Novel ini sakuel dari novel "Cinta yang pernah tersakiti."
Tuan, Dia Istriku.
Novel ini menceritakan kehidupan baru Jay dan Luna di Jakarta, namun kedatangannya di Ibu Kota membuka kisah tentang sosok Bu Liana yang merupakan Ibu dari Luna.
Kecelakaan yang menimpa Liana bersama dengan suami dan anaknya, membuatnya lupa ingatan. Dan berakhir bertemu dengan Usman, Ayah dari Luna. Usman pun mempersunting Liana meski dia sudah memiliki seorang istri dan akhirnya melahirkan Luna sebelum akhirnya meninggal akibat pendarahan.
Juga akan mengungkap identitas Indah yang sesungguhnya saat Rendi membawanya menghadiri pesta yang di adakan oleh Jay.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma Banilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia, lucu sekali
"Hei, kamu kenapa?" Tanya Rendi menghampiri Indah yang tengah melamun.
Sedari tadi dia mengetuk pintu kamar yang terbuka, serta memanggil nama calon istrinya yang sedang duduk di tepi ranjang, namun yang di panggil tak bergeming, Ia larut dalam lamunannya.
"Ehhh, kamu Mas, ngagetin aja." Kaget Indah yang baru tersadar dari lamunannya setelah Rendi menepuk bahunya.
"Aku perhatikan akhir-akhir ini kamu sering melamun. Apa yang kamu pikirkan?" Tanya Rendi ikut duduk di samping Indah.
Indah berdiri lalu berjalan ke arah balkon kamarnya, menatap langit yang di hiasi bintang-bintang, tangannya berpegangan pada besi.
"Entahlah Mas, hatiku gelisah, seperti ada yang harus aku perbaiki, tapi apa? Aku sendiri bingung." Jawab Indah lalu menghembuskan napasnya gusar.
"Tapi aku teringat adikku Mas." Sambungnya menoleh pada Rendi yang berdiri di sampingnya.
"Adik?" Kaget Rendi menatap dalam pada Indah, Indah mengangguk dan kembali menatap ke depan.
Rendi mengedarkan pandangan mencari gadis kecil yang ternyata sedang duduk di taman dekat rumah, Rendi melihatnya dari atas.
"Tapi, Nisa baik-baik saja, apa dia membuat kesalahan?" Tanya Rendi yang mengira adik yang di maksud indah adalah Nisa, adik angkatnya.
"Ihhh bukan Nisa Mas." Protes Indah melipat tangannya di dada.
"Terus?" heran Rendi.
"Adik kandungku, Emil. Aku terus kepikiran dia, Mas." Jawab Indah dengan bibir cemberut.
Rendi memicingkan mata, "Kamu ngga bilang kalau kamu punya adik kandung. Siapa namanya? Emil?"
"Yang aku ingat namanya Emil, tapi aku ngga ingat nama panjangnya Mas." Jawab Indah.
"Apa kamu sama sekali ngga ingat Indah? Bukankah saat itu usia kamu cukup besar untuk mengingat semuanya." Heran Rendi, pasalnya Indah saat ditemukan di sungai berusia sepuluh tahun, harusnya dia sedikit saja ingat tentang keluarga dan juga tempat tinggalnya.
"Aku tidak tau Mas, aku pusing setiap berusaha mengingat masa lalu ku, tapi kepingan ingatan itu hadir bagai puzzle yang belum tersusun rapih. Ingatan tentang adikku muncul saat mimpi buruk itu hadir, aku ingat saat itu aku dan kedua orang tua ku ingin memberikan kejutan ulang tahun untuk adikku, Emil. Tapi kejadian itu justru memisahkan kami." Terang Indah, bahunya berguncang, airmata meleleh begitu saja di pipi.
Rendi menariknya ke dalam pelukan, "Sudah! Kamu yang sabar, aku yakin, suatu saat kamu akan menemukan keluarga kamu lagi, hanya butuh waktu yang tepat, dan aku yakin, Allah punya rencana Indah untuk kamu." Ucapnya mengusap punggung Indah.
"Iya Mas, aku hanya harus sedikit bersabar." Sahut Indah yang begitu nyaman di pelukan Rendi.
"Kalau begitu, sekarang lebih baik kita lanjut berkemas, supaya besok kita tidak keteter." ajak Rendi melerai pelukannya, "Ingat loh, kamu akan ikut aku ke Jakarta untuk mengurus proyek pembangunan kantor cabang, dan kamu akan menetap disana, karena Tuan Jay menunjuk kamu secara khusus untuk jadi sekertaris nya." Sambung Rendi.
"Iya Mas." Sahut Indah, "Tapi itu artinya kita akan berjauhan."
Rendi tersenyum, "Tidak masalah, raga kita memang terpisah, tapi hati kita tetap tak terpisahkan." Ucap Rendi mencoba kuat, meski sebenarnya Ia terasa berat harus jauh dari calon istrinya.
"Tapi Rindu itu tidak akan tertahan, Mas. Aku takut kamu akan pindah ke lain hati." Ucap Indah yang mengungkapkan isi hatinya yang begitu takut Rendi berpaling saat dirinya jauh.
"Husss, kamu pikir hati ku barang apa, bisa seenaknya dipindah kesana kemari." Celetuk Rendi, "Aku akan sering berkunjung ke sana, kamu jangan khawatir, yang penting kamu jaga kesehatan dan hati kamu untuk aku, karena kamu itu tempat ternyaman untuk aku pulang." Sambungnya seraya mengusap pipi Indah.
Indah tertawa kecil seraya menutup mulutnya dengan dua tangan. Rendi! laki-laki itu selalu berhasil membuatnya merasa aman dan nyaman.
"Berarti aku rumah, Mas?" Tanya Indah menyakinkan.
"Iya, kamu rumah tempatku pulang." Jawab Rendi kembali memeluk sang kekasih.
"Terimakasih Mas." Sahut Indah yang menyembunyikan wajahnya di dada bidang Rendi.
***
Sementara di parkiran Amarta cafe...
Nathan menarik tangan Via yang hendak kembali melangkah mendahuluinya, "Aku bilang pegang lenganku, Via. Jangan memancing emosiku." Ucap Nathan dengan tatapan yang begitu tajam.
Seketika Via menunduk, lalu menuruti keinginan Nathan, "Bersikaplah seperti kamu itu kekasihku, Via." Bisik nya.
Via memutar bola matanya malas, lalu menghela napas panjang, "Baiklah." Sahutnya pasrah.
"Bagus, jadilah kucing lucu yang penurut." Ucap Nathan.
"Apa? kucing Lucu? kamu kucing garong, dasar laki-laki gila." Umpat Via yang tentu saja hanya dalam hati.
Mana berani dia mengumpat laki-laki di sampingnya itu secara terang-terangan, bisa-bisa hidupnya semakin tak tenang.
Keduanya lalu berjalan beriringan dengan tangan Via yang melingkar di lengan Nathan.
Seorang security mengangguk hormat pada Nathan seraya membukakan pintu. Nathan tak beraksi, dia terus berjalan masuk ke dalam cafe miliknya.
"Selamat datang Tuan." Sapa laki-laki paruh baya yang baru saja keluar dari ruangan yang bertuliskan manager. Dia adalah Rizal, manager di cafe itu.
"Terimakasih, Pak Rizal." Sahut Nathan tersenyum.
"Dia..." Pak Rizal melirik wanita yang ada di samping Nathan.
"Ohhh, perkenalkan dia kekasihku, namanya, Via." Jawab Nathan memperkenalkan Via sebagai wanita special di hidupnya.
"Sayang, dia Pak Rizal, manager di Cafe ini." Kali ini Nathan memperkenalkan laki-laki di hadapannya pada Via.
"Apa tadi dia bilang, Sayang." Batin Via yang tubuhnya mendadak membeku saat Nathan memanggilnya sayang.
Begitu pun dengan Nathan yang merasa ada sesuatu yang aneh di hatinya setelah menyebut kata sayang pada Via, "Sial, kenapa aku harus menyebutnya sayang." Batinnya.
"Wahhh, selamat malam Nona Via, dan salam kenal, Anda cantik sekali." Sapa Pak Rizal mengulurkan tangannya ke hadapan Via.
Via masih membeku, namun sentuhan Nathan di punggung tangannya menyadarkan lamunannya.
"Sayang, Pak Rizal menyapamu." Lirih Nathan namun masih bisa di dengar Pak Rizal.
"Ahhh, Iya Pak, maaf, saya tadi sedikit tidak fokus." Ucapnya lalu segera menyambut tangan Pak Rizal yang masih mengambang di udara.
"Maaf Pak, dia memang sedikit pendiam, dan tidak terbiasa berhadapan dengan orang selain orang terdekat." Ucap Nathan mencari alasan, dia tak ingin Pak Rizal curiga padanya.
Hati Via mencelos, "Apa dia bilang? Aku tidak terbiasa berinteraksi dengan orang lain, apa dia lupa kalau aku seorang perawat yang biasa menghadapi semua pasien di rumah sakit, sembarang." Batinnya kesal.
"Tidak masalah Tuan, saya mengerti, dia pasti masih merasa canggung." Sahut Pak Rizal tersenyum.
"Ohhh ya, Pak Jay apa sudah datang?" Tanya Nathan mengalihkan pembicaraan.
"Sudah Pak, beliau sudah menunggu anda di ruang VIP." Jawab Pak Rizal.
"Oke, kalau begitu, saya harus segera menyusulnya, saya sudah sangat terlambat." Pamit Nathan lalu berjalan menuju ruang VIP setelah Pak Rizal menganggukkan kepalanya.
***
Ceklek
Pintu ruang VIP di buka, Nathan dan Via terpaku menatap pemandangan di depannya.
Deg
Deg
Deg
Jantung Nathan berdetak tak karuan, saat membuka pintu, terlihat disana Luna dan Jay masih berpelukan, hatinya terasa sedikit perih, tapi tidak mematahkan hatinya, entahlah, Nathan pun tak mengerti.
"Ehemmmm." Nathan berdehem, hingga membuat dua insan yang sedang berpelukan itu terlonjak dan langsung melepaskan pelukan mereka.
"Maaf, apa saya menganggu?" Tanyanya tak enak hati.
"Tidak Pak, sama sekali tidak." Sahut Jay, "Maaf tadi kami terlalu larut sampai tak menyadari kedatangan anda." Sambungnya.
Luna berdiri di belakang Jay seraya menunduk, dia begitu malu tertangkap basah sedang berpelukan, padahal dia berpelukan dengan suaminya sendiri.
Nathan melirik ke arah Luna, dia jadi gemas sendiri saat melihat wajah malu-malu Luna, "Dia, lucu sekali." Batin Nathan menerbitkan senyum tipis.
"Aku jadi ingin memeluknya." Sambung Nathan dalam hatinya.