Di malam yang sama, Yu Xuan dan Chen Xi meregang nyawa. Namun takdir bermain jiwa Yu Xuan terbangun dalam tubuh Chen Xi, seorang budak di rumah bordil. Tak ada yang tahu, Chen Xi sejatinya adalah putri bangsawan Perdana Menteri, yang ditukar oleh selir ayahnya dengan anak sepupunya yang lahir dihari yang sama, lalu bayi itu di titipkan pada wanita penghibur, yang sudah seperti saudara dengan memerintahkan untuk melenyapkan bayi tersebut. Dan kini, Yu Xuan harus mengungkap kebenaran yang terkubur… sambil bertahan di dunia penuh tipu daya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 5.Menerima.
Fajar menembus tirai lusuh, membawa cahaya keemasan yang lembut ke kamar kecil itu. Udara pagi masih dingin, aroma tanah basah setelah hujan malam tadi tercium samar dari celah jendela. Xu yuan yang kini sepenuhnya berada dalam tubuh Chen xi ia membuka matanya perlahan.
Tubuh ini lemah, tapi jiwanya terasa berbeda. Ada kekuatan baru yang tumbuh dalam dirinya, kekuatan dari janji dan tekad untuk hidup.
Ia duduk perlahan, memandangi tangannya yang kurus dan pucat. “Mulai hari ini, aku bukan lagi Putri Xu yuan dari istana. Aku adalah Chen xi, putri dari Nyonya Heng,” gumamnya pelan, seolah menegaskan nasib barunya pada dunia.
Suara langkah pelan terdengar dari luar. Ketika pintu terbuka, Nyonya Heng muncul membawa nampan berisi bubur panas dan secangkir teh jahe. Matanya masih sembab, tapi ekspresinya lembut lebih lembut dari yang pernah Chen xi alami sebelumnya.
“Kau sudah bangun,” ucapnya lirih, berusaha tersenyum. “Ibu membuatkan bubur. Kau harus makan, Xi’er. Tubuhmu belum pulih.”
Xu yuan menatap wajah wanita itu wanita yang dulu membuat Chen xi menangis setiap malam, tapi kini menatapnya dengan kasih yang nyaris asing. Ada jeda panjang sebelum ia bicara.
“Terima kasih… Ibu.”
Satu kata itu membuat Nyonya Heng terpaku. Ia memandangi anaknya lama, seolah tak yakin dengan apa yang baru didengarnya. Chen xi tidak pernah memanggilnya begitu lembut. Biasanya penuh takut, kadang dengan tangis yang tertahan. Tapi kali ini… ada ketulusan yang tidak ia sangka.
“Xi’er… kau… benar-benar berubah,” ucapnya pelan.
Xu yuan hanya tersenyum samar. “Mungkin jatuh dari atap itu membuka mataku, Bu. Aku terlalu lama hidup dalam ketakutan. Tapi sekarang aku ingin berubah, jika Ibu mengizinkan bisakah aku mendapatkan kasih sayang mu.”
Nyonya Heng menunduk, jemarinya gemetar saat menyuapkan sendok pertama bubur. “Ibu yang seharusnya minta maaf. Aku terlalu keras padamu. Tapi kau tak mengerti, Xi’er… semua yang kulakukan… demi melindungimu.”
“Melindungi?” Xu yuan menatapnya dengan lembut tapi penuh tanya. “Melindungiku dari siapa?”
Tatapan Nyonya Heng bergetar. Sekilas, wajahnya memucat. Ia memalingkan pandangannya ke jendela, seperti mencari jawaban di balik sinar matahari pagi. “Ada hal-hal yang tak bisa Ibu katakan sekarang. Tapi percayalah, dunia ini kejam bagi mereka yang lahir tanpa nama… apalagi bagi anak perempuan sepertimu.”
Xu yuan menatapnya lama. Ia tak memaksa. Ia tahu luka seorang ibu terkadang lebih dalam dari yang bisa dijelaskan dengan kata-kata. Maka ia menunduk pelan, menerima sendok bubur yang disodorkan Nyonya Heng.
Keheningan memenuhi ruangan akan tetapi kali ini, bukan keheningan yang dingin. Ada sesuatu yang berubah di antara mereka.
Setelah beberapa suapan, Xu yuan bersandar pada bantal. “Bu…”
“Hm?”
“Kalau Ibu ingin aku pergi dari tempat ini suatu hari nanti… aku akan pergi. Tapi sampai saat itu tiba, izinkan aku hidup dengan benar di sini. Aku akan belajar, bekerja, apa pun yang bisa kulakukan untuk tidak membuat Ibu malu.”
Mata Nyonya Heng berkaca. Ia meletakkan sendok, lalu menggenggam tangan anaknya erat. “Xi’er… Ibu tidak pantas mendapatkan kata-kata itu darimu. Tapi jika itu yang kau mau… Ibu akan berusaha memperbaikinya. Mari kita mulai dari awal.”
Xu yuan tersenyum dengan senyum tulus yang membuat wajah Chen xi tampak bersinar lembut untuk pertama kalinya. “Baik, Bu. Mari kita mulai dari awal.”
Di luar, cahaya matahari menembus awan tipis. Bayangan lampion yang semalam menari kini tergantung tenang, tak lagi bergoyang oleh angin.
Xu yuan menatapnya dengan hati yang damai. Ia tahu perjalanan ini baru dimulai.
Ia harus belajar menjadi Chen xi yang baru bukan hanya untuk menebus janji pada gadis malang itu, tapi juga untuk menyembuhkan hati seorang ibu yang terlalu lama hidup dalam ketakutan dan penyesalan.
Dan di dalam hatinya, Xu Yuan berbisik pelan,
“Chen xi, tenanglah di sana. Aku akan menjalani hidupmu dengan benar. Untukmu… dan untuk mendapatkan kasih sayang ibumu.”
Beberapa hari berlalu sejak pagi itu,pagi di mana Xu yuan, dalam tubuh Chen xi, memutuskan untuk memulai hidup baru. Luka-luka di tubuhnya mulai mengering, tapi luka yang tertinggal di hati perlahan disembuhkan oleh sesuatu yang baru… perhatian.
Nyonya Heng benar-benar berubah. Ia tidak lagi membiarkan Chen xi tinggal di kamar sempit yang lembab di belakang rumah bordil. Hari itu, ia memanggil dua pelayan untuk membantu memindahkan barang-barang Chen xi ke kamar lain,kamar yang dulu pernah kosong di lantai dua, menghadap ke taman kecil tempat bunga melati tumbuh liar.
“Bawa kasur dan selimutnya ke kamar timur. Bersihkan tempat itu, dan ganti sprei dengan yang baru,” perintah Nyonya Heng, suaranya tegas tapi hangat.
Para pelayan yang mendengar saling berpandangan, terkejut.
“Nyonya… kamar timur itu kan kamar tamu kehormatan. Apa benar… untuk Nona Chen xi?” tanya salah satu dengan hati-hati.
Tatapan tajam Nyonya Heng membuat mereka segera menunduk. “Mulai hari ini, dia bukan lagi pelayan. Dia putriku.”
Ucapan itu seperti petir di siang bolong. Semua orang di rumah bordil Yue zhi mendengarnya dari gadis-gadis penari hingga penjaga pintu. Nama “Chen xi” yang dulu diucapkan dengan nada ejekan, kini berubah menjadi bisik-bisik penuh rasa ingin tahu dan rasa takut.
Sore itu, Xu yuan berdiri di depan kamar barunya. Pintu kayu berukir bunga peoni, tirai sutra tipis berwarna merah muda, dan aroma melati yang samar memenuhi udara. Ia melangkah masuk perlahan. Semua ini terasa asing, tapi ada kehangatan di sana seperti sebuah tempat yang memberi ruang untuk memulai hidup dari awal.
“Ibu benar-benar memindahkanku ke sini…” gumamnya lirih, menyentuh meja rias sederhana di pojok ruangan. Cermin bundar di atas meja memantulkan wajah Chen xi yang masih pucat, tapi mata itu adalah mata Xu yuan yang tampak hidup dan tegas.
Tak lama, Nyonya Heng masuk sambil membawa kain sutra dan beberapa perhiasan sederhana. “Kau harus membiasakan diri dengan tempat ini. Aku tahu kau tidak nyaman, tapi mulai sekarang… kau akan belajar seperti seorang gadis terhormat.”
Xu yuan menatapnya, sedikit bingung. “Ibu… aku tidak terbiasa memakai pakaian sebagus ini.”
Nyonya Heng tersenyum tipis. “Kau akan terbiasa. Dunia tidak akan menghargaimu jika kau terus tampak seperti budak. Kau putriku meski dunia belum boleh tahu sepenuhnya.”
Xu yuan menunduk hormat. “Baik, Bu. Aku akan belajar.”
Nyonya Heng terdiam sejenak, lalu duduk di sisi tempat tidur. “Xi’er… dengar baik-baik. Rumah bordil ini bukan hanya tempat hiburan. Di balik tawa para penari dan musik kecapi, ada orang-orang yang datang membawa rahasia besar. Ada bangsawan, pejabat, bahkan mata-mata istana. Karena itu, aku ingin kau hati-hati. Jangan terlalu banyak bicara pada siapa pun.”
Xu yuan memperhatikan nada serius di suara ibunya. Jadi begitu... ini bukan sekadar rumah bordil biasa.
“Baik, Ibu. Aku mengerti,” jawabnya perlahan. “Aku tidak akan mencampuri urusan Ibu. Tapi izinkan aku membantu jika ada yang bisa kulakukan.”
Tatapan Nyonya Heng melembut. Ia mengulurkan tangan dan membelai rambut anaknya dimana sesuatu yang dulu tak pernah ia lakukan. “Cukup kau hidup dengan tenang. Itu sudah cukup membantu Ibu.”
Xu yuan mengangguk. Tapi di dalam hatinya, ia tahu hidup tenang bukanlah takdirnya. Ia bisa merasakan sesuatu yang tersembunyi di balik kata-kata ibunya sebuah rahasia yang bisa menjelaskan mengapa Chen xi dulu disembunyikan, bahkan diperlakukan seolah bukan siapa-siapa.
Malamnya, Xu yuan duduk di depan jendela kamarnya yang baru. Dari sana ia bisa melihat taman kecil dengan lampion-lampion merah yang menggantung di sepanjang teras Yue zhi. Musik lembut kecapi dan tawa para tamu terdengar samar dari lantai bawah.
“Rumah ini indah dari luar,” gumamnya, “tapi di dalamnya penuh luka yang belum sembuh.”
Lalu Xu yuan melihat tanda lahir di tangan kanan sekitar pergelangan tangan Chen xi, tanda itu memiliki bentuk yang unik seperti gambar teratai. “Unik juga tanda lahir ini. ”
Dari bawah, suara langkah Nyonya Heng terdengar memerintah para pelayan agar bersiap menyambut tamu penting malam itu. Xu yuan menoleh ke arah tangga. Dalam cahaya lampion, ia melihat siluet seorang pria berpakaian gelap masuk ke aula yang langkahnya tenang, namun penuh wibawa.
Xu yuan merasakan sesuatu yang tak biasa dari aura orang itu.
Siapa pun dia, kehadirannya seolah membawa angin perubahan.
Dan malam itu, di rumah bordil Yue zhi yang bersinar gemerlap, Chen xi atau tepatnya Xu yuan dalam tubuhnya resmi memulai hidup barunya.
Sebagai putri dari Nyonya Heng, dan sebagai satu-satunya gadis yang mungkin bisa membuka rahasia tentang identitas Chen xi.