Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.
Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.
Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.
Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.
"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"
Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Interruption
Sara tiba di butik tepat pukul sepuluh pagi.
Di lantai satu Solea Manhattan yang masih dalam tahap persiapan, suasana sudah sibuk. Beberapa karyawan baru sedang mengikuti pelatihan singkat yang dipimpin oleh Emeline, Manajer butik yang sudah berpengalaman.
Di sisi lain ruangan, Elenna sibuk mencocokkan sketsa dengan sample kain, Marvin mengurus logistik, sementara Chloe, penata visual baru, menangani display area.
Sara mengecek tabletnya, panggilan masuk dari Nadine dan tim Paris. Ia segera ke lounge untuk menerima video call bersama Claire dan Camille.
“Kami sudah finalisasi slot untuk Solea Paris di Milan Fashion Week,” kata Nadine. “Kau bisa bergabung tiga hari lagi, kan?”
“Tentu. Aku sudah jadwalkan terbang lusa siang,” jawab Sara singkat.
"Bagus. Sehari sebelum acara akan ada preview tertutup untuk media dan buyer. Kami butuh kau hadir.”
Sara mengangguk, mencatat poin penting itu, lalu mengakhiri panggilan.
Sara berdiri di tengah ruangan luas di lantai satu butik. Dinding sudah dicat ulang, lampu-lampu gantung mulai menyala satu per satu, dan rak-rak display sebagian besar sudah terpasang.
Dua orang berdiri menghadapnya, dua wajah baru.
“Jadi,” ucap Sara sambil menatap clipboard di tangannya. “Minggu ini kita fokus ke simulasi pelayanan dan penataan display. Minggu depan baru masuk ke pengenalan koleksi.”
Mia dan Daniel dua staf baru mengangguk cepat. Di sebelah mereka Liv ikut menyimak.
Dari belakang, Marvin muncul membawa beberapa kotak kain. “Ini bahan dari gudang, Nona. Mau ditaruh mana dulu?”
“Tolong di ruang kerja Emeline saja, ya. Nanti aku sortir.”
“Siap.”
Sara lalu menoleh pada Irine yang baru turun dari lantai dua, mengenakan setelan hitam kasual.
“Stok aksesoris belum sampai?” tanya Sara.
“Baru saja ada konfirmasi masuk sore ini. Supplier juga mengatakan lewat telepon kalau ada keterlambatan di bea cukai.”
Sara mengangguk, lalu menoleh ke Mia dan Daniel.
“Tidak usah tegang. Ini bukan butik raksasa. Kita kerja tim kecil, jadi kalian bakal belajar banyak hal sekaligus.”
Daniel mengangkat tangan ragu. “Bagaimana kalau nanti ada customer yang menanyakan soal koleksi lama?”
“Jawab dengan jujur, atau arahkan ke aku atau Emeline. Tapi kita akan latih itu nanti. Pelan-pelan saja.”
Mereka semua tampak lebih rileks.
Liv menambahkan, “Dulu aku juga mulai dari bantu atur scarf di etalase. Tak jauh beda, kok.”
Mia tertawa kecil. “Asal jangan disuruh lipat 50 shawl dalam 15 menit ya, Kak.”
Sara ikut tersenyum. “Kalau kau bisa, nanti aku traktir croissant.”
Ruangan jadi lebih hangat dengan tawa kecil yang menyusul.
Pukul tujuh malam di butik Solea.
Suasana lengang, hanya tersisa staf yang merapikan pekerjaan.
Irine sibuk merapikan daftar stok di layar komputernya, sementara Emeline sedang membereskan rak sampel bahan di sisi ruangan.
Ketukan pelan terdengar dari pintu kaca.
Rafael berdiri di ambang pintu, seperti biasa dengan jas gelap rapi dan ekspresi tenang.
“Nona Elowen,” ucapnya sopan. “Tuan Velmier sudah menunggu di mobil. Untuk makan malam.”
Sara tidak langsung bereaksi. Ia menarik napas panjang, lalu hanya mengangguk pelan tanpa memalingkan pandangan dari layar.
“Ya, sebentar lagi aku akan turun.”
Rafael membungkuk ringan dan pergi.
Emeline melirik dari balik rak, sementara Irine menoleh sebentar lalu kembali fokus ke layar.
Sara tetap duduk. Tangannya mengetik beberapa catatan, tapi matanya tidak benar-benar fokus.
Lima menit kemudian, layar ponselnya menyala.
Pesan masuk dari Nicko:
Jangan paksa aku untuk menjemputmu dengan caraku, Sara.
Sara mendesah pelan. Wajahnya datar, tapi sorot matanya menyiratkan rasa enggan. Ia meletakkan ponsel, menutup laptopnya, dan berdiri.
Sambil mengambil tas kecilnya, Sara berbicara pada Irine dan Emeline yang masih di ruangan.
“Kalian bisa pulang. Sisanya diselesaikan besok saja.”
“Baik,” sahut Irine.
Emeline mengangguk. “Hati-hati di jalan.”
Sara hanya mengangguk pelan. Langkahnya tenang, tapi tatapan matanya yang terpaku pada tangga seperti menahan dirinya untuk tak segera meninggalkan ruangan itu.
Begitu keluar dari pintu utama butik, udara dingin langsung menyambut.
Sebuah mobil hitam sudah terparkir rapi di depan. Pintu penumpang sebelah kiri dibiarkan terbuka. Nicko berdiri di sampingnya, seolah memang sengaja menunggu.
Ia mengenakan kemeja satin cokelat gelap digulung hingga siku, dilapis rompi charcoal yang pas di badan. Lengan kekarnya menonjol, rambut sedikit panjangnya tersisir rapi ke belakang. Satu tangan di saku, satu lagi memegang rokok yang hampir habis.
Tatapannya lurus ke arah Sara. Tak ada senyum, hanya ekspresi datar yang entah kenapa justru lebih menekan.
Tanpa berkata apa pun, Sara langsung masuk ke dalam mobil lewat pintu yang terbuka.
Nicko menjentikkan puntung rokok ke tempat sampah kecil di dekat pagar, lalu memutar ke sisi lain dan masuk ke kursi belakang, duduk bersebelahan dengan Sara.
Mobil melaju perlahan, membelah jalanan kota yang mulai diselimuti senja. Tak ada percakapan. Hanya suara mesin yang halus dan sesekali deru angin dari luar jendela.
Sara duduk menyandar dengan tubuh sedikit miring ke arah kaca, menatap kosong ke luar. Matanya tidak fokus, seperti sekadar mencari alasan untuk tidak menoleh ke arah pria di sebelahnya.
Nicko duduk di kursi penumpang belakang, di sisi kanan. Partisi kaca antara kursi sopir dan kabin belakang membuat suasana terasa lebih sunyi. Ia duduk santai, satu kaki disilangkan, tangan kirinya bertumpu di sandaran, sedangkan tangan kanannya menggulir ponsel sejenak sebelum akhirnya diletakkan di samping.
Keheningan bertahan hingga mobil berhenti di lampu merah perempatan.
Tanpa perlu memandangnya, Nicko membuka suara, tenang dan dalam.
“Terlalu lama.”
Sara sedikit menoleh, suaranya datar. "Aku masih kerja.”
Nicko menggeser pandangan sebentar ke arahnya, lalu kembali menatap ke depan. Tapi ucapannya berikutnya membuat suasana jadi tegang.
“Aku bisa pastikan butikmu tutup sebelum kau sempat menyadarinya, Sara.”
“Jangan main waktu denganku.”
Tak ada nada tinggi, tak ada emosi yang meledak. Justru karena itu, kata-katanya terasa lebih menekan. Terlalu tenang untuk dianggap omong kosong.
Sara menahan napas sejenak. Rahangnya mengeras, tapi ia tidak membalas.
Kepalanya kembali berpaling ke jendela.
Dan untuk beberapa menit setelah itu, suasana dalam mobil kembali sunyi.
pelan" akan terobati...
kasihan Nick selalu bermain solo
karena ingin menyembuhkan Sara...
lanjut thor ceritanya
Sara bisa tenang
berada di sisi Nick
bisa jadi obat untuk trauma nya
yg menyakiti akan menyembuhkan
lanjut thor ceritanya
tetapi masih mengikuti keegoisannya...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya lagi