BIARKAN AKU JATUH CINTA
Ig @authormenia
Akbar diundang ke SMA dan bertemu dengan Ami yang muda dan cantik. Hatinya terasa kembali pada masa dia masih muda, bagaikan air dingin yang dituangkan air mendidih. Dia menemukan jiwa yang muda dan menarik, sehingga dia terjerumus dalam cinta yang melonjak.
Akbar menjalin hubungan cinta dengan Ami yang berumur belasan tahun.
Bagaimana hubungan dengan perbedaan usia 16 tahun akan berkembang?
Bagaimana seorang gadis yang memutuskan untuk menikah muda harus berjuang untuk mendapatkan persetujuan dari keluarganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Seperti Dancow
Perasaan baru tadi magrib, sekarang sudah jam delapan lebih. Waktu terasa berjalan terlalu cepat, keluh Akbar dalam hati, saat menatap jam tangannya. Ia masih betah duduk di gazebo. Menikmati malam mingguan yang cerah bersama Ami yang lawak. Tidak ada matinya stok candaan gadis periang dan supel itu.
"Keburu malam, Bro." Leo mengingatkan waktunya pulang ke Jakarta. Jus mangga yang masih tersisa, disedot sampai habis. Sudah tiga kali ia mengingatkan Akbar untuk segera berangkat pulang ke Jakarta.
Akbar mengangguk meski bo kong berat untuk beranjak. "Mi, bisa suruh pegawai anterin bill nya kesini?" Ia menyimpan dompet di meja. Bersiap untuk membayar.
"Kata Ibu free, Kak." Ami lebih dulu turun dari gazebo. Bergegas memakai sandalnya. Ia lambaikan tangan, lebih dulu berjalan.
Akbar terkejut. Segera memakai sepatu kets nya dan mengejar langkah Ami. "Jangan dong, Mi. Kak Akbar mau bayar nggak mau gratis. Mana udah ngerepotin Ami sampai nemenin makan."
Ami menghentikan langkah. Membuat Akbar pun ikut berhenti dan saling berhadapan. "Kata Ibu emang Free, Kak. Kalau Kak Akbar maksa, Ibu akan tersinggung, aku juga. Nama Kak Akbar akan diblacklist tidak boleh datang lagi ke rumah Ibu. Gimana, hayoh?" Ami menaik turunkan alisnya dengan kedua tangan terlipat di dada.
"Wah, ancamannya mengerikan. Oke deh, Kak Akbar ngalah." Akbar mensejajari lagi langkah Ami meninggalkan area gazebo. Leo yang berada di belakangnya tersenyum samar.
Saat berpamitan kepada Ibu Sekar, bersamaan dengan Aul yang baru datang ditemani seorang pria yang tak lain adalah Anggara. Membuat Akbar mengerutkan kening melihat Aul malam mingguan dengan orang lain.
"Kak Akbar mau pulang ke Jakarta?" Tanya Aul yang berdiri di samping Ibu Sekar dan Ami.
"Iya, Aul. Permisi ya semuanya." Akbar menyalami Aul dan Anggara. Kepada Ibu Sekar dan Ami sudah bersalaman lebih dulu. Hal yang sama dilakukan Leo. Ia pun berucap salam dan melambaikan tangan.
"Bu, aku juga mau langsung pulang udah malam. Mohon doanya Bu, lusa berangkat ke Semarang dan berdinas di sana." Ucap Anggara yang sudah kenal lama dengan Ibu Sekar, yaitu sejak berteman dengan Puput.
"Wah dinasnya jauh ya sekarang. Semoga sukses dimanapun berada. Sehat selamat." Ibu Sekar mendoakan dengan tulus. Ia memang akrab dengan teman-teman dari semua anak-anaknya yang suka bermain ke rumah.
"Aamiin, Bu." Anggara pun berlalu usai pamit juga kepada Aul dan Ami. Pergi dengan berucap salam.
Aul lebih dulu masuk ke dalam dan masuk ke kamarnya. Merebahkan diri di kasur diiringi senyum lebar. Lega. Semua yang mengganjal di hati sudah diungkapkan. Begitu juga Anggara sudah berbesar hati dan menerima hubungan tetap berlanjut sebagai sahabat.
Waktunya besok bertemu Kak Panji.
Aul bangun dan terduduk sambil memeluk bantal guling dan menyembunyikan senyum. Tidak sabar menunggu pagi.
Begitu pagi menyapa, Aul segera menghubungi nomor Panji saat jam menunjukkan pukul tujuh. Tak ada jawaban meski tiga kali diulang. Bisa jadi Panji sedang joging, pikirnya.
[Kak Panji, bisakah datang ke rumah jam 10?]
Aul menyimpan ponsel usai mengirimkan sebuah pesan. Menyimpan kembali di nakas dan berlalu menuju Dapoer Ibu untuk mengecek kegiatan memasak. Hari minggu pengunjung akan bertambah banyak dibandingkan hari kerja. Porsi masakan selalu dibuat lebih banyak.
Di lantai atas, musik Bollywood sedang dimainkan. Ami sedang melakukan senam pagi dengan iringan lagu India yang enerjik. Hari minggunya cukup santai. Hanya menunggu enam orang teman sekolah akan main ke rumah jam 10 nanti.
Keringat sudah bercucuran. Dirasa cukup melakukan senam selama setengah jam itu. Ami beralih membuka aplikasi pesan, melihat update status orang-orang. Ia tersenyum begitu melihat status Akbar. Sebuah video tanpa caption memperlihatkan kegiatan sedang ngegym.
Padahal semalam di sini , eh sekarang udah di Jakarta aja.
Ami senyum-senyum dan mengirimkan balasan status , [Semangka 💪]
Aul keluar dari dapur rumah makan, menghampiri Ibu Sekar yang sedang berada di taman mawar. Taman kecil di sudut area gazebo yang sengaja Ibunya buat karena kecintaannya berkebun bunga mawar.
"Bu, tadi malam aku udah ngobrol sama Kak Angga, memperjelas semuanya." Aul berdiri di samping Ibu Sekar. Ikut membantu membuang daun yang kering.
"Terus gimana?" Ibu Sekar menoleh sesaat lalu melanjutkan memotong batang yang sudah tinggi dengan gunting khusus. Aul sama seperti Puput, selalu terbuka bercerita urusan pribadi.
"Aku tanyain maksud dari selama ini ngasih hadiah. Kak Angga ngaku suka sama aku. Tapi aku udah minta maaf gak bisa nerima karena kita beda haluan, beda mimpi, aku juga gak ada rasa khusus. Akhirnya dia ngerti. Intinya kita tetap berteman baik." Jelas Aul.
"Syukurlah. Tadi malam juga Ibu lihat wajah Angga biasa aja. Berarti dia menyadari dan nerima ya."
Aul mengangguk.
Ibu Sekar beralih keluar dari taman bunga mawar yang dipasang pagar setinggi 70 cm. Untuk menjaga pengunjung anak masuk tanpa pengawasan karena tangkai berduri. Ia mengajak Aul duduk di bangku panjang yang suka dijadikan para pengunjung berswafoto. "Terus sama Panji gimana? Ibu rasa udah waktunya ngasih kepastian."
"Iya, Bu. Aku udah suruh Kak Panji datang ke rumah nanti jam 10."
"Diterima nih?" Ibu Sekar tersenyum tipis sambil menaikkan satu alisnya.
Aul mengulum senyum dengan wajah merona. "Liat aja nanti." Ia pun beranjak lebih dulu karena tidak mau lagi digoda Ibunya. Bergegas menuju rumah. Penasaran ingin mengecek ponsel yang disimpan di kamar. Sudah adakah balasan dari Panji?
Sementara itu Panji baru pulang lari pagi menyusuri jalan desa. Masuk ke dalam kamar dan membuka kaosnya yang basah. Ia meraih ponsel yang tergeletak di sofa. Termenung menatap 3 kali misscall dan satu pesan dari Aul. Tidak ada lagi semangat menggebu untuk menunggu waktu bertemu. Merasa sudah tahu jawaban yang akan didapat. Ia abaikan, belum ingin membalas. Tidak bersemangat.
Panji keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah dan telanjang dada. Bagian bawah hanya tertutupi handuk sampai pinggang. Tiba-tiba tangannya berhenti saat memilih baju. Kesegaran usai mandi membuat otaknya bisa berpikir jernih. Merasa sikapnya salah karena tidak membalas chat Aul.
[Iya aku akan datang]
Sebuah balasan sudah dikirim. Tidak ingin menjadi pria pengecut. Ia sudah janji mau menunggu sehari. Apapun kalimat yang akan diucapkan Aul nanti, ia akan berbesar hati.
***
Ami menuruni tangga usai mandi dan merapihkan tempat di atas untuk tempat belajar bersama. Bersantai di ruang tamu menunggu teman-temannya datang. Baru juga rebahan, terdengar notif pesan masuk.
[Hai Mi, lagi ngapain?]
Ternyata sebuah pesan dari Akbar. Membuat Ami tersenyum dengan sorot mata berbinar. Segera mengetikkan balasan.
Ami : [Lagi nunggu friends, Kak. Mau belajar bersama persiapan ujian]
Akbar: [Good. Semangat belajarnya ya. Yakin deh rank 1 lagi. Ami gitu lho]
Ami : [Aamiin. Motivasi Coach Akbar sama dengan susu Dancow deh]
Akbar: [Waduh. Kenapa sama dengan susu dancow? 🤔]
Ami : [Dancow hadir mengubah segalanya menjadi lebih indah 🎶 🤭]
Nun jauh berjarak ratusan kilometer. Tepatnya di Jakarta, seorang pria yang sedang bersantai tiba-tiba tertawa lepas sambil memegang ponsel. Mengagetkan dua orang yang berada di sofa hadapannya yang kemudian saling tatap dengan sorot penuh tanya.
"Mam, Mas Akbar pagi ini Iko lihat wajahnya ada yang beda. Fall in love kah dia?" Tanya Iko berbisik, yang merupakan panggilan nama Aiko. Merupakan adiknya Akbar satu-satunya. Ia baru datang dari Singapura kemarin disaat sang kakak berada di Tasik.
"Moga aja. Itu yang Mama harepin. Mungkin aja kakakmu udah kesambet mojang Tasik. Doa Mama dikabulkan sepertinya." Mama Mila balas berbisik dengan wajah semringah. Tidak ingin mengganggu Akbar yang sedang rebahan dengan menumpuk dua bantal sofa sebagai sandaran kepala. Kini asyik lagi mengetikkan pesan sambil senyum-senyum.
Akbar beberapa kali melakukan ketik hapus, ketik hapus. Bingung membalas gombalan receh Ami dengan apa. Ia tidak bisa dan tidak biasa menggombal.
[Nyerah, Mi. Speechless]
[But, makasih udah bikin Kak Akbar happy 😉]
Akbar dengan cepat mengirimkan dua balasan berturut-turut, dengan bibir yang masih melengkungkan senyum.
Ami : [Hi hi hi 🙃. Eh Kak, udah dulu ya. Teman-teman udah datang]
Akbar : [Oke, Mi. Btw, berapa orang temannya?]
Ami : [ 6 orang]
Akbar: [Ok. Semangat belajar!]
Akbar beranjak bangun dan beralih posisi menjadi duduk bersila.
"Mas, Iko mau ngomong. Udah dulu pegang hapenya." Aiko menatap kakaknya yang masih saja belum selesai dengan gadgetnya itu.
"Bentar, dek. Order go food dulu." Sahut Akbar dengan pandangan masih fokus mengamati layar yang menampilkan deretan gambar makanan.