Qaireen menyibak anak rambut di dahi yang menutupi sedikit bagian atas kelopak matanya, seakan kedua bola matanya yang melebar sebesar biji kelengkeng masih tak cukup meyakinkan dirinya atas apa yang ia lihat. Pilar-pilar besar bersepuh emas langsung menyambut indra penglihatannya begitu ia memasuki pintu batu yang terbuka dengan sendirinya ketika Si Raja Singa menggeram pelan.
Tidak hanya itu, sebuah singgasana megah juga terdapat di tengah ruangan yang menyerupai aula. Dinding-dinding batu berukir pun tak kalah menakjubkan. Terutama ketika ukiran-ukiran itu berbentuk seperti manusia setengah abstrak yang terlihat cukup unik penuh misteri. Siapa yang membuatnya? Ide apa yang hendak disampaikan Si Pemahat? Qaireen tak mampu mengendalikan pandangannya. Kepalanya bahkan berputar dengan mulut sedikit terbuka, melupakan adat kesopanan yang selalu diajarkan orangtua ketika berkunjung ke tempat orang.
“Bukankah aku, benar?” sebuah suara dengan nada santai terdengar. Demi mendengar itu, Qaireen langsung menoleh dan mengangkat sebelah alis. Lantas memutar kedua bola mata ketika menemukan kilatan mengejek dari manik sewarna lautan dalam yang tengah ia papah. Sesaat yang lalu, gadis itu bahkan melupakan eksistensi makhluk astral yang kini menyeringai di sampingnya.
Ya, dia benar. Sampul tidak mencerminkan isi. Memangnya kenapa kalau ia salah menduga?
Gadis itu berdecak pelan ketika pemuda di sampingnya tak kunjung menarik sudut-sudut bibirnya kembali, bahkan tersenyum semakin lebar dengan atensi penuh ke arahnya. Seolah menikmati setiap inci perubahan ekspresi Qaireen dengan takjub.
Dipandang sedemikan intens, benar-benar membuat Qaireen merasa gerah. Panas tubuhnya tiba-tiba meningkat. Memunculkan semburat merah di kedua pipinya yang mulus seperti porselin tanpa bisa ia kendalikan. Membuat wajahnya terlihat seperti bongkahan buah tomat yang segar dan ranum. Qaireen menggumamkan umpatan sambil berpaling. Merutuki respons tubuhnya yang sungguh memalukan.
“Wajahmu merah, apa kau demam?” tanya Liu dengan nada kekhawatiran yang terdengar sangat jelas. Ekspresi jahilnya seketika berubah serius. Mengangkat sebelah tangannya untuk menyentuh dahi Qaireen tanpa peringatan. Membuat gadis itu semakin mendidih. “Astaga, panas sekali. Kau tidak enak badan?” sambung Liu cepat, menangkup kedua pipi Qaireen dengan kedua telapak tangannya yang kokoh, memaksa gadis itu untuk melihat lurus ke arah matanya. Membuat Qaireen langsung membulatkan kedua bola matanya menjadi semakin besar. Begitu terkejut sampai-sampai lupa mematahkan tangan Liu yang membuat wajah mereka terasa begitu dekat. “Tunggu sebentar, akan kucarikan─”
“Tidak perlu, aku baik-baik saja!” sela Qaireen cepat. Secepat gerakan kedua tangannya yang menurunkan kedua tangan Liu dari pipinya yang sudah seperti bara. Sedetik lagi tangan itu berada di sana, gadis itu yakin pipinya bisa digunakan sebagai teflon untuk memasak telor.
“Tapi─”
“Sudah kubilang aku baik-baik saja!” geram Qaireen dengan suara pelan penuh tekanan. Lengkap dengan kedua bola matanya yang berkilat penuh peringatan.
“Baiklah, kalau kau masih bisa marah dan mengerahkan tenaga dalam seperti itu, berarti memang benar, kau baik-baik saja,” simpul Liu dengan nada suara setenang aliran sungai tanpa arus. Tersenyum dengan sebelah alis terangkat. Membuat Qaireen menggelembungkan kedua pipi menahan kesal.
Beberapa saat setelah itu, mereka berdua sudah dibawa masuk ke sebuah ruangan yang tampak aneh bagi Qaireen. Bagaimana tidak? Ruangan itu terlihat seperti dimensi lain yang tak tersentuh. Dikelilingi dengan kabut
menyerupai awan yang tembus pandang dengan warna pelangi. Qaireen bahkan terlihat ragu ketika hendak melangkah masuk. Takut kalau kakinya jatuh terperosok di kedalaman yang tak terukur. Sampai tangan Liu menggenggamnnya erat dan mengangguk disertai senyuman meyakinkan. Memaksa Qaireen mengikuti langkah pemuda itu, yang anehnya, begitu kaki pemuda itu melangkah masuk, ia terlihat membaik dengan cepat. Jalannya tidak lagi sempoyongan. Bahkan ia bisa berdiri kokoh dengan kedua kakinya tanpa perlu bantuan Qaireen untuk memapahnya.
“Tempat apa ini?” desis Qaireen yang menatap waspada ke sekitaran.
“Ini adalah ruang penyembuhan yang dipenuhi dengan energi kehidupan dari semesta. Pangeran Liu dapat menyembuhkan diri dengan cepat di tempat ini,” jelas Si Raja Singa, memandu jalan seperti pemandu wisata turis mancanegara. Membuat dahi Qaireen mengkerut semakin dalam. Ia sama sekali tidak mengerti bagaimana cara kerja ruangan yang dikatakan ruang penyembuhan ini. Satu hal yang ia pahami, tempat ini akan membantu Liu menyembuhkan diri dengan cepat. Dan sama sekali tidak ada ide apa yang akan dilakukan Liu. Menyerap energi, mungkin?
Tepukan halus di bahu Qaireen menghentikan kesibukan pikirannya yang menebak-nebak sesuka hati. Gadis itu menoleh dan mendapati senyum hangat Liu yang penuh percaya diri seolah meyakinkan siapa pun yang menerima senyuman itu bahwa ia tahu apa yang harus ia lakukan, dan semuanya akan baik-baik saja. “Kau tunggu di sini, aku akan segera kembali,” perintah Liu, melepaskan genggaman tangannya yang kokoh dari tangan kecil Qaireen.
Gadis itu sedikit mendongak agar dapat menatap lurus wajah Liu. “Berhati-hatilah,” lirih Qaireen. Masih menyimpan sedikit keraguan yang terpancar jelas dari kilat matanya yang menatap penuh waspada.
“Tenang saja. Aku akan kembali bahkan sebelum kau mengedipkan mata,” gurau Liu seraya menyentil lembut dahi Qaireen yang sejak kedatangan mereka selalu melebarkan kedua bola matanya. Segera berbalik dan berjalan menjauh dengan cepat sambil terkekeh pelan saat menyadari Qaireen yang siap mencabiknya.
Saat Liu berjalan menuju ke tengah ruangan bersama Si Raja Singa, sebuah piringan berbentuk bulat menyerupai kaca muncul ke permukaan. Tanpa ragu, Liu langsung melompat ke tengah dan duduk bersila di sana. Kedua matanya terpejam. Duduk tegap dengan kedua tangan ditangkupkan di depan dada. Tampak tenang dan penuh konsentrasi. Sementara Si Raja Singa hanya berdiri diam di dekatnya. Pangeran dari dimensi lain itu tampak tahu betul apa yang harus ia lakukan tanpa perlu penjelasan.
Qaireen mengamati semua itu dalam diam. Merekam setiap detail kejadian dalam ingatan. Bahkan ketika piringan itu diselimuti dengan pendar cahaya keemasan, Qaireen masih bergeming. Bahkan mungkin tak berkedip. Seolah
tidak ingin melewatkan detail sekecil apa pun itu.
Belum sempat ia menganalisis apa yang terjadi dengan tubuh Liu yang diselimuti pendar cahaya keemasan itu, tubuhnya nyaris terjengkang ketika sosok Liu tiba-tiba telah berdiri tepat di hadapannya dengan senyum sempurna yang mampu menawan jutaan wanita sekaligus. Beruntung, tangan Liu sigap menahan punggungnya, jika tidak, ia pasti sudah jatuh dengan posisi yang sangat memalukan.
Begitu sadar akan jarak kedekatan mereka, Qaireen langsung menarik diri dengan wajah memerah seperti kelopak mawar yang baru saja mekar. “Se … secepat ini?” tanya Qaireen terbata. Membuka mulutnya tak percaya.
“Karena beliau seorang pangeran, Nona,” sahut Si Raja Singa tenang. Setenang apa pun raja singa, tetap saja selalu mampu membuat bulu kuduk Qaireen berdiri setiap kali ia bicara. “Pangeran Liu, apakah Anda berkenan
tinggal beberapa saat? Hamba akan meminta pelayan untuk mempersiapkan jamuan makan malam sekaligus tempat tidur untuk Pangeran dan Nona Manusia ini,” sambung Si Raja Singa.
Liu tersenyum penuh kharisma. Senyum yang sudah terlatih selama bertahun-tahun. Bahkan semenjak ia baru bisa berbicara, segala etiket seorang bangsawan telah ditanamkan padanya. “Terima kasih, Raja Sadawira. Tapi kami harus segera melanjutkan perjalanan. Mungkin nanti jika ada kesempatan,” jawab Liu dengan lugas dan penuh kesopanan.
Si Raja Singa mengangguk maklum. Lantas, ia tampak bimbang, ada keraguan yang menyelimuti kedua bola matanya yang besar. Seperti ada sesuatu yang hendak ia sampaikan. “Ada apa, Raja Sadawira? Apakah ada sesuatu yang hendak kau sampaikan padaku?” tanya Liu tak mampu menahan diri untuk bertanya karena Si Raja Singa tak kunjung bicara.
“Maafkan hamba, Pangeran. Bukan maksud untuk turut campur dalam urusan Pangeran. Tapi ….” Si Raja Singa kembali dilingkupi keraguan. Ia tampak menunduk. Bagaimana ini, apakah jika ia membantu pangeran berarti sama halnya dengan ia mengkhianati kaisar? Tapi, bagaimana mungkin ia menyembunyikan sesuatu yang ia ketahui sedangkan pangeran sedang mencarinya?
“Katakan saja, Raja Sadawira,” tegas Liu tetap dengan nada tenang. Sementara kedua bola matanya tampak menatap lekat ke arah Si Raja Singa dengan penuh penilaian. Apa kiranya hal penting yang akan disampaikan Raja Sadawira? Kenapa ia terlihat begitu bimbang?
“Apakah Pangeran sedang mencari di mana guru tinggal?” tanya Si Raja Singa pada akhirnya. Memutuskan untuk membantu Pangeran Liu. Bagaimana pun juga, sebagai bawahannya, Si Raja Singa sangat menghormati Pangeran Liu. Ia masih sangat muda. Tapi bakat yang ia miliki sungguh luar biasa. Bahkan jauh lebih hebat dari kaisar yang merupakan ayahnya. Si Raja Singa sangat menyadari hal itu. Karena itulah ia memutuskan membantu Pangeran Liu yang berusaha mengembangkan kemampuannya. Meskipun pada praktiknya, Sang Pangeran yang terkenal sangat keras kepala dan suka semaunya sendiri itu tidak menempuh jalur aman yang seharusnya ia lewati. Melainkan memilih mendaki jalan terjal dengan jurang di kanan dan kiri. Tapi, bukankah hal itu akan menjadi pengalaman masa muda yang ia butuhkan? Membantunya membentuk karakter bijaksana ketika ia kelak menjadi kaisar? Atas pertimbangan itu, Si Raja Singa pun mengambil risiko. Ia tidak akan menyesal jika pada akhirnya akan medapat hukuman dari kaisar.
“Benar. Apakah Raja Sadawira tahu di mana guru tinggal saat ini?” tanya Liu langsung, menebak dengan sangat tepat. Kedua bola matanya berpendar antusias. Seperti ada cahaya terang di dalamnya.
Raja Singa mengangguk, “Saat ini guru ada di Lembah Hijau, Pangeran. Hamba bertemu dengan beliau beberapa hari yang lalu ketika sedang berkeliling. Mungkin informasi ini bisa sedikit membantu Pangeran menemukan arah tujuan,” jelas Si Raja Singa tulus. Liu tahu Si Raja Singa berkata jujur. Tidak ada sedikit pun tanda yang mengindikasikan bahwa ia bermaksud mengelabuhi mereka.
Liu tersenyum lebar, menoleh ke arah Qaireen untuk membagi kesenangan yang ia rasakan. Dan sejenak, pandangannya terpaku saat melihat gadis galak di sampingnya─untuk pertama kali─tersenyum dengan sangat
cemerlang, sebuah senyum menawan yang sungguh keluar dari dasar hati. Liu berdeham untuk menenangkan degup jantungnya. “Terima kasih, Raja Sadawira. Jika bukan karena informasi yang kau berikan, mungkin kami sudah berjalan ke arah yang salah,” balas Liu dengan kesopanan yang membuat siapa pun langsung mengagumi dan menaruh perasaan hormat padanya.
“Senang bisa membantu, Pangeran. Kedatangan Pangeran sepertinya sudah dinantikan oleh beliau,” timpal Si Raja Singa. Tak seorang pun yang tak mengenal Sang Guru di dunia mereka. Seorang guru yang keilmuannya sungguh tak tertandingi. Sangat bijaksana dan memilih hidup sederhana jauh dari keramaian kota. Tempat tinggalnya selalu berpindah-pindah menuruti kata hati. Akan susah sekali menemukannya jika bukan karena jalinan takdir yang telah
digariskan.
“Kalau begitu, sebaiknya kami bergegas. Terima kasih atas bantuan Raja Sadawira. Kami mohon pamit,” tutur Liu sopan. Sedikit membungkuk sebagai ungkapan rasa terima kasih.
“Pangeran tidak perlu merendah seperti itu. Sudah menjadi tugas hamba untuk membantu Pangeran. Mohon berhati-hati di jalan, Pangeran. Pasukan elite kerajaan telah disebar di mana-mana. Dan hamba dengar, beberapa
pasukan dari Utara juga telah berhasil menyelinap. Saat ini di luaran tengah diadakan penggeledahan besar-besaran oleh pasukan khusus kerajaan kita. Sebaiknya Pangeran tidak pernah menurunkan kewaspadaan,” imbuh Si Raja Singa.
Informasi terakhir yang didengar Liu berhasil menarik perhatiannya, dahinya berkerut samar, tapi tak urung, ia kembali sedikit membukuk untuk mengucapkan rasa terima kasih dan berpamitan.
Ketika keluar dari istana Si Raja Singa, Liu merasakan energinya penuh maksimal. Segala luka dan rasa sakit yang ia rasakan sudah hilang tak berbekas. Membuat fungsi indera tubuhnya kembali menajam. Bahkan jauh lebih tajam dari sebelumnya. Harus ia akui, ruangan penyembuhan Si Raja Singa sungguh hebat. Banyak energi positif yang terkumpul secara alami di sana. Tidak kalah hebat dengan milik kaisar yang ada di istana. Ketika ia memfokuskan pikirannya, ia bahkan bisa menangkap gerakan tikus yang gemetar ketakutan ketika disambar ular dari jarak ratusan kilometer di Selatan.
Liu memindai keadaan sekitar dengan awas. Memastikan bahwa keadaan mereka aman sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
“Liu,” lirih Qaireen. Tangannya bergerak cepat mencengkeram lengan Liu. Membuat pemuda itu langsung menoleh dengan tampang khawatir sekaligus terkejut.
“Ada apa?” tanya Liu cepat. Pandangannya jatuh pada kedua tangan Qaireen yang mencengkeram lengannya semakin erat. Sebelum akhirnya mengikuti arah telunjuk Qaireen yang mengarah pada rumpun dedaunan yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Ketika pandangannya menemukan penyebab gadis galak di sampingnya berubah menjadi kucing kecil bersembunyi di balik punggungnya, Liu tak mampu lagi menahan diri, tawa renyah lolos begitu saja dari bibirnya. Membuat Qaireen langsung mendelik galak.
“Sebaiknya kita cepat pergi dari tempat ini,” desis Qaireen. Hanya dengan melihat segerombolan ulat bulu yang memenuhi serumpun dedaunan, tubuh Qaireen langsung diserang rasa gatal. Gadis itu memang memiliki kebiasaan lebih liar daripada laki-laki. Ia bahkan berani memanjat pohon kelapa di saat kakak keduanya setangah mati takut ketinggian. Tapi, untuk satu hal ini, ia sungguh tak mampu berkompromi. Betapun ia berusaha, rasa geli bercampur jijik langsung menyergapnya ketika melihat benda kecil menggeliat dengan sangat menjijikkan. Satu ekor saja sudah berdampak buruk bagi mentalnya yang berpengarh langsung pada tubuhnya. Apalagi dengan jumlah ratusan yang bergerombol dan saling tumpang tindih. Bulu kuduknya langsung berdiri, keringat dingin bercucuran dari dahinya. Menghentikan tawa Liu seketika. Benarkah gadis ini ketakutan setengah mati hanya karena ulat bulu?
“Kau sungguh takut dengan mereka?” tanya Liu dengan sebelah alis terangkat, bertanya hanya untuk memastikan. Meskipun semua sudah terlihat sangat jelas.
“Cepat pergi dari sini!” geram Qaireen dengan wajah dipalingkan ke sisi kanan tubuhnya. Berharap menemukan pemandangan lain yang lebih bagus untuk dinikmati. Tapi sungguh sial baginya, sepertinya pintu gerbang Si Raja Singa dipenuhi dengan ulat bulu. Atau, mereka bagian dari penjaganya? Tubuh Qaireen mulai gemetar. Tanpa sadar ia menenggelamkan wajahnya ke punggung Liu dengan mata terpejam erat. “Cepat bawa aku pergi dari tempat ini, Pangeran Liu!” perintahnya dengan suara bergetar penuh penekanan.
Liu bahkan bisa merasakan kedua bibir Qaireen yang menyentuh punggungnya bergetar. Begitu pula kedua tangannya yang mencengkeram kuat lengannya juga demikian. Tidak salah lagi, gadis ini memang ketakutan setengah mati.
Tanpa perlu berpikir lagi, Liu langsung meraih tubuh Qaireen dalam gendongannya. Melangkah cepat dan setengah berlari menjauhi kawasan Si Raja Singa. Melompat-lompat di atas dahan dengan gesit. Meninggalkan bunyi gemeretak ranting patah yang diinjak. Sesekali Liu menunduk untuk memastikan keadaan Qaireen, dan rahangnya langsung mengeras ketika menyadari sekujur tubuh gadis itu kini dipenuhi ruam merah dengan kedua mata yang masih terpejam erat. Karena dorongan yang sangat kuat dari dalam dirinya untuk segera menemukan obat penawar untuk gadis manusia ini, tanpa ia sadari, kecepatannya pun bertambah berkali-kali lipat. Bergerak dengan kecepatan seekor jaguar. Yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Apakah ini karena efek dari pengobatan di ruang khusus Si Raja Singa? Ataukah ada factor pendorong lain?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Nisya_hye
hahhaha.... takut ulat bulu ternyata
2019-12-17
3