NovelToon NovelToon
Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:7.5k
Nilai: 5
Nama Author: Shinta Aryanti

Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Orang Asing Di Dunia Asing

Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti kampung saat Rania menuruni anak tangga rumah orang tuanya dengan langkah pelan. Jemarinya yang pucat mencengkram tas kecil yang semalam tak sempat ia bongkar. Tak ada suara Ibu yang mengetuk pintu kamar untuk membangunkannya. Tak ada aroma teh manis dari dapur. Yang ada hanya keheningan.. dingin dan pekat.

Tak seorang pun keluar untuk melepas kepergiannya. Sejak semalam, rumah itu terasa sunyi. Ibu dan Bapak tak lagi muncul setelah Rania mengutarakan niatnya untuk bercerai. Kamar mereka tertutup rapat. Tak ada suara, tak ada langkah, hanya cahaya redup dari celah pintu yang membuktikan mereka masih di dalam.

Kakak - kakaknya pun lenyap entah kemana. Kak Erin yang semalam membelalak marah kini seolah menghilang. Kak Maya yang begitu lantang mengancam Rania untuk tak 'mempermalukan keluarga' juga tak terlihat batang hidungnya. Mungkin mereka sedang sibuk dengan rutinitas pagi... atau mungkin mereka memilih untuk tak bertemu Rania lagi.

Kalimat terakhir yang Rania dengar dari mereka semalam masih menggema di kepalanya,

"Kalau kamu cerai, siapa yang akan membiayai Bapak dan Ibu?"

"Apa kata orang nanti kalau kamu cerai? Apa kamu ingin menjadi bahan omongan tetangga?"

"Jangan harap kami mau menampungmu."

Rania menahan isak. Mengetuk pelan pintu kamar orang tuanya.

"Pak, Bu.. Rania pulang dulu ya. Maafkan Rania.." pamitnya. Tapi tak jawaban. Hening.

Langkah kaki Rania gontai ketika keluar rumah. kakinya seolah enggan berjalan… meninggalkan benteng pertahanan terakhirnya untuk kembali ke neraka.

Di depan rumah, embun masih menempel di kaca mobil tuanya. Ia menyeka dengan tangan gemetar, lalu masuk ke dalam mobil. Mesin menyala pelan, seolah ikut berat hati.

Ia menatap kaca spion, berharap ada yang berdiri di teras, melambaikan tangan, berdoa untuknya, atau sekadar membawakan perbekalan untuk di jalan. Tapi tak ada siapa - siapa. Kosong.

Ia pulang ke rumah ini kemarin dengan tangisan, dan hari ini ia pulang dari rumah itu.. tetap dengan tangisan.

Tak ada tempat yang benar - benar memeluknya. Rumah yang ia rindukan nyatanya tak lebih dari tempat yang diam - diam menghakimi. Keluarga yang dulu membuatnya merasa aman, kini hanya menambah luka.

Setir ia genggam erat. Bibirnya bergetar, tapi tak ada doa yang keluar. Yang ada hanya air mata, jatuh satu - satu di pipi yang sudah basah sejak semalam.

Di tengah keheningan jalan kampung yang becek dan sepi, hanya suara mesin tuanya yang menemani, satu - satunya yang tak meninggalkannya.. sejauh ini.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Pom bensin di pinggir tol itu masih sepi. Hanya ada beberapa mobil parkir di bawah kanopi besi, dan seorang petugas muda yang tengah membersihkan bekas tumpahan bensin di lantai.

Rania menghentikan mobil tuanya di depan minimarket besar yang berdiri mencolok di sisi pom bensin. Bangunannya modern, nyaris seperti supermarket kecil. Ia turun perlahan. Perutnya kosong, hati dan kepalanya terasa berat.

Langkahnya terasa asing saat menyusuri lorong - lorong minimarket yang bersih dan terang. Ia melewati rak berisi biskuit impor, minuman kaleng, dan coklat mahal.. semuanya tak tersentuh. Di ujung, ia menemukan sepotong roti isi coklat dengan harga paling murah. Itu saja. Itu cukup untuk mengisi perut yang belum disentuh makanan sejak kemarin siang.

Ia menggenggam roti, melangkahkan ke meja kasir. Tak banyak yang mengantri, tapi seorang ibu berbelanja banyak sekali, beberapa orang menunggu dengan sabar. Termasuk Rania.

Rania membuka tasnya, mengeluarkan ponsel yang sejak kemarin ia matikan. Layarnya menyala, lalu muncul notifikasi pesan. Ia menarik napas. Mungkin.. Niko sudah panik. Mungkin dia menelepon. Mungkin ada pesan maaf.

Tapi....

Tidak ada.

Tak ada satu pun panggilan tak terjawab. Tak satu pun pesan dari Niko.

Hanya satu pesan, dari Ibra.

"Ma, jaket Ibra yang warna biru dimana? Besok Ibra mau pergi rame - rame sama Ibu, Papa, Kakek dan Nenek juga. Oh ya, Tante Sonia juga ikut."

Deg.

Rania membeku. Ibu? Papa? Kakek dan Neneknya, bahkan Kak Sonia kakak iparnya?

"Rame - rame? Ke mana? Tanpa aku?"

Dahi Rania berkerut, sekali lagi membaca pesan dari Ibra… setahunya tidak ada info soal acara pergi bersama. Tapi tak mungkin juga kalau Ibra berbohong. Tidak… anak sepolos itu tak mungkin mengarang cerita.

Jari - jarinya gemetar saat membuka grup WhatsApp keluarga. Tapi tidak ada apa - apa. Hening. Seolah ia memang tak pernah jadi bagian dari rencana. Seolah keberadaannya... tak penting.

Ia lalu membuka sosial media. Dengan akun palsu yang selama ini ia buat diam - diam, khusus untuk memantau pergerakan Wulan semenjak wanita itu merangkak kembali ke dalam pernikahannya dan Niko.

Rania tertegun mendapati satu foto di akun Wulan. Foto yang membuat dunia seakan runtuh di atas kepala Rania.

Ibra, putra tirinya dengan senyum lebar diapit oleh Wulan dan Niko yang juga terlihat bahagia. Di samping mereka mertua Rania berdiri sumringah, dan berdiri paling pinggir.. Sonia, kakak ipar Rania yang selama ini ramah dan perhatian padanya, justru di foto itu terlihat seperti orang yang paling berbahagia.

Rania membatin.

"Mereka pergi sekeluarga... dan aku bahkan tak tahu?"

"Apa mereka bahkan gak sadar kalau aku gak ada di sana?"

"Apa aku ini....apa aku sudah bukan siapa - siapa lagi?"

Wanita cantik itu tak sanggup lagi berpikir. Senyumnya miris, matanya panas. Tangan yang menggenggam roti murahan itu mulai gemetar. Dengan kaki lemas, ia keluar antrian… menyusuri lorong dan meletakkan kembali rotinya di rak. Laparnya hilang sudah. Seleranya sirna entah kemana.

Tatapannya kosong saat duduk di bangku tempat orang minum kopi atau sekadar makan makanan ringan. Awalnya ia hanya diam, termangu. Membisu. Namun beberapa menit kemudian isaknya mulai terdengar pilu, perih.

Tak peduli beberapa orang memandangnya.. seorang wanita muda yang menangis diam - diam di pojok minimarket.

Rania memeluk dirinya sendiri, di tengah pandangan orang yang ingin mencari tahu apa yang membuat seorang wanita sampai sehancur itu.

****************

Suara pintu bel minimarket berbunyi. 'Ting..'

Langkah - langkah masuk. Sepatu kulit. Derap langkah orang - orang penting. Wangi parfum mahal menguar di udara, menciptakan aura yang langsung menarik perhatian semua pengunjung dan pegawai. Semua kepala menoleh.

Semua, kecuali Rania.

Dia tetap tenggelam dalam air mata dan kesedihan. Bahkan kalau pun dunia terbakar, Rania akan bergeming. Hanyut dalam kehancurannya.

Sampai seseorang menghampirinya entah datang dari mana, dan entah siapa. Kini berdiri tak jauh dari Rania. Menatap iba.

"Nona butuh ini." Suara itu terdengar tegas, tapi sopan. Menyodorkan sebungkus tisu yang baru saja dibuka.

Rania menoleh pelan dengan wajah yang basah, sekian detik ia menatap pria di depannya, otaknya memproses sebelum matanya melebar. wanita itu refleks berdiri dari duduknya.

Itu adalah sopir yang menolongnya kemarin. Sopir yang muncul dari dalam mobil mewah saat mobilnya mogok, yang menawarkan bantuan tanpa tanya.

"Anda... yang kemarin, kan?"

Sopir itu mengangguk tenang.

"Te.. terima kasih.." ucap Rania di sela isakannya. Menerima tisu dengan kedua tangan.

Ia mengusap air mata dan menyeka ingus dengan tisu itu. Tisu yang membuat hatinya menghangat.

Tangannya yang gemetar lalu pelan membuka dompet yang sudah usang. Lecet sana sini, menyodorkan beberapa lembar uang.

"Ini... untuk mengganti tisu. Dan waktu itu...” ucap Rania ragu. “Tapi maaf... saya hanya punya segini.."

Sopir itu menggeleng, tersenyum sopan. "Tidak perlu, Nona." Ucapnya.

Tak lama tangan sopir itu terangkat, memberi aba - aba ke meja kasir. Isyarat untuk salah satu pegawai agar datang menghampiri, membawa dua kantong plastik besar dan penuh berisi makanan ringan, minuman, dan banyak roti.

"Ini untuk perjalanan pulang Nona." ujar sopir itu.

Rania mengernyit, matanya bergantian menatap sang sopir dan belanjaan. “Untuk saya?”

Bapak sopir mengangguk pelan, tak lupa tersenyum.

“Tidak... saya tidak bisa terima. Maaf tapi... saya tidak punya uang untuk membayar semua itu."

Seperti robot terlatih. Sopir itu kembali tersenyum sopan. “Semua sudah dibayar oleh Tuan... maksud saya bos saya, Nona. Jadi Nona tidak perlu khawatir."

Kepala Rania spontan menggeleng cepat, sumpah demi apa pun ia paling tidak suka dikasihani.

”Sekali lagi, terima kasih. Tapi… maaf saya tidak bisa menerimanya.”

Pria dengan setelan rapi itu seperti bisa membaca jalan pikiran Rania, kembali tersenyum ketika berkata, “Ini bukan kasihan, Nona. Ini hanya sedikit bantuan."

“T- tapi….. saya….”

Dengan wajah datar dan mengangguk sopan, sopir itu pamit. Lalu melesat melangkah cepat. Pergi begitu saja, meninggalkan seabreg belanjaan dan Rania yang masih tertegun.

Rania yang masih membeku di tempat segera tersadar. Dengan menenteng seabreg belanjaan dan kaki yang masih lemas, ia mencoba menyusul sopir yang berjalan cepat jauh di depannya. Ia ingin berterima kasih, ingin bertanya kenapa sebaik itu pada orang yang bahkan tak dikenal, pada sopir itu atau mungkin pada orang yang disebut 'Bos' tadi.

Tapi saat kakinya menyentuh teras minimarket, sopir itu sudah masuk ke dalam mobil. Yang tersisa hanyalah barisan pria berjas rapi yang berdiri disiplin di dekat dua mobil mewah berwana hitam mengkilap.

Di antara kerumunan pria berjas yang berdiri rapi dan kaku seperti pagar hidup, Rania hanya sempat melihat sekilas. Punggung tegap seorang pria tinggi yang mengenakan setelan jas mahal, jatuh rapi di tubuhnya. Wajahnya tak terlihat, tertutup tubuh - tubuh tegap di sekelilingnya yang seperti sengaja berdiri untuk membatasi pandangan siapa pun.

Pria itu melangkah masuk ke mobil terakhir, tenang dan penuh wibawa. Hanya setelah pintu mobilnya tertutup rapat, barulah yang lain menyusul.

Rania berdiri terpaku depan minimarket, dengan mata merah dan kantong plastik di tangan. Menatap pergi mobil - mobil mewah itu.

"Terima kasih..." Gumamnya, seolah terdengar oleh orang yang dituju, entah siapa.

(Bersambung)...

1
yuni ati
Mantap/Good/
Halimatus Syadiah
lanjut
Anonymous
buat keluarga Niko hancur,, dan buat anak tirinya kmbali sama ibux,, dan prlihatkn sifat aslix
Simsiim
Ayo up lagi kk
Kinant Kinant
bagus
Halimatus Syadiah
lanjut. ceritanya bagus, tokoh wanita yg kuat gigih namun ada yg dikorban demi orang disekelilingnya yg tak menghargai semua usahanya.
chiara azmi fauziah
kata saya mah pergi aja rania percuma kamu bertahan anak tiri kamu juga hanya pura2 sayang
Lily and Rose: Ah senengnya dapet komentar pertama 🥰… makasih ya udah selalu ngikutin novel author. Dan ikutin terus kisah Rania ya, bakal banyak kejutan - kejutan soalnya 😁😁😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!