Gendis baru saja melahirkan, tetapi bayinya tak kunjung diberikan usai lelahnya mempertaruhkan nyawa. Jangankan melihat wajahnya, bahkan dia tidak tahu jenis kelamin bayi yang sudah dilahirkan. Tim medis justru mengatakan bahwa bayinya tidak selamat.
Di tengah rasa frustrasinya, Gendis kembali bertemu dengan Hiro. Seorang kolega bisnis di masa lalu. Dia meminta bantuan Gendis untuk menjadi ibu susu putrinya.
Awalnya Gendis menolak, tetapi naluri seorang ibu mendorongnya untuk menyusui Reina, putri Hiro. Berawal dari menyusui, mulai timbul rasa nyaman dan bergantung pada kehadiran Hiro. Akankah rasa cinta itu terus berkembang, ataukah harus berganti kecewa karena rahasia Hiro yang terungkap seiring berjalannya waktu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Kejaran di Bandara
"Kita bisa cek CCTV sekitar kompleks."
Celetukan yang keluar dari bibir Ren membuat Gendis mengangkat wajahnya. Dia langsung menatap lelaki tersebut, begitu juga dengan Hiro. Seakan mengerti jalan pikiran satu sama lain, mereka pun langsung beranjak dari ruang kerja Hiro.
Mereka menuruni satu per satu anak tangga dan melangkah keluar dari rumah. Memperhatikan setiap rumah dan jalanan yang terdapat kamera pengintai. Setiap rumah yang memiliki CCTV menghadap jalanan, pintunya diketuk.
"Maaf, permisi." Suara Hiro terdengar ramah ketika pintu pagar sebuah rumah mewah dibuka.
Seorang wanita paruh baya berpenampilan sederhana menyapa dengan ramah. Hiro pun menyampaikan maksudnya kepada perempuan tersebut. Perempuan bernama Neneng itu meremas dasternya.
"Gimana, ya, Pak. Majikan saya nggak ada di rumah. Saya nggak bisa membiarkan orang asing masuk ke dalam." Perempuan tersebut tersenyum kikuk karena tidak bisa mengambil keputusan sepihak.
"Tolong, Bu. Anak saya diculik. Jadi kami harus mencarinya secepat mungkin. Tolong bantuannya, Bu." Gendis menangkupkan kedua tangan dan suaranya bergetar ketika memohon kepada perempuan tersebut.
"Maaf, nggak bisa, Bu." Neneng terlihat canggung, tetapi ada sepercik rasa empati ketika menolak permintaan mereka.
"Saya ...."
"Ada apa, Bi?" Tiba-tiba dari arah punggung mereka datang seorang anak laki-laki berusia 13 tahun.
"Mas Darren, kok sudah pulang?" tanya Neneng gagap.
Darren tetap diam, tak menjawab. Remaja laki-laki itu kini tak lagi memedulikan Neneng. Dia menatap Hiro dengan tatapan dingin.
"Ada apa, Pak?" tanya Darren dengan suara sedingin kutub.
"Begini, putri kami yang baru berusia 3 bulan hilang. Dia dibawa pengasuhnya keluar dari pagi dan belum kembali. Terakhir jejaknya menuju ke depan rumah ini." Hiro mencoba untuk menjelaskan situasi yabg mereka alami kepada anak lelaki tersebut.
"Kami hanya ingin mengecek rekaman CCTV untuk mengetahui ke mana dia selanjutnya pergi. Jadi, tolong izinkan kami melihat rekaman CCTV. Sebelumnya kami juga sudah mengecek CCTV di kamera rumah tetangga yang lain." Gendis menambahkan dan mengucapkan itu dengan suara bergetar.
Darren terdiam sebentar. Dia menatap tiga orang dewasa di hadapannya itu secara bergantian. Matanya seperti mesin pemindai yang tengah memindai potensi bahaya dari ketiganya.
"Baiklah, tapi tolong yang ikut ke dalam ...." Darren kembali meneliti mereka satu per satu.
"Ibu saja." Darren menunjuk Gendis.
Gendis pun mengangguk cepat. Dia langsung masuk ke halaman rumah. Sementara Gendis mengikuti Darren masuk ke ruang tamu, Neneng meminta Hiro dan Ren untuk menunggu di luar rumah.
Remaja itu membawa laptop ke ruang tamu dan langsung mengakses rekaman CCTV. Setelah memperhatikan setiap menit rekaman di jam yang dimaksud, Gendis terdiam. Nana terlihat dijemput oleh sebuah mobil.
"Boleh saya minta rekaman ini? Hanya untuk bukti kalau terjadi apa-apa sama putriku." Gendis menatap Darren dengan pupil mata bergetar dan penuh harap.
"Tentu," jawab Darren sambil menengadahkan tangan meminta ponsel Gendis.
Gendis pun memberikan ponselnya. Darren menghubungkan ponsel Gendis dengan laptop menggunakan kabel USB. Setelah selesai menyalin rekaman CCTV, Darren mengembalikan ponsel itu kepadanya.
"Terima kasih, Nak. Terima kasih bantuannya."
Darren tidak menjawab. Dia hanya mengangguk. Gendis pun berpamitan dan berjalan cepat keluar dari kediaman mewah orang tua Darren.
Hiro yang sudah menunggunya sejak tadi langsung membukakan pintu mobil untuk sang istri. Gendis bergegas menunjukkan rekaman CCTV yang telah dia dapatkan dari Darren. Hiro langsung mengusap wajah kasar setelah mengetahui apa yang terjadi.
"Itu mobil Yumi!" seru Hiro.
"Ren, kita ke rumah sakit sekarang!" perintah Hiro kepada Ren.
Ren pun mengangguk. Lelaki tersebut langsung melajukan mobil. Kendaraan itu melesat seperti anak panah yang hendak menancap pada papan target.
Sesampainya di rumah sakit, Hiro dan Gendis langsung menuju ruang perawatan Reiki. Sementara Ren menunggu di mobil sambil mencari informasi lain melalui beberapa kenalan. Sesampainya di depan pintu ruang perawatan, Hiro membuka pintu secara kasar.
Akan tetapi, waktu seakan bergenti berputar. Ruangan itu sudah rapi dan hanya menyisakan seorang petugas yang sedang membersihkan bangsal mewah tersebut. Hiro berjalan mendekati petugas tersebut.
"Maaf, Bu. Pasien yang dirawat di sini ke mana, ya?" tanya Hiro kepada petugas kebersihan yang masih sibuk merapikan brankard.
"Ah, pasien minta APS. Katanya mau menjalani pengobatan di negara asalnya."
Hiro terbelalak seketika, begitu juga dengan Gendis. Kaki perempuan tersebut seakan kehilangan pijakan. Dia pun berusaha kembali berdiri tegak dengan menjadikan dinding dingin ruangan tersebut sebagai tumpuan.
Hiro yang menyadari Gendis mulai lemah, kini menghampiri perempuan tersebut. Hiro langsung memapah Gendis keluar dari ruangan itu. Dia mendudukkannya di sofa depan bangsal VIP.
"Ndis, kita bisa kejar mereka. Kamu tenang saja. Kamu harus kuat demi Reina. Jangan lemah, ya?"
Gendis mengangguk mantap dan langsung menghapus air matanya. Hiro mengecup puncak kepala Gendis. Hiro langsung menghubungi Ren untuk mencari tahu jadwal penerbangan pesawat jet pribadi ke Jepang.
Hal itu terpikir oleh Hiro karena dalam kondisi Reiki yang belum sepenuhnya pulih, tidak memungkinkan dia dibawa pulang ke Jepang menggunakan pesawat komersil. Pencarian Ren pun membuahkan hasil. Penerbangan ke Jepang hanya ada satu pesawat dan akan lepas landas satu jam lagi.
"Baiklah, aku akan turun. Pastikan cari jalan yang bebas macet!" seru Hiro sebelum akhirnya memutus sambungan telepon.
Setelah sampai di tempat parkir, Hiro dan Gendis menempati kursi penumpang. Wajah Gendis pucat, tetapi matanya menyala penuh tekad. Waktu mereka sangat terbatas. Jet pribadi yang membawa Reiki, Yumi, dan bayi mungil itu hanya tinggal menunggu hitungan menit untuk lepas landas menuju Jepang.
Mobil melaju kencang membelah jalanan ibu kota yang padat. Klakson kendaraan lain terdengar bersahut-sahutan, namun Hiro tidak peduli. Hanya ada satu tujuan dalam pikirannya—bandara. Dia menggenggam erat jemari Gendis dengan kedua tangan.
“Berapa lama lagi, Hiro?” tanya Gendis dengan suara bergetar.
Gendis menatap jarum jam di pergelangan tangannya dengan cemas. Hiro melirik spion, napasnya berat.
“Kalau lancar, lima belas menit lagi. Tapi ....” Ucapan Hiro terputus ketika di depan sana terlihat barisan lampu hazard menyala.
Arus kendaraan tersendat tiba-tiba. Teriakan klakson mulai memekakkan telinga. Ren menurunkan kecepatan, matanya terpaku pada barisan mobil yang berhenti total.
Dari kejauhan terlihat kilatan lampu polisi dan ambulans. Aroma aspal panas bercampur dengan hawa panik pengendara yang terjebak menguar ke udara.
“Ya Tuhan, apa lagi ini .…” Hiro mengumpat pelan, kemudian menurunkan kaca mobil untuk mencari tahu.
“Kecelakaan beruntun, Pak! Katanya tiga mobil sama satu truk. Jalanan ditutup sementara!” seru seorang pengendara motor yang ada di samping mobil Hiro.
Wajah Hiro mengeras. Dia menepuk jok di depannya dengan kasar. Gendis menoleh, wajahnya semakin pucat.
“Kalau kita hanya menunggu di sini … jet itu akan keburu terbang, Hiro.”
Keduanya saling menatap, lalu seolah mendapat ide yang sama. Hiro segera meminta Ren untuk menepikan mobil. Ren menyalakan lampu hazard dan mobil pun bergerak ke sisi jalan.
Semua bersumber dari otak jahat Reiki