Mega tersenyum mengembang, tangannya terangkat ke atas menadah hujan yang turun rintik-rintik. Musim hujan seperti saat ini, tak jarang hujan turun dari pagi hingga sore hari. Dari tempatnya berdiri kini ia dapat melihat jauh di seberang sana gunung dan hutan lebat di sekitarnya, juga kebun teh yang luas bak permadani indah memanjakan mata yang melihatnya.
Di bagian lain, terdapat hamparan sawah hijau yang berpetak-petak tersusun rapi diselingi aliran sungai kecil yang terdapat di sebelahnya. Dan di sebelahnya lagi, ia juga dapat melihat kebun-kebun milik warga yang sebagian ditanami pisang dan kelapa.
Hatinya menghangat, sejenak matanya terpejam meresapi keindahan alam di depannya itu. Hawa sejuk yang berasal dari pegunungan membuatnya betah berlama-lama berdiri di samping rumahnya yang berada di lereng bukit.
“Mega,” suara ayahnya memanggil namanya.
“Ya, Ayah.” Mega menurunkan tangannya, menoleh dan tersenyum pada ayahnya.
“Sini duduk dekat Ayah, atau masih mau main hujan-hujanan dulu?”
Mega terkekeh lalu berjalan mendekati ayahnya yang kini tengah duduk di kursi teras depan rumahnya.
“Ayah dengar Kamu mau bergabung bekerja di puskesmas desa kita ini,” tanya ayahnya sambil menyesap teh hijau di tangannya. “Apa sudah Kamu pikirkan matang-matang, bagaimana dengan pekerjaan dan kariermu di kota.”
Mega kembali tersenyum, ia mengambil tempat duduk di sebelah ayahnya.
“Cepat sekali berita tersebar di sini, padahal Mega sendiri belum cerita sama Ayah mama.” Mega mengambil sepotong singkong goreng dan mulai memakannya.
“Di sini semua warga saling kenal satu dengan lainnya, tidak seperti di kota besar. Rumah dempet-dempetan saja belum tentu saling kenal,” ujar ayah menimpali ucapan Mega.
“Kedatanganmu kembali ke desa ini sudah jadi perbincangan warga, nak. Beberapa orang yang melihatmu di tempat bude Nurul waktu itu tentu sudah menyebarkan kemana-mana. Apalagi setelah Kamu membantu Sundari mengobati penyakitnya, mereka terkesan dan terus membicarakanmu.”
Mega mengangguk dan tersenyum lebar mendengarnya, “Bagaimana kabar mba Sundari sekarang, Yah. Mega belum sempat menengoknya lagi.”
“Sudah jauh lebih baik, sudah bisa jalan lagi. Tadi pagi dia datang bawa panganan buat Kamu, sebagai ungkapan rasa terima kasih katanya karena Kamu sudah menolongnya,” ucap ayah.
“Ungkapan terima kasih, Yah? Bawa panganan gitu,” tanya Mega dengan nada heran yang terdengar jelas.
“Jangan kaget, nak. Warga di sini ya seperti itu. Datangnya penghuni baru pasti mengundang perhatian warga, bersikaplah ramah dan menerima kedatangan mereka dengan baik. Jangan menolak apapun yang mereka berikan dan membuat mereka berkecil hati. Terlebih lagi Kamu seorang dokter dan mau bekerja, mengabdi di puskesmas desa kita ini. Meski pada kenyataannya, Kamu adalah warga asli desa ini yang lama belajar di kota.”
“Iya, Ayah.” Mega mengangguk lagi. “Mega sudah putuskan untuk menetap dan bekerja di desa kita ini, Yah. Mega mau bantu warga dengan ilmu yang sudah Mega pelajari dan tenaga yang Mega punya,” ucapnya dengan mata berbinar. “Tenaga medis di sini kurang sekali, sementara warga yang hendak berobat banyak dan harus menempuh jarak yang cukup jauh karena kendala jalan dan juga biaya. Minggu depan Mega balik ke kota dulu dan menyelesaikan semuanya.”
“Baiklah, nak. Jika itu sudah menjadi keputusanmu. Ayah hanya berpesan, jangan mudah menyerah dalam membimbing warga, akan banyak tantangan yang Kamu hadapi nantinya. Tidak semua warga di desa kita ini mudah dan mau menerima informasi baru meskipun itu untuk kebaikan dan kemajuan mereka sendiri. Kemiskinan yang berlarut juga tingkat pendidikan yang rendah membuat mereka tidak suka dengan campur tangan orang lain yang dianggap mengusik kehidupan yang sudah terbiasa mereka jalani hingga saat ini.”
Sore itu Mega berbincang banyak hal dengan ayahnya mengenai keadaan di desa dan warganya yang kebanyakan bekerja sebagai petani dan penggarap lahan kebun milik pengusaha. Begitu asiknya perbincangan itu hingga tak terasa waktu telah menjelang magrib, dan hujan sudah tidak turun lagi.
☆☆☆☆☆☆
Hari pertama di puskesmas desa Parikesit.
Mega tengah menghadapi pasien pertamanya pagi ini. Seorang wanita muda yang dengan sangat antusias menunggu kedatangannya sejak tadi, bahkan sebelum puskesmas buka pagi itu. Usianya masih enam belas tahun, Sekar namanya. Ia ingin konsultasi mengenai sakit yang dialaminya pada bagian kakinya.
“Kaki Saya setiap musim dingin selalu bengkak, bu dokter. Bahkan nggak bisa jalan, tapi kalau musim panas biasa saja. Kadang bengkak dari ujung jari kaki sampai lutut,” keluhnya lalu memperlihatkan betisnya yang sedikit membengkak.
“Apa disertai keluhan lain selain sulit berjalan?” tanya Mega tersenyum mendengar keluhan Sekar.
“Nggak ada dokter,” gelengnya cepat.
“Baiklah, jika tidak disertai keluhan lain silahkan lakukan hal ini untuk mengatasinya.” Mega lalu mulai menjelaskan.
“Gunakan kaus kaki kompresi untuk mencegah penggumpalan darah pada kaki. Bisa juga, Rendam kaki di dalam bak berisi larutan air garam selama 15 – 20 menit untuk mengurangi nyeri pada kaki yang bengkak tadi. Cobalah bergerak setiap jam untuk meregangkan lutut dan pergelangan kaki jika kaki bengkak terjadi akibat terlalu lama duduk atau akibat suhu udara yang dingin.”
“Terima kasih dokter,” ucapnya tulus, matanya berbinar saat tangan Mega memegang jemari tangannya. “Jadi benar berita yang Saya dengar dari warga, bu dokter selain cantik juga baik dan sangat ramah.”
“Oh ya, terima kasih pujiannya. Berbunga-bunga hati ini mendengarnya,” ucap Mega tersenyum lebar sambil memegang dadanya.
“Senang bisa mengenal bu dokter, terima kasih untuk penjelasannya. Saya pamit pulang dulu,” kata Sekar kemudian sambil mengulurkan tangannya bersalaman.
“Sama-sama,” ucap Mega dan membalas uluran tangannya.
Mega bangkit dari kursinya lalu berjalan mengantar Sekar hingga ke pintu. Saat hendak berbalik kembali ke mejanya, senyumnya memudar kala pandangan matanya menangkap sosok Fajar yang tengah berjalan menuju ruangan dokter Rendra yang berada tepat di sebelah ruang kerjanya.
Sesaat langkah lelaki itu terhenti sejenak, matanya menatap lurus pada Mega yang tengah berdiri di depan pintu dengan jubah kebesarannya.
“Jadi dokter muda yang dimaksud Rendra semalam itu dia,” gumamnya pelan. “Ini jadi semakin menarik!”
🌹🌹🌹
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
𓂸ᶦᶰᵈ᭄🇪🇱❃ꨄ𝓪𝓢𝓲𝓪𝓱࿐
saya teringat waktu sd nyolong dugan di sawah
2022-02-24
1
Kidung Mesra
jejak 1
2022-01-11
0
👑卂尺丂ㄚ
keren 👍🏻
2021-12-26
4