “Peraturan ada untuk dilanggar. Ingat itu baik-baik,” tuturku tanpa keraguan sedikit pun.

“Kau ingin menyesatkanku?” Demi mendengar pernyataanku yang paling mulia, dia menatapku serius. Kedua alisnya yang seperti busur panah menukik tajam.

“Jangan khawatir, kita tersesat di jalan yang benar,” gurauku sambil terkekeh pelan. “Hidup ini indah, Kawan. Jangan kau buat keruh dengan memenjarakan pikiranmu dalam sangkar. Bebaskan ia. Nikmati setiap waktu yang ada. Tanpa tekanan dari pihak mana pun.”

“Jangan penjarakan pikiran?” gumam Yusuf. Dapat kulihat ia sedang berpikir. Mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di dagu, meniru gaya para pemikir ulung ketika bergulat dengan pikirannya. “Yeah, kurasa kau benar. Wanita selalu benar.”

Aku terbahak melihat ekspresi dungunya. “Yeah, kau benar. Jadi, hari Minggu bagaimana? Jadi?” Aku harus memastikan. Sebenarnya, aku sudah beberapa kali mendaki bersama keempat kakakku itu, setiap kali mereka mendaki bersama teman-teman kampusnya, aku selalu ikut. Tapi itu dulu, sebelum mereka sibuk mengurus bisnis dan keluarga. Sementara dua kakakku yang lain, mendapat beasiswa ke luar negeri. Dan tentu saja, semenjak saat itu, ibu tidak pernah mengizinkanku mendaki. Kecuali, ada teman yang ia percayai. Dan kebetulan sekali, Yusuf ini memiliki tampang menantu idaman yang baik budiman. Ibu pasti mengizinkan jika aku pergi dengannya.

“Gunung mana yang ingin kau daki?”

“Gunung Respati. Kudengar puncaknya selalu diselimuti awan. Di sana juga ada bunga arka yang langka. Ini musimnya. Jika kita beruntung, kita akan menemukannya menghampar di sepanjang padang dekat Danau Tirto Wening. Bagaimana?” jelasku bersemangat. Sudah sejak lama aku ingin ke sana. Tapi belum ada kesempatan.

“Sepertinya menarik. Kau ingin kita pergi berdua saja atau ada teman yang lain?”

“Berdua juga bukan masalah. Nanti di sana kita bisa bergabung dengan pendaki lain. Sekalian mencari teman baru. Bagaimana?”

“Oke. Akan kupersiapkan segala yang diperlukan.”

“Yes!” Aku berseru-seru senang. Akhirnya, kesempatan ini datang juga. Kepalaku sudah nyaris melepuh memikirkan tugas-tugas sekolah yang tak pernah ada habisnya. Ia butuh penyegaran. Jika tidak, aku khawatir ia akan menyemburkan awan panas yang menyiksa sekitar.

Tiga hari sebelum kejadian ….

Episode 2. What The Meaning Of Prince?

“Oh, kumohon, Pangeran. Berhentilah melakukan hal-hal berbahaya seperti ini. Jika Kaisar mengetahuinya, kita bisa celaka," kata seorang pria yang menggunakan pakaian kebesaran putra mahkota dengan gusar. Pakaian itu terlihat seperti karung ketika ia gunakan. Sangat tidak pas di tubuhnya. Jelas sekali bahwa pakaian itu dijahit khusus bukan untuknya.

“Tenang saja, Paman. Tidak akan ada yang tahu selama Paman bisa mengendalikan diri untuk tidak memberitahukan apa pun pada orang lain.” Sosok dengan postur tinggi tegap dengan paras rupawan itu tampak mengendap-endap dalam keremangan setelah menukar pakaian kebesarannya dengan pakaian pelayan. Mata sewarna aquamarine miliknya berbinar penuh semangat. Tampak antusias sekali berbuat pelanggaran.

“Tapi, Pangeran─”

“Ayolah, Paman Han. Aku hanya ingin berjalan-jalan sebentar. Tunggu di sini sampai aku kembali. Paman mengerti?” perintah sang pangeran. Han, sang pelayan tidak bisa membantah. Ia mengangguk, meski wajahnya diselimuti kekhawatiran. Ia adalah pengasuh pangeran sejak kecil.  Pangeran Liu Zhi yang keras kepala dan susah diatur. Ratusan kali ia mengingatkan untuk tidak memanggilnya “Paman”, tapi tetap saja. Panggilan itu selalu dilekatkan padanya. Tidak peduli di mana pun mereka berada. Termasuk di hadapan para pejabat dan kaisar. Yang mengundang dengusan tidak suka dari para pejabat dan gelengan maklum dari kaisar. Bagaimana tanggapan si putra mahkota terhadap sikap pejabat? tentu saja ia hanya tersenyum dan mengangkat kedua bahu tidak peduli.

“Oh, Han yang malang. Mungkin ini terakhir kalinya kau bisa melihat sinar matahari sebelum Kaisar memenggal kepalamu,” ratap Han pilu. Membuat Liu berbalik dan tertawa pelan.

“Tenang saja, Paman. Tidak ada yang akan memenggal kepalamu. Aku tidak akan lama. Oke?” katanya seraya menepuk-nepuk bahu Han, mengerling jahil. Lantas segera berbalik, menyelinap ke luar dinding batu besar yang menjulang setinggi sepuluh meter. Meninggalkan pengasuhnya dalam kekhawatiran.

Dalam diri Liu Zhi, mengalir darah seorang kaisar hebat dan kuat. Mudah saja baginya menyelinap dari penjaga tanpa pernah ketahuan. Melenggang keluar kompleks istana dengan aman. Tersenyum lebar ketika telinganya mendengar ranting-ranting kering berkeretak saat diinjak.  

Hamparan hutan luas siap menyambutnya. Pohon-pohon tinggi menjulang. Membentuk kubah besar yang menaungi dasar hutan. Inilah yang ia inginkan. Kebebasan. Bebas berkelana ke segala penjuru mata angin. Menikmati kesibukan makhluk-makhluk lain di bumi.

Liu menghirup napas dalam sebelum melangkahkan kakinya menuju tempat yang sudah ia petakan dalam ingatan. Di seberang hutan, ada danau sangat luas dengan kejernihan air menyerupai kristal. Ke sanalah kakinya diperintah. Ia ingin mandi di danau itu. Menikmati kesegaran air dan bermain bersama ikan-ikan besar di danau.

Begitu sampai di perbatasan hutan, cahaya hangat matahari menerpa wajahnya yang seputih susu, sebening kristal. Membuatnya tampak berkilauan mempesona.

Liu semakin bersemangat melangkahkan kakinya ketika melihat hamparan padang yang dipenuhi jutaan batang bunga arka yang siap mekar. Dia juga bisa melihat banyak tenda didirikan di sekitaran danau.

Pemuda dengan surai putih keperakan itu tersenyum lebar. Ia tidak peduli dengan kehadiran mereka, para manusia. Karena pada kenyataannya, makhluk-makhluk fana itu tidak bisa melihatnya. Kecuali jika ia ingin memperlihatkan diri. Dengan begitu, ia akan dengan leluasa berkeliaran di antara mereka tanpa membuat keributan.

Liu meregangkan tubuh sejenak. Sebelum tanpa ragu berjalan dengan langkah lebar mendekati bibir danau yang terlihat sangat jernih.

Saat berjalan, tanpa sengaja bahunya menyenggol daun bunga arka yang tumbuh subur dengan tinggi batang nyaris dua meter. Seketika, langkahnya terhenti. Ia tersenyum lebar dengan mata berbinar, sebelah tangannya terangkat untuk menyentuh kuncup bunga arka. “Tiga hari lagi, aku akan ke sini. Akan kunikmati pesona indahmu. Jangan khawatir,” tuturnya lembut. Lantas kembali berjalan. Ia melenggang santai di tengah banyak orang yang sedang menikmati pesona matahari terbit.

Setibanya di bibir danau, pemuda itu langsung melepas baju luarnya, yang merupakan baju yang ia pinjam dari pengasuhnya. Menyisakan baju dalam berwarna putih yang membungkus seluruh tubuh. Khas pakaian dalam seorang pangeran. Tanpa berpikir dua kali, ia langsung melompat ke dalam air. Menyelam di kedalaman untuk melihat ada apa di dalamnya. Karena ini merupakan kali pertama ia datang.

Saat pandangannya tertawan oleh ikan-ikan pelangi dan rimbunnya rumput air, ia melihat ular putih yang sedang menarik sesosok manusia. Kedua alisnya saling bertautan. Dahinya mengernyit dalam. Ular itu bukan ular dari dunia fana. Jelas, ular itu berasal dari bangsanya. “Ular sialan, beraninya ia merusak keseimbangan!” jiwa kesatrianya bangkit. Ia langsung berenang menuju pusaran air yang diciptakan ular putih untuk menarik manusia masuk ke dalamnya.

“Lepaskan manusia itu!” serunya dengan suara tegas, tenang, dan dalam. Tentu saja ini hasil dari latihannya bertahun-tahun di akademi istana. Si Ular Putih tampak tersentak saking terkejutnya. Ia menoleh perlahan, dan langsung menunduk memohon ampun saat tahu sedang bicara dengan siapa.

“Maafkan hamba, Pangeran. Apa gerangan yang membuat Pangeran datang ke tempat hamba?” tanya Si Ular Putih dengan suara sedikit bergetar karena rasa takut. Tak pernah terpikirkan dalam benaknya ia akan ditegur sang pangeran. Karena yang ia tahu, sang pangeran hidup di dalam istana yang megah dan tak pernah bepergian sejauh ini. Terutama jika usia sang pangeran masih di bawah umur. Seharusnya ia belum diperkenankan keluar istana, apalagi tanpa pengawalan.

“Kenapa kau menarik manusia itu ke dasar, Paman Ular? Apakah kau melupakan kesepakatan leluhur kita dengan bangsa manusia?” tanya Liu menuntut penjelasan. Kedua alisnya menukik tajam, menimbulkan kerutan di dahi yang semakin dalam.

Si Ular Putih menelan ludah. Kata-kata sulit keluar dari lisannya. Usia pemuda di hadapannya memang terpaut ratusan tahun. Tapi, aura kekuatan yang ia miliki sungguh membuatnya ingin menenggelamkan diri ke dasar sungai saat itu juga.

“Katakan, Paman Ular,” tegas Liu sekali lagi.

“I-iya, Pangeran. Hamba sungguh tidak bermaksud melanggar perjanjian para leluhur. Tapi, manusia itu yang memulai. Dia membuang kotoran ke lubang tanpa permisi. Mengotori rumah sekaligus tubuh hamba dengan kotorannya. Manusia itu pantas mendapat hukuman, Pangeran,” jelas Si Ular Putih membela diri.

Demi mendengar itu, Liu mengernyitkan dahi. Menatap lekat ular putih yang kini menunduk takzim di hadapannya. Dari gestur tubuhnya, Liu tahu ular putih ini tidak sedang berbohong. “Jika demikian yang terjadi, kita tidak perlu mencelakainya, Paman Ular. Kita tinggal memberikan mereka sedikit peringatan. Kurasa itu cukup,” tutur Liu bijak.

“Tapi, mereka sangat bebal, Pangeran. Mereka akan segera melupakan peringatan. Dan akan terus mengulanginya lagi, lagi, dan lagi. Mereka harus diberi pelajaran,” tuntut Si Ular Putih. Menatap sang putra mahkota takut-takut.

“Tidak, Paman Ular. Hal itu memang mudah dilakukan. Paman bisa memuaskan amarah. Tapi masalah yang sesungguhnya baru dimulai. Hal ini akan menimbulkan percikan pertikaian antara manusia dan bangsa kita. Tolong, kendalikan diri Paman. Masalah ini, biar aku yang menyelesaikan. Dan kuharap, kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi. Jika aku mengetahuinya, aku tidak akan segan-segan bertindak tegas pada Paman,” tegas Liu seraya menatap lekat ke arah mata reptil ular putih di hadapannya. Ular putih sebesar pohon kelapa itu tampak tak berdaya. Kepalanya menunduk dengan sikap patuh.

“Baik, Pangeran,” sahut Si Ular Putih seraya menunduk hormat.

Setelah Liu memastikan kalimatnya bisa dimengerti dan ditaati, ia melesat menuju sesosok tubuh manusia yang bergerak perlahan nyaris tenggelam. Dengan gerakan secepat kilat, Liu merangsek menarik pinggang sosok manusia yang dari ciri fisiknya, seorang gadis. Matanya terpejam erat dengan mulut sedikit terbuka. Liu tahu gadis itu sedang di ambang pintu kematian. Ia segera menggendong gadis itu ke tepian. Melingkupinya dengan kabut gaib agar manusia lain tak mampu melihat mereka. Dengan kekuatan yang ia miliki, ia menyalurkan tenaga dalam untuk mengeluarkan air danau dari tubuh si gadis. Memberikan ruang udara ke dalam tubuhnya.

Tak berselang lama, gadis itu terbatuk-batuk dengan mulut yang memuntahkan air. Ia langsung terduduk dengan sebelah lengan menumpu tubuhnya. Berusaha bernapas dengan benar. Belum menyadari sosok pemuda yang sedang berjongkok memperhatikkan di sampingnya.

“Bagaimana keadaanmu? kau baik-baik saja?” tanya Liu, tersenyum.

Seketika, si gadis berambut panjang menoleh dengan tampang keterkejutan maksimal. Manik sewarna madunya membulat sempurna. Mulut kecilnya berkali-kali membuka dan menutup. Hendak mengatakan sesuatu.  “K-kau siapa?” serak ia bertanya.

Liu tersenyum, “Kau tidak perlu tahu siapa aku. Tapi, satu hal yang pasti. Dan harus kau ingat baik-baik, berlakulah sopan di mana pun berada. Kau tidak tahu makhluk apa saja yang ada di sekitarmu. Jangan meludah sembarangan, membuang sampah sembarangan, mengumpat, berbicara kasar, dan perbuatan buruk sejenisnya. Karena kau bisa mencelakai dirimu sendiri. Ingat itu baik-baik. Kau mengerti maksudku, bukan?” jelas Liu. Gadis yang masih terpaku tak berkedip itu mengangguk perlahan. “Bagus. Dan sampaikan peringatanku ini pada teman-temanmu. Juga manusia lain yang kau temui.” Setelah berkata demikian, Liu langsung menghilang, meinggalkan seorang gadis cantik berambut panjang yang tampak kebingungan. Berkali-kali mengucek mata dan menepuk-nepuk kedua pipinya. Memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi.

Seiring menghilangnya Liu, kabut gaib yang ia ciptakan pun memudar. Menampakkan beberapa remaja yang berteriak-teriak di sekitar danau memanggil nama si gadis. Dan begitu salah satu di antara mereka melihat gadis yang dicari tampak duduk linglung di tepian danau, mereka langsung berteriak pada teman yang lainnya, memberitahu bahwa apa yang mereka cari telah ditemukan.

“Oh syukurlah, kau selamat, Eliana. Kami nyaris putus asa mencarimu. Apa yang terjadi?” tanya seorang gadis berambut keriting dengan kecemasan bercampur kegembiraan, kedua tangannya bergerak memeluk erat teman yang baru saja ia temukan. Tapi tak ada respon. Pertanyaan gadis keriting itu terabaikan. Gadis yang dipanggil Eliana itu masih dengan tampang linglungnya. “Hey, kau baik-baik saja?” tanya gadis itu seraya merenggangkan pelukan, mengamati Eliana dari ujung kaki sampai kepala. Memastikan keadaan temannya.

“Res, a-aku … aku baru saja bertemu dengan pangeran yang sangat, sangat, sangat tampan.” Setelah sekian lama ia sibuk dengan pikirannya sendiri, justru kalimat itulah yang meluncur keluar. Membuat temannya yang dipanggill Res *** rambut keritingnya gemas. Bisa-bisanya.

“Dengar, Eliana! Kami mencarimu hampir sejam. Kami bahkan sudah ketakutan jika kau terbawa arus dan tenggelam ke dasar danau. Tapi, oh ….” Gadis berambut keriting itu kehilangan kata-kata. Mulutnya membuka tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tapi tunggu, apakah mungkin temannya baru saja masuk ke dimensi lain?

“Bagaimana keadaanmu, Eliana? Kau dari mana saja?” teman-teman satu rombongannya mulai berdatangan dengan wajah khawatir, tapi penuh kelegaan karena ternyata temannya masih hidup. Salah seorang di antaranya menyelimuti tubuh basah Eliana dengan selimut kering yang diambil sembarang dari dalam tenda.

Setelah beberapa saat, gadis yang bernama Eliana itu seperti tersadarkan akan sesuatu. Keningnya mengernyit untuk menyatukan kepingan ingatan tentang kejadian apa yang menimpanya. “Ah, aku ingat. Aku sedang berhalangan. Dan aku membuangnya pada sebuah lubang di sudut terjauh danau. Tiba-tiba saja aku terpeleset, dan jatuh ke danau. Ada pusaran kuat yang menarik tubuhku ke dasar. Tapi … oh, pangeran tampan itu yang menyelamatkanku, ya Tuhan.” Eliana tidak melanjutkan ceritanya, tapi malah sibuk sendiri membekap mulutnya sambil menggeleng-gelengkan kepala tak mempercayai apa yang baru saja ia alami.

“Lalu?” tanya teman-temannya penasaran. Setelah itu, Eliana menceritakan pesan Liu tanpa dikurangi juga ditambahi sedikit pun.

“Kau beruntung, Eliana,” tutur seorang anak lelaki di antara mereka yang memiliki postur tubuh tinggi tegap. Tampak paling berkharisma di antara yang lain. Tidak heran jika ia ditetapkan sebagai ketua tim pendakian. “Danau ini memang indah. Tapi sering memakan korban. Mungkin mereka telah melakukan kesalahan yang sama sepertimu. Jika pemuda yang kau sebutkan itu tidak menolongmu, kemungkinan terburuk, kau akan mengalami nasib yang sama dengan mereka. Pemuda itu telah memperingatkan kita. Dan kita berkewajiban memperingatkan siapa pun yang ada di sini. Setelah ini, sebaiknya kita memasang papan peringatan,”

Liu, sebenarnya tengah berdiri di antara mereka. Mendengarkan pembicaraan anak manusia tanpa diketahui. Apalagi terlihat. Tapi Liu jelas bisa melihat dan mendengar apa pun yang sedang mereka bicarakan. Saat sang ketua berkata demikian, Liu tersenyum simpul. Masalah sudah terselesaikan. Ia bisa pergi sekarang.

Ia bergegas kembali ke istana. Mengendap-endap seperti seorang penyusup. Ketika tiba di tempat yang ia sepakati dengan pelayan Han, sosok itu tak tampak batang hidungnya. Liu menyesap ibu jarinya, berpikir. Mungkinkah Han meninggalkannya? Tidak mungkin. Liu menggeleng. Lalu? Apakah ia tertangkap? kemungkinan itu membuatnya panik. Ia tidak peduli jika yang mendapat hukuman adalah dirinya. Tapi kalau Han? Tidak. Ini semua salahnya.

“Kau mencari sesuatu, Putraku?” Sebuah suara yang datang dari belakang punggungnya benar-benar membuat jantungnya nyaris berhenti berdetak. Ia menoleh perlahan. Ia kenal betul dengan suara yang baru saja diterima gendang telinganya. Celaka!

“Eh, Ayah.” Liu tersenyum dengan tampang polosnya. “Ada keperluan apa Ayah di sini?” tanyanya sedikit salah tingkah. Berpura-pura tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tangannya mengibas-ngibaskan pakaian pelayan yang ia gunakan, lantas tersenyum lebar menatap sang kaisar.

Sang kaisar tersenyum sangat anggun. “Apa keadaan di luar sana sangat menarik perhatianmu, Pangeran Liu? Apakah segala sesuatu yang ada di istana besar ini membuatmu bosan?” tanya kaisar tanpa perlu berbasa-basi.

Liu tersenyum jahil, “Ayolah, Yang Mulia. Sebagai seorang pangeran, aku harus tahu bagaimana keadaan bangsa kita di luar sana. Bagaimana jika mereka ceroboh dan melanggar perjanjian leluhur? bukankah itu akan menjadi bencana?” kilah Liu beralasan.

Sang kaisar manggut-manggut, tanpa sedikitpun memalingkan pandangannya dari manik biru sang pangeran. “Kau sudah pandai berdiplomasi rupanya. Ah, sebaiknya aku segera menyusun rencana pernikahanmu. Dengan begitu, kau bisa dengan bebas menjelajah ke luar istana. Bagaimana pendapatmu?” Senyum kemenangan sang kaisar merekah. Ia tahu putranya sangat keras kepala dan susah diatur. Untuk mengikatnya, diperlukan siasat yang tepat.

Liu terkesiap sejenak, tapi dengan lihai, ia mengubah ekspresinya secepat kilat. Ia sadar sang ayah sedang mengajaknya melakukan jual beli. Ia tidak boleh rugi. Liu tersenyum lebar, “Ayah, usiaku masih sangat muda. Jika aku menikah sekarang, itu artinya aku harus naik tahta menggantikan Ayah. Apa Ayah sudah rela melepas kerajaan besar ini pada seorang anak kemarin sore yang bahkan masih suka memeluk ibunya saat tidur?” Liu terbahak dalam hati saat melihat wajah kesal Ayahnya tersirat, meski samar. Tapi, ia langsung terdiam ketika menyadari ada kilat kesedihan yang teramat dalam yang melintas di mata jernih ayahnya. Yang berusaha keras ia sembunyikan. Pangeran jahil itu sungguh tak menyangka gurauannya membuka luka kerinduan di hati sang ayah. Ibunya telah lama meninggal. Rupanya ia telah salah bicara. Membuatnya merasa sangat bersalah. Ia membuka mulut hendak meminta maaf tetapi ayahnya ternyata lebih dulu bersuara.

Sudut bibir sang kaisar berkedut, tapi ia segera tersenyum untuk menutupi kekesalannya karena kalah berargumen, sekaligus berusaha keras menyembunyikan sengatan menyakitkan dalam hatinya. “Kalau begitu, kau tidak perlu menikah sekarang. Kau bisa bertunangan saja dulu. Ini perintah, Tidak ada tawar-menawar lagi,” tegas sang kaisar dengan nada yang tak bisa dibantah.

“Ta-tapi, Ayah. A-aku ….”

“Kau tidak berada dalam pihak yang bisa memilih, Nak. Bukankah kau menginginkan kebebasan? Maka aku akan memberikannya,” jelas sang kaisar, tersenyum penuh kemenangan. Ia tahu pasti putranya sangat tidak suka dijodohkan. Pantang baginya memiliki ikatan sedang ia menginginkan kebebasan. Setelah berhasil membuat wajah putranya pucat pasi, sang kaisar dengan langkah anggun meningglkan sang pangeran, diikuti oleh para pengawal dan pelayan yang senantiasa mengekorinya.

Liu *** rambutnya frustrasi. Membenturkan kepalanya ke dinding dengan putus asa. “Oh sial! Kenapa aku harus terlahir sebagai seorang pangeran! Kenapa aku tidak terlahir menjadi orang biasa,” ratapnya pilu. Mengundang simpati dan belas kasihan dari seekor burung kakaktua yang bertengger di atas gerbang.

“Pangeran yang malang. Pangeran yang malang. Pangeran yang malang," kicaunya dengan sangat menjengkelkan.

Liu menatap tajam ke arah burung kakaktua yang memprovokasinya, “Diam! Atau kau akan berakhir di penggorengan dapur istana!” geramnya. Seketika, sang burung terbang menjauh dengan kicauan yang sama. Kali ini ditambah dengan tawa yang terdengar sangat menjengkelkan. Membuat Liu kesal setengah mati dan bersumpah akan memanggangnya hidup-hidup.

Episode 3. Qaireen - Sweety Brother

“Apa kau benar-benar ingin mendaki ke Puncak Respati, Qai?” Raut wajah Kak Harry terlihat sangat khawatir. Dia adalah kakak keempat. Sedang menempuh pendidikan di negeri sakura. Selesai ujian, ia libur seminggu. Sebenarnya, ia tidak ada rencana pulang. Tapi Ayah dan Ibu menyuruhnya pulang untuk urusan rumit soal perjodohan. Aku sungguh kasihan padanya. Usianya baru menginjak angka 21, tapi sudah sibuk sekali dijodohkan dengan anak dari teman Ayah.

“Kakak tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku justru khawatir padamu. Apakah Kakak akan menerima perjodohan ini? Kudengar, putri tunggal keluarga Hermawan sangat cantik.” Aku menyenggol bahunya dengan bahuku, mengedip-ngedip jahil.

Hampir satu jam ia mengacau di kamarku. Mengomentari segala hal yang tak perlu. Dan sekarang, kami sedang duduk di balkon kamar. Menatap langit senja dari ketinggian delapan meter, di lantai dua.

Kak Harry menoleh, alis busur panahnya menukik tajam. Membuatku beringsut. Oh, ini tidak bagus. Dia pasti berniat jahat. “Aww, sakit! Lep-ppass!” Oh sial, kakakku satu ini benar-benar kejam. Lihatlah, kedua pipiku sekarang memerah setelah ia cubit dengan kedua tangannya yang kekar. Lihat saja, pasti akan kubalas. Dan kelakuannya, sungguh, ia tertawa terbahak-bahak saat melihatku bersungut-sungut.

“Salah sendiri. Siapa yang menyuruhmu memancing keributan dengan kakakmu yang tampan ini, eh?” sahutnya dengan tangan kanan terangkat, mengacak kepalaku membabi buta. Rambutku yang sudah berantakan terlihat semakin berantakan, seperti baru saja terkena topan. Bagus sekali.

“Ya Tuhan, selamatkan aku dari makhluk terkutuk ini, kumohon,” ratapku seraya menengadahkan tangan. Berdo'a pada Tuhan, agar Ia mengirimkan seseorang untuk menedang pantat Kak Harry.

Tapi lihat, Kak Harry malah semakin terpingkal. Sial. Aku meliriknya tajam, bersungut-sungut.

“Diamlah! Pergi sana! Sebentar lagi jam makan malam. Tidakkah Kak Harry bersiap-siap? Berdandan yang rapi agar gadis itu langsung terpikat saat pertama bertemu pandang, seperti drama picisan.” Aku tergelak saat membayangkannya. Terlebih ketika melihat tampang Kak Harry yang suntuk maksimal.

“Aku tidak menginginkan perjodohan ini. Ayolah, apa kau tidak lihat betapa masih mudanya kakakmu ini? Aku masih ingin bebas. Ikatan seperti ini hanya akan membatasi gerakku dalam segala hal. Qai, menurutmu apa yang harus kulakukan?” Kak Harry menatapku serius. Manik sewarna madu miliknya berpendar sendu. Oh, kakakku yang malang. Apakah kelak aku juga akan mengalami nasib seperti dirinya? Jika iya, aku pasti akan memberontak. Tapi, tidak mungkin aku menyarankan hal ini padanya. Ketiga kakakku yang lain juga dijodohkan dengan sistem serupa. Dan berhasil.

“Kak Harry, sebaiknya Kakak terima saja. Kakak tidak punya pilihan.” Aku menoleh ke arahnya dengan seringai lebar, hanya untuk mendapati ia menyentil dahiku dengan kejam. Lihat, ekspresinya buruk sekali. Bahkan jauh lebih buruk daripada pantat kuda nil yang lebar. Aku ingin tertawa tapi takut dosa. Apa boleh buat, aku akan mengizinkan telingaku mendengar keluh kesahnya.

Kak Harry menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya pada dinding balkon. “Tapi aku ingin memilih wanitaku sendiri, Qai. Tidakkah keputusan Ayah dan Ibu ini terlalu cepat? Aku belum lulus kuliah, belum berpenghasilan, dan terutama belum ingin menikah. Kenapa harus mengurus perjodohan? Bagaimana jika gagal di tengah jalan? Tidakkah akan merengganggkan hubungan baik dua keluarga?” Kak Harry menoleh ke arahku dengan dahi mengernyit tak mengerti. Tak mengerti apa sebenarnya yang dipikirkan Ayah dan Ibu.

“Tapi ketiga kakak kita tidak mengalami hal yang Kak Harry khawatirkan. Karena itulah Ayah dan Ibu melakukannya lagi terhadapmu.  Eh, bagaimana, ya? Apa tidak sebaiknya Kak Harry jalani saja dulu? Bukankah kata orang cinta bisa tumbuh lantaran karena terbiasa? Lagipula, Kak Harry belum bertemu dengannya, ‘kan? Bisa saja nanti cinta pada pandangan pertama.” Aku nyaris tersedak saat mengatakannya. Sejak kapan aku mempelajari petuah bijak tentang percintaan? Apalagi soal cinta pada pandangan pertama, yang aku sendiri bahkan tak mempercayainya.

“Bagaimana jika aku sudah punya pilihan?” gumam Kak Harry pelan, matanya yang setajam elang menatap kejauhan. Menembus jauh ke dimensi ruang dan waktu.

“Eh? Apa? Kakak sudah punya pacar?” seruku dengan kedua bola mata nyaris keluar. Tentu saja aku kaget. Sejak kapan Kak Harry memutuskan membuka hatinya untuk wanita?

“Bukan begitu, Gadis Nakal!” dengus Kak Harry sambil menyentil dahiku. Lagi? Seandainya aku lahir duluan, sudah kujadikan tahu bulat ini orang.

Aku mengusap dahiku sambil lalu, Kak Harry harus berterima kasih padaku karena aku lebih tertarik dengan apa yang baru saja ia katakan daripada apa yang baru saja ia lakukan padaku. “Lalu?” tanyaku, tak mampu menyembunyikan rasa ingin tahu. Dan hal itu memang tak perlu. Dia kakakku. Dan dia tahu pasti aku akan mencari tahu sampai ke akar apa yang membuatku penasaran.

Kak Harry tertawa pelan, “Jangan tertawakan aku, janji?” mata elangnya menatapku lekat, menuntut persetujuan mutlak.

“Janji!” sahutku mantap.

“Mungkin ini sedikit aneh," kata Kak Harry memulai. "Aku tidak pernah bertukar sapa dengannya. Aku juga sama sekali tak mengenalnya. Tapi, pandanganku selalu terkunci padanya setiap kali kami bertemu di kampus. Dia tidak melihatku, tapi jantungku selalu berpacu lebih cepat saat melihatnya.” Aku menunggu sampai kedipan yang keseratus, tapi Kak Harry tak kunjung melanjutkan ceritanya. Dia malah sibuk dengan lamunannya sendiri. Sejak kapan kakak tersayangku ini hilang akal?

“Apa Kak Harry tahu siapa namanya?” Kak Harry menggeleng.

“Rumahnya?” Ia menggeleng lagi.

“Keluarga?” Lagi-lagi aku hanya mendapatkan gelengan kepala. Aku mulai gemas. Terlebih pandangannya masih menatap langit.

“Kapan pertama kali Kak Harry bertemu dengannya?”

“Setahun yang lalu,” sahutnya ringan sekali.

“Kak Harry!” Aku berteriak tepat di depan telinganya. Membuatnya langsung mengernyit dengan sebelah mata terpejam. Aku tidak peduli jika gendang telinganya berdarah. Kakakku ini super genius. Kenapa soal beginian dia jadi bodoh level Saturnus?

“Qai! Kau membuat gendang telingaku pecah!” gerutunya sambil bersungut-sungut. Mengusap daun telinganya dengan dramatis.

“Kak Harry sudah melihatnya selama setahun, mengunci hati dan pikiran Kakak hanya untuk dia. Tapi, oh, demi langit! Bagaimana mungkin  Kakak tidak tahu hal-hal dasar seperti itu?” Aku membuka mulut selebar-lebarnya. Menegaskan betapa aku sangat terkejut dengan kedunguan kakak tersayangku ini.

“Ah, aku hanya tidak ingin mengganggu proses belajarnya. Gadis itu sangat rajin dan pintar. Selagi ia tidak menunjukkan tanda-tanda ketertarikan pada pria lain, itu sudah cukup bagiku. Aku akan menunggu sampai saatnya tiba.”

“Kakak,” gumamku penuh kekhawatiran dan penekanan. “Apakah kepalamu tidak terbentur sesuatu? Apa kau yakin organ penting pengendali di dalamnya tidak bergeser atau mengalami kebocoran?” Kutatap Kak Harry lekat penuh keseriusan.

Seketika, Kak Harry langsung menoleh, menyudahi keterpanaannya pada langit senja dan mengerutkan dahinya semakin dalam. “Apa kau mengatakan sesuatu?”

“Batok kepala ini,” kataku penuh penekanan sambil mengetuk-ngetuk kepala Kak Harry dengan jari tengah. Aku tahu ini tidak sopan. Tapi biarkan saja. Penegasan dramatis itu kadang diperlukan. “Apa Kakak yakin otak yang ada di dalamnya tidak bergeser? Sejak kapan Kakakku yang genius menjadi sangat dungu begini? Mengecewakan!” dengusku sambil bersedekap. Memanyunkan bibir nyaris lima senti.

“Lalu menurutmu, apakah aku harus terang-terangan mengatakan padanya kalau aku menyukainya? Mengajaknya berpacaran dan menikah? Dia bukan tipikal gadis seperti itu. Dia tidak mungkin mau berpacaran. Yang ada malah takut dan semakin menjauh dariku,” jelas Kak Harry.

“Paling tidak, katakan padanya. Kakak menyukainya. Tidak akan menganggunya. Tapi akan menunggunya sampai ia siap ke pelaminan. Biarkan ia tahu kalau Kakak menunggunya. Jika gadis itu tidak tahu, ia akan dengan mudah menerima lamaran pria lain jika waktunya tiba. Paham?”

“Oh sudahlah, aku tidak akan terlalu memikirkan hal ini. Lagipula, jika jodoh juga tak akan ke mana. Sekarang masalahnya, soal perjodohan ini. Bantu aku menemukan cara untuk menolaknya, Qai. Kau ‘kan cerdik seperti kancil. Kau pasti punya cara. Ayolah, pikirkan satu untukku.” Tampang memohon Kak Harry benar-benar membuatku ingin menjitaknya. Sayangnya, aku masih memiliki adat kesopanan.

“Jika Kak Harry tidak mau, kenapa pulang?” tanyaku dengan kedua mata menyipit.

“Ayah yang memintaku pulang. Sama sekali tidak mengatakan apa pun sebelumnya. Baru tadi malam Ayah dan Ibu mengatakannya.”

“Lalu? Kakak jawab apa? Makan malam tidak mungkin terselenggara jika Kakak menolaknya.”

“Ibu sangat antusias dengan perjodohan ini. Aku tidak tega melihatnya kecewa," gumamnya pelan, penuh dengan sikap kepasrahan yang diliputi rasa hutang budi yang besar pada wanita yang telah mengandung, melahirkan, dan merawatnya.

Aku mengangkat kedua bahu santai. “Ya sudah, jika itu pertimbangan Kak Harry, tidak ada cara untuk membatalkannya. Sudah sana!” usirku sedikit jengkel. Dia sudah dengan penuh kesadaran mengambil keputusan, dan sekarang, kenapa harus mempersulit dan mencederai telingaku dengan keluh kesahnya? Dasar!

Ketika aku hendak beranjak, Kak Harry menarik lenganku, “Tunggu, soal mendaki Gunung Respati, apa kau serius?”

Aku berdecak, “Tentu saja, KAKAK! Harus kuulang berapa ratus kali lagi? Aku ingin ke sana. Aku dan Yusuf sudah mendapat izin Ayah dan Ibu. Aku bisa menjaga diri. Jangan khawatir," tuturku seraya mengibaskan tangan beberapa kali. Menegaskan bahwa ini sungguh bukan hal besar yang perlu kekhawatiran tingkat dewa.

“Apa kau sudah mendengar ada kerajaan tak kasat mata di pegunungan itu?” tanya Kak Harry dengan tatapan serius.

“Ah, itu hanya mitos,” dengusku sedikit jengkel. Kakakku ini, selalu saja berusaha mencari ratusan alasan agar aku tidak jadi pergi.

“Qai, sebaiknya kau tidak berkata demikian. Makhluk seperti itu nyata adanya.”

“Aku tidak akan percaya sebelum aku bisa melihatnya langsung dengan mata kepalaku,” tegasku seraya menunjuk-nunjuk indra penglihatan. Orang-orang dewasa ini selalu saja seperti itu. Suatu kali, pernah kejadian satu gang dibuat ribut oleh kemunculan tengkorak dan api di rumah kosong ujung gang. Banyak yang mengatakan kemunculannya tengah malam dan melahap siapa pun yang dilihatnya. Percaya? Tentu saja tidak. Mana ada hal seperti itu. Untuk mematahkan teori ngawur mereka, aku sengaja datang ke tempat itu tepat tengah malam. Hasilnya? Aku masih hidup sampai sekarang.

“Keras kepala. Kalau begitu, aku ikut. Aku hanya ingin memastikan kau tidak ceroboh dan ditelan Danau Tirto Wening.” Kak Harry beranjak berdiri, tepat di hadapanku. Menyeringai sambil mengacak-acak rambutku yang lembut dan berkilau. Ehem.

“Aih, bilang saja ingin menghindari acara jamuan rekan bisnis Ayah. Iya, ‘kan?” Aku bisa mencium akal bulusnya.

“Pintar!” jawabnya sambil menepuk-nepuk kepalaku. Menyeringai lebar.

“Kak Harry,”

“Ya?”

“Harry, Qaireen!” Belum sempat aku mengutarakan pertanyaan, pintu kamarku sudah terbuka. Memperlihatkan seorang wanita cantik usia 40 tahunan. Wanita itu sangat anggun dengan pakaian panjang yang ia kenakan. Cara bicaranya pun juga sangat lembut. Terkadang aku berpikir, apakah benar aku anaknya? “Kalian siap-siap. Setengah jam lagi tamu kita datang. Harry, kau dengar Ibu?”

Demi mendengar teguran Ibu, aku menoleh ke arah Kak Harry yang tampak terdiam dan menatap menembus bahu Ibu. Aku menyikut perutnya. Bisa-bisanya melamun saat Ibu bicara. “Ah iya, Bu.”

“Ya sudah, Ibu turun dulu.”

“Eh, Ibu, tunggu,” sergah Kak Harry ketika Ibu hendak menutup pintu. Aku mengernyit. Jangan-jangan Kak Harry meminta jamuan makan malam ini dibatalkan.

“Ada apa?” tanya Ibu dengan sebelah alis terangkat.

“Hari Minggu Qaireen akan mendaki bersama Yusuf ke Gunung Respati, dan ....” Kak Harry mengusap belakang kepalanya sambil melempar senyum paling manis ke Ibu. Sial, bisa-bisanya merayu Ibu dengan gaya seperti itu. Tak kunjung mendengar kelanjutan kalimat yang diucapkan Kak Harry, Ibu mengernyit semakin dalam, “Harry ingin menemani Qaireen,” lanjutnya.

“Tapi hari Minggu kamu ada acara, Harry. Kita akan menghadiri acara rekan bisnis Ayah bersama keluarga Hermawan. Kamu tidak boleh pergi. Qaireen sudah ada Yusuf yang menemani. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” titah Ibu. Yang seketika membuatku manggut-manggut sambil menepuk-nepuk punggung Kak Harry. Tersenyum lebar. Bagus, Bu. Jangan biarkan kakakku yang manis ini mengacau. Akan sangat menjengkelkan jika setiap pasang mata yang kami lewati melemparkan tatapan penuh minat pada Kak Harry. Terutama para gadis. Aku punya pengalaman buruk soal ini di masa lalu. Dan cukup. Aku tidak ingin mengalaminya lagi.

“Bu, dengarkan Harry sekali saja. Gunung Respati memiliki danau yang sangat indah dengan air sebening kristal. Dan Ibu tahu? Sudah belasan pendaki yang menjadi korban tenggelam. Jasadnya tidak pernah ditemukan. Bahkan kemarin, ada seorang teman yang mengatakan danau itu nyaris saja kembali memakan korban. Untung saja korban selamat. Yang lebih mengejutkan lagi, korban yang merupakan seorang gadis menuturkan kalau yang menyelamatkannya adalah seorang pangeran dari dimensi lain. Ibu, aku sungguh─”

“Aih, Kak Harry terlalu banyak membaca kisah fiksi. Mustahil ada hal semacam itu. Mereka yang tenggelam itu pasti kurang berhati-hati. Andai─”

“Aku tidak sedang bergurau. Ibu, percayalah padaku, menurut kisah yang disampaikan turun temurun, ada kerajaan besar tak kasat mata yang menguasai Daratan Selatan yang berpusat di Gunung Respati. Jika ceroboh sedikit saja─”

“Jangan dengarkan, Kak Harry, Bu. Bukankah acara pertemuan itu sangat penting? Akan sangat memalukan jika Kak Harry tidak hadir dan justru pergi mendaki menemaniku. Terutama keluarga Hermawan, mereka pasti berpikir Kak Harry tidak menghargai mereka.” Aku tersenyum melihat Ibu yang sejak tadi terdiam mendengarkan perdebatan kami kini tampak memikirkan alasanku.

“Idiot! Keselamatanmu lebih penting bagiku dari apa pun yang ada di dunia ini,” sela Kak Harry. Nada suaranya terdengar meninggi dan sangat serius. Aku melirik melalui sudut mata hanya untuk mendapati rahangnya yang mengeras. Oh, apakah ia marah? Apakah ia sungguh-sungguh dengan alasannya untuk mengawasiku?

“Qai benar, Harry. Kau tidak bisa pergi bersamanya. Acara ini sangat penting bagi keluarga kita. Bukankah Qaireen sudah terbiasa mendaki bersama kalian dulu? Dengan Yusuf ada di sampingnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi,” tukas Ibu seraya menepuk-nepuk pundak Kak Harry. “Dia sudah tumbuh menjadi seorang gadis, Harry. Dia bukan lagi anak-anak yang menangis memintamu menggendongnya ketika jatuh. Kita harus percaya padanya, oke?” terang Ibu. Membuat Kak Harry menunduk, terdiam. Dan aku bisa melihat kedua tangannya terkepal erat. Entah kenapa, ada rasa bersalah yang tiba-tiba datang menelusup.

Begitu pintu ditutup, Kak Harry langsung menatapku. Aku menelan ludah. Kak Harry jarang sekali terlihat sedemikian serius. Jika ia bersikap seperti itu, artinya, ia sungguh-sungguh mengkhawtirkan sesuatu.

“Dengar, Qai,” Kak Harry berjalan mendekat, menatapku lurus-lurus dengan kedua tangan yang ia letakkan pada bahuku. “Mungkin saat ini kau tidak percaya pada keberadaan mereka. Tapi, kau harus tahu ini, cahaya yang terlihat di alam ini merupakan bagian dari spektrum magnetik yang hanya menyumbang sekitar 0,005% di alam semesta.” Kak Harry melepaskan kedua tangannya dari bahuku. Berjalan perlahan menuju meja belajar dan menyalakan lampu di atasnya. Duduk bersandar pada meja dengan kedua kaki menjuntai ke bawah.

Aku terdiam di tempat. Rasa bersalah masih menghantui untuk sekadar membantah segala bentuk ucapannya. Kak Harry pasti memiliki dasar yang kuat saat mempercayai suatu hal. Dia bukan tipikal orang yang dengan mudah percaya pada segala hal yang didengar telinganya.

“Sementara, sisanya adalah energi gelap atau informasi yang tidak terlihat,” lanjutnya seraya mengarahkan sorot lampu pada permukaan meja. Menyisakan ruang gelap di sekitarnya. “Cahaya yang terlihat, hanya membentuk sebagian kecil spektrum elektro-magnetik. Maka, kita hanya bisa melihat sebagian kecil dari 0,005% di alam semesta. Yang artinya, kita hanya bisa menyaksikan tidak sampai 1% dari keberadaan dunia dari cahaya yang masuk ke mata kita. Dan sebagian besar dari kita, tidak menyadari apa yang kita lihat,” jelasnya. Kembali berjalan menghampiriku yang masih terdiam.

Aku menelan ludah. Penjelasannya memang masuk akal. Tapi aku masih sulit menerima selama aku belum mengalaminya. Pasalnya, aku memang tidak pernah melihat hantu. Meskipun aku mendatangi sarangnya, mereka tak pernah menunjukkan batang hidungnya untuk sekadar menyapa dan mungkin ... berkenalan?

“Qai,” suara Kak Harry terdengar pelan dan lembut. “Ini pertama kalinya kau akan pergi mendaki tanpa kami. Ketahuilah, kau sangat berharga bagi kami.” Setelah berkata demikian, Kak Harry sedikit mencondongkan

tubuh dan mendaratkan kecupan lembut di keningku. Membuatku berpikir, mungkin kekhawatirannya terlalu berlebihan. Tapi aku memilih diam. “Berjanjilah, kau akan pulang dengan selamat,” tuturnya, sedikit menundukkan kepala untuk mensejajarkan manik sewarna madu yang melembut dengan netra sepekat malam milikku.

Aku mengangguk. Tersenyum lebar untuk mengurai keseriusan, “Janji.” Dan sekali lagi, Kak Harry mengecup dahiku lembut.

Dalam hati aku melanjutkan, aku akan berusaha. Meskipun aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!