Asillah, seorang wanita karir yang sukses dan mandiri, selalu percaya bahwa jodoh akan datang di waktu yang tepat. Ia tidak terlalu memusingkan urusan percintaan, fokus pada karirnya sebagai arsitek di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Namun, di usianya yang hampir menginjak kepala tiga, pertanyaan tentang "kapan menikah?" mulai menghantuinya. Di sisi lain, Alfin, seorang dokter muda yang tampan dan idealis, juga memiliki pandangan yang sama tentang jodoh. Ia lebih memilih untuk fokus pada pekerjaannya di sebuah rumah sakit di Jakarta, membantu orang-orang yang membutuhkan. Meski banyak wanita yang berusaha mendekatinya, Alfin belum menemukan seseorang yang benar-benar cocok di hatinya. Takdir mempertemukan Asillah dan Alfin dalam sebuah proyek pembangunan rumah sakit baru di Jakarta. Keduanya memiliki visi yang berbeda tentang desain rumah sakit, yang seringkali menimbulkan perdebatan sengit. Namun, di balik perbedaan itu, tumbuhlah benih-benih cinta yang tak terduga. Mampukah Asillah dan Alfin mengatasi perbedaan mereka dan menemukan cinta sejati? Ataukah jodoh memang tidak akan lari ke mana, namun butuh perjuangan untuk meraihnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Keputusan pahit,hati yg hancur, dan pelarian ditengah badai emosi
Asillah berdiri terpaku, hatinya hancur berkeping-keping mendengar permintaan Aisyah. Kata-kata putrinya bagai belati yang menghujam jantungnya, membuatnya sulit bernapas. Ia merasa gagal sebagai seorang ibu, tak mampu memberikan kebahagiaan bagi anaknya sendiri.
Alfin memeluk Aisyah erat, menatap Asillah dengan tatapan penuh penyesalan dan kepedihan. Ia tahu, keputusan apa pun yang diambil Asillah akan menyakitkan bagi mereka semua.
"Asillah... jangan lakukan ini. Kita bisa mencari jalan keluar lain," bisik Alfin, berusaha membujuk Asillah.
Asillah menggelengkan kepalanya lemah, air mata terus mengalir membasahi pipinya. "Tidak ada jalan lain, Alfin. Aisyah membutuhkanmu. Ia membutuhkan sosok ayah dalam hidupnya. Aku... aku tidak bisa memberikannya itu," jawab Asillah, dengan suara bergetar.
Alfin semakin mengeratkan pelukannya pada Aisyah, menatap Asillah dengan tatapan memohon. "Tapi, Aisyah juga membutuhkanmu, Asillah. Ia membutuhkan seorang ibu. Aku tidak bisa menggantikan posisimu," kata Alfin, berusaha meyakinkan Asillah.
Asillah tersenyum pahit, mengulurkan tangannya untuk mengelus rambut Aisyah dengan sayang. "Aku tahu, Alfin. Tapi, aku yakin Aisyah akan lebih bahagia bersamamu. Aku akan tetap ada untuknya, meskipun tidak setiap saat. Aku akan selalu menyayanginya, meskipun dari jauh," ucap Asillah, dengan nada lirih.
Dengan berat hati, Asillah mengambil keputusan yang paling menyakitkan dalam hidupnya. Ia akan menyerahkan hak asuh Aisyah kepada Alfin. Ia percaya, Alfin adalah orang yang paling tepat untuk menjaga dan membesarkan Aisyah.
"Aku... aku memutuskan untuk menyerahkan Aisyah padamu, Alfin," ucap Asillah, dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Mendengar keputusan Asillah, Aisyah tiba-tiba melepaskan pelukannya dari Alfin dan menatap Asillah dengan tatapan penuh amarah.
"Mama jahat! Mama nggak sayang sama Aisyah! Mama lebih memilih pergi daripada sama Aisyah!" teriak Aisyah, dengan air mata yang semakin deras mengalir.
Asillah mencoba untuk mendekati Aisyah, namun Aisyah menghindarinya dan berlari menjauh.
"Aisyah benci kalian! Aisyah nggak mau sama kalian semua!" teriak Aisyah, dengan nada histeris.
Alfin mencoba untuk mengejar Aisyah, namun Aisyah berlari semakin kencang, menuju ke arah jalan raya yang ramai.
"Aisyah! Hati-hati!" teriak Alfin panik, berusaha mengejar Aisyah.
Asillah terpaku di tempatnya, tak mampu bergerak. Ia merasa bersalah dan menyesal karena telah membuat Aisyah marah dan kecewa. Ia merasa telah menghancurkan hati putrinya sendiri.
Tiba-tiba, Aisyah berhenti berlari dan berbalik menghadap Asillah dan Alfin. Ia menatap mereka dengan tatapan yang penuh kebencian dan kekecewaan.
"Teman-teman Aisyah diantar ke sekolah sama mama dan papanya. Aisyah tidak! Aisyah benci kalian semua!" teriak Aisyah, dengan suara yang bergetar.
Tanpa menunggu jawaban Asillah dan Alfin, Aisyah kembali berlari, menyeberangi jalan raya yang ramai tanpa melihat kanan kiri.
"Aisyah!" teriak Asillah dan Alfin bersamaan, panik melihat Aisyah berlari ke arah jalan raya.
Tiba-tiba, sebuah mobil melaju
Detik-detik berikutnya terasa seperti gerakan lambat yang mengerikan. Asillah dan Alfin menyaksikan dengan ngeri saat sebuah mobil melaju kencang dan menabrak Aisyah yang sedang menyeberang jalan.
"AISYAH!!!" teriak Asillah dan Alfin bersamaan, suara mereka menggema di tengah hiruk pikuk jalan raya.
Tubuh mungil Aisyah terpental ke udara, kemudian jatuh menghantam aspal dengan keras. Darah segar mengalir dari kepala dan tubuhnya, membasahi pakaiannya yang berwarna cerah.
Asillah dan Alfin berlari menghampiri Aisyah dengan panik, menerobos kerumunan orang yang mulai berkerumun di sekitar mereka. Mereka berlutut di samping Aisyah, memeluknya erat-erat, berusaha untuk menghentikan pendarahan.
"Aisyah... Aisyah sayang... bangun nak, bangun," bisik Asillah, dengan air mata yang terus mengalir membasahi wajah Aisyah.
Alfin memeriksa denyut nadi Aisyah, wajahnya pucat pasi. "Kita harus segera membawanya ke rumah sakit!" serunya panik, mengangkat tubuh Aisyah dengan hati-hati.
Dengan bantuan beberapa orang, mereka membawa Aisyah ke dalam mobil dan melaju secepat mungkin menuju rumah sakit terdekat. Selama perjalanan, Asillah terus memeluk Aisyah erat-erat, berdoa dan berharap agar putrinya bisa selamat.
"Bertahanlah, Aisyah sayang. Mama ada di sini. Mama akan selalu menjagamu," bisik Asillah, dengan suara bergetar.
Sesampainya di rumah sakit, Aisyah segera dilarikan ke ruang gawat darurat. Asillah dan Alfin menunggu di luar dengan cemas, berdoa dan berharap agar Aisyah bisa segera mendapatkan pertolongan.
Waktu terasa berjalan sangat lambat. Asillah dan Alfin hanya bisa duduk diam, saling berpegangan tangan, dan berdoa dalam hati. Mereka merasa bersalah dan menyesal karena telah membuat Aisyah marah dan kecewa, sehingga ia nekat berlari ke jalan raya.
Setelah beberapa jam menunggu, seorang dokter keluar dari ruang gawat darurat. Wajahnya tampak lelah dan sedih.
"Bagaimana keadaan putri saya, Dok?" tanya Asillah panik, menghampiri dokter tersebut.
Dokter menghela napas panjang, menatap Asillah dan Alfin dengan tatapan prihatin. "Kami sudah melakukan yang terbaik, tapi kondisi putri Anda sangat kritis. Ia mengalami pendarahan otak dan beberapa luka dalam lainnya," jelas dokter tersebut.
Asillah dan Alfin terdiam membeku mendengar penjelasan dokter. Mereka merasa dunia mereka runtuh seketika.
"Apa... apa maksud Dokter?" tanya Alfin, dengan suara bergetar.
"Putri Anda mengalami koma. Kami tidak tahu kapan ia akan sadar kembali," jawab dokter tersebut, dengan nada lirih.
Mendengar kata "koma", Asillah langsung lemas dan jatuh terduduk di lantai. Ia menangis sejadi-jadinya, menyesali semua kesalahan yang telah ia lakukan.
Alfin berlutut di samping Asillah, memeluknya erat-erat, berusaha untuk memberikan kekuatan. Namun, ia sendiri pun merasa sangat terpukul dan tidak berdaya.
"Ini semua salahku, Alfin. Ini semua salahku," isak Asillah, dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya.
"Tidak, Asillah. Ini bukan salahmu. Ini adalah takdir," balas Alfin, berusaha menenangkan Asillah.
"Tidak, Alfin. Ini semua salahku. Aku yang sudah membuat Aisyah marah dan kecewa. Aku yang sudah menghancurkan keluarga kita," kata Asillah, menggelengkan kepalanya dengan putus asa.
Dokter kemudian mempersilakan Asillah dan Alfin untuk melihat Aisyah di ruang ICU. Dengan langkah Dengan langkah gontai, Asillah dan Alfin memasuki ruang ICU. Suasana di dalam ruangan terasa dingin dan mencekam. Mereka melihat Aisyah terbaring lemah di ranjang rumah sakit, tubuhnya dipenuhi dengan alat-alat medis. Wajahnya pucat pasi, matanya terpejam rapat.
Asillah mendekati Aisyah dengan hati-hati, mengelus rambutnya dengan sayang. Air matanya kembali menetes, membasahi pipi Aisyah.
"Aisyah sayang... maafkan Mama. Mama sudah membuatmu terluka. Mama janji, Mama akan melakukan apapun untuk membuatmu bahagia. Bangunlah nak, bangun," bisik Asillah, dengan suara bergetar.
Alfin berdiri di samping Asillah, menatap Aisyah dengan tatapan yang penuh penyesalan. Ia menggenggam tangan Aisyah erat-erat, merasakan denyut nadinya yang lemah.
"Aisyah... Papa mohon, bangunlah nak. Papa sangat menyayangimu. Papa janji, Papa tidak akan pernah membuatmu sedih lagi. Papa akan selalu ada untukmu," bisik Alfin, dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Asillah dan Alfin duduk di samping Aisyah selama berjam-jam, bergantian berbicara dan berdoa. Mereka menceritakan semua kenangan indah mereka bersama Aisyah, berharap agar putrinya bisa mendengar dan merespon.
"Aisyah ingat waktu kita pergi ke pantai? Aisyah sangat senang bermain pasir dan berenang di laut. Papa dan Mama sangat bahagia melihat Aisyah tertawa," cerita Alfin, dengan senyum getir.
"Aisyah juga ingat waktu kita merayakan ulang tahunmu? Aisyah mendapatkan banyak hadiah dan kue yang sangat enak. Mama dan Papa sangat menyayangimu," timpal Asillah, dengan air mata yang terus mengalir.
Mereka terus berbicara dan berdoa, berharap agar Aisyah bisa segera sadar dari komanya. Mereka berjanji akan menjadi orang tua yang lebih baik, akan selalu menyayangi dan menjaga Aisyah dengan sepenuh hati.
Di tengah keheningan ruang ICU, tiba-tiba jari Aisyah bergerak sedikit. Asillah dan Alfin terkejut dan saling bertukar pandang.
"Alfin... lihat! Jari Aisyah bergerak!" bisik Asillah, dengan nada penuh harapan.
Alfin mendekatkan wajahnya ke wajah Aisyah, memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan seksama.
"Aisyah... sayang... apa kamu bisa mendengar kami?" tanya Alfin, dengan suara bergetar.
Aisyah tidak menjawab, namun jari-jarinya kembali bergerak. Asillah dan Alfin merasa sangat lega dan bahagia. Mereka tahu, Aisyah masih berjuang untuk hidup.
"Aisyah... kami ada di sini. Kami akan selalu bersamamu. Jangan menyerah, sayang. Kami sangat menyayangimu," bisik Asillah, menggenggam tangan Aisyah semakin erat.
Melihat kondisi Aisyah yang menunjukkan sedikit kemajuan, dokter dan perawat segera melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Mereka memberikan perawatan intensif dan terus memantau kondisi Aisyah.
Asillah dan Alfin menunggu di luar ruang ICU dengan cemas, berharap agar Aisyah bisa segera sadar dan pulih