Aku sengaja menikahi gadis muda berumur 24 tahun untuk kujadikan istri sekaligus ART di rumahku. Aku mau semua urusan rumah, anak dan juga ibuku dia yang handle dengan nafkah ala kadarnya dan kami semua terima beres. Namun entah bagaimana, tiba-tiba istriku hilang bak ditelan bumi. Kini kehidupanku dan juga anak-anak semakin berantakan semenjak dia pergi. Lalu aku harus bagaimana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
Belum lagi ibuku yang selalu memarahi Ratu. Segala yang ia lakukan di mata ibuku selalu salah. Masakannya tidak enak, cara mengurus rumah dianggap tidak becus, bahkan cara berbicara pun sering dikritik. Aku masih ingat bagaimana Ratu berdiri di dapur sambil menahan tangis, sementara ibuku terus mengomel tanpa henti.
Dan aku… aku hanya diam. Seolah semua itu bukan urusanku.
Kini, kata-katanya terngiang jelas di kepalaku.
“Kalau suatu hari aku pergi, jangan salahkan aku. Aku tidak bisa hidup terus begini, Erlangga…”
Aku mengembuskan napas panjang, dadaku sesak. Jadi benar, ia tidak main-main. Ia sudah memberi isyarat sejak lama. Dan aku yang bodoh, menganggap ia hanya menggertak.
“Kemana sebenarnya Ratu pergi?” gumamku pelan, tapi nada suaraku penuh geram.
Aku sudah ke rumah ibunya, dan di sana pun Ratu tidak ada. Itu berarti ia benar-benar pergi entah ke mana. Nafasku memburu, pikiranku kalut.
“Kemana aku harus mencarinya? Apa dia bersembunyi di rumah temannya? Atau ada laki-laki lain yang menampungnya?” dugaanku makin liar, membuat darahku mendidih.
Aku menunduk, menatap lantai kamar yang kini terasa dingin dan sunyi. “Kalau dia tidak ada… lalu siapa yang akan mengurus kedua anakku? Mira dan Clara butuh makan, seragam bersih, butuh diawal-awal sekolahnya. Rumah ini… siapa yang akan merapikan semua kekacauan?”
Aku mengepalkan tangan kuat-kuat, wajahku menegang.
“Dan ibuku… siapa yang akan merawat ibuku kalau bukan Ratu? Dia pikir aku bisa membagi semua ini sendirian? Tidak mungkin!”
Amarahku memuncak, tapi di balik itu ada rasa panik yang membuat jantungku berdegup makin keras. Untuk pertama kalinya aku benar-benar merasa kehilangan kendali.
Aku hanya bisa duduk terpaku di ranjang itu. Nafasku terengah, mataku menatap kosong pada lemari yang sudah tak berisi. Tanganku gemetar, perasaan campur aduk antara marah, kecewa, dan panik membuat kepalaku berdenyut.
Perlahan, aku meraih ponselku di atas meja nakas. Jemariku langsung menekan nomor ibu mertuaku. Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara seraknya menjawab.
“Halo… Erlangga?” suara ibu mertua terdengar hati-hati.
Aku langsung meledak.
“Bu! Ini semua gara-gara ibu!"
“Astaga, Ga… kenapa kamu tiba-tiba marah sama saya? Saya salah---"
“Diam, Bu! Aku tidak mau dengar alasan! Aku tahu Ratu ada hubungannya dengan ibu. Kalau dalam dua hari ke depan aku tidak menemukan dia, jangan salahkan aku kalau aku buka semua aib ibu! Termasuk hutang-hutang ibu yang selama ini aku bayar!”
Suara ibu mertuaku tercekat, terdengar jelas ketakutannya.
“Lang… jangan begitu, Nak. Ibu benar-benar tidak tahu Ratu di mana sekarang. Dia tidak pernah pulang, sungguh…”
Aku menggeram, rahangku mengeras.
“Kalau ibu masih mau aku anggap mertua, kalau ibu masih mau aku terus bantu bayar utang, ibu harus ikut cari Ratu! Jangan duduk diam saja! Kalau tidak, jangan salahkan aku kalau aku putus semua bantuan!”
Hening sesaat, hanya terdengar helaan napas berat dari seberang.
“Baiklah… ibu akan coba cari. Tapi tolong, jangan ancam ibu lagi…”
Aku langsung memutus sambungan dengan kasar. Ponsel itu kulempar ke atas ranjang, nafasku masih memburu.
Kusap wajahku kasar, seakan ingin mengusir semua kekesalan yang menumpuk di kepalaku. Pantas saja akhir-akhir ini sikap Ratu berubah. Ia lebih sering diam, menunduk, atau menjawab pertanyaanku sekenanya.
Aku baru menyadarinya sekarang. Tatapan matanya belakangan ini selalu kosong, seakan menanggung beban yang tidak bisa ia ungkapkan. Setiap kali aku marahi, ia hanya terdiam, tidak lagi membantah seperti dulu.
“Jadi… semua itu bukan sekadar lelah. Dia memang sudah merencanakan ini.” Suaraku serak, penuh amarah yang kutahan.
Kepalaku mendongak, menatap langit-langit kamar. Hidungku kembang-kempis menahan emosi.
“Dasar perempuan kurang ajar… berani-beraninya kamu kabur dari rumah ini, Ratu. Kamu kira aku bisa hidup tanpa kamu? Atau kamu kira aku tidak bisa mencari penggantimu?”
Aku bangkit berdiri, mondar-mandir di kamar. Setiap bayangan sikap dingin Ratu akhir-akhir ini semakin jelas di kepalaku, membuat darahku mendidih.
Aku kembali masuk ke dalam kamarku dengan keadaan kacau. Langkahku berat, seakan seluruh tenaga terkuras oleh emosi yang tak kunjung reda. Begitu pintu kututup, aku menjatuhkan diri ke atas ranjang.
Kamar itu berantakan, sama seperti pikiranku. Bantal tergeletak sembarangan, kertas-kertas berserakan di meja, dan asap rokok sisa semalam masih menyengat di udara.
Kupeluk kepala dengan kedua tanganku. Jantungku berdegup cepat, napasku pendek-pendek.
“Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa dia tinggalkan aku di saat seperti ini? Padahal aku masih membutuhkan tenaganya untuk mengurus semuanya. Kalau dia pergi lalu siapa yang cuci baju, cuci piring, siapakan semua makanan. Dan bahkan mengurus ibuku."
Mataku melirik ke arah foto keluarga yang terpajang di meja nakas. Foto itu menampilkan aku, Ratu, Mira, dan Clara. Aku meraih bingkai itu, menatapnya dengan mata memerah. Wajah Ratu yang tersenyum di foto terasa seperti ejekan bagiku sekarang.
Aku menggeram dan melempar bingkai itu ke lantai. Kaca pecah, suaranya menggema menusuk telinga.
“Kalau kamu pikir bisa hidup tenang setelah meninggalkan aku, kamu salah besar, Ratu!”
Aku terdiam lagi, menatap pecahan kaca yang berserakan di lantai. Perasaanku benar-benar campur aduk—antara marah, panik, dan rasa dikhianati.
Suara kaca pecah dan bantingan bingkai rupanya terdengar sampai keluar kamar. Tak lama kemudian, pintu kamarku terbuka dengan cepat.
“Erlangga! Ada apa ini?!” suara ibuku terdengar keras, penuh rasa penasaran bercampur kesal.
Aku terlonjak, menoleh ke arahnya. Ibuku berdiri di ambang pintu dengan wajah panik.
Aku menarik napas dalam, mencoba menahan emosi yang sudah di ambang batas. “Bu… Ratu pergi. Dia kosongkan semua lemarinya. Dia kabur dari rumah ini!”
Mata ibuku melebar. “Apa?! Pergi? Pergi ke mana dia?”
“Mana aku tahu?!” Aku berdiri, menendang kursi hingga terjungkal. “Aku sudah ke rumah ibunya, Bu. Tidak ada! Sekarang aku tidak tahu dia di mana!”
Ibuku menatapku tajam, wajahnya memerah karena marah. “Perempuan itu memang tidak tahu diri! Sudah kamu beri makan, sudah kamu tanggung hidupnya, masih saja berani kabur?! Hah! Dasar istri tak tahu balas budi!”
Aku mendengus keras, wajahku muram penuh amarah. “Apa aku salah, Bu? Apa aku terlalu keras sama dia? Kenapa dia bisa sampai nekat begini?”
Ibuku melipat tangan di dada, lalu mendekat. “Dengar, Ga. Jangan kau salahkan dirimu. Itu memang tabiat Ratu. Dari awal ibu sudah bilang, perempuan itu tidak pantas jadi istrimu. Sekarang buktinya, dia tinggalkan kamu, tinggalkan rumah, bahkan anak-anakmu.”
Aku terdiam, mencoba menelan kata-kata ibuku. Tapi justru hatiku makin panas.