NovelToon NovelToon
Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”

“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”

“Sialan lo, Sas!”

•••

Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.

Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.

Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

22. Hadiah

"Kamu belum bilang ingin hadiah apa dari saya," ucap Sastra, sambil menatap Maha yang sudah setengah mengantuk.

"Gue pengen kerumah utama, mau ketemu sama Eyang Ti dan Ibu Rengganis. Boleh?"

Sastra tersenyum tipis, ekspresinya tetap tenang meskipun sebenarnya ia merasa senang mendengar permintaan Maha yang tidak terduga. "Baiklah, kebetulan besok tanggal merah dan saya juga libur kerja. Kita bisa pergi besok pagi," jawabnya santai.

"Lo beneran izinin gue ke sana?"

Sastra mengangguk sambil tersenyum tipis. "Kenapa nggak? Kalau itu yang kamu mau."

Maha tersenyum puas, meski rasa kantuk mulai menyerang lagi. "Thank you, Sas." Maha tak lagi membuka suara, sungguhan matanya sudah tak sanggup melek lagi.

Sampai di rumah, Sastra melihat Maha yang sudah tertidur lelap. Tanpa membangunkannya, Sastra dengan hati-hati mengangkat tubuhnya dalam gendongan. Langkahnya tenang dan perlahan, memastikan Maha tetap nyaman di pelukannya.

Sesampainya di dalam rumah, Sastra langsung membawanya ke kamar. Ia meletakkan Maha dengan lembut di atas tempat tidur, menyingkirkan rambut yang jatuh di wajahnya. Maha tampak begitu damai dalam tidurnya.

Sastra menghela napas ringan, lalu menatapnya sebentar sebelum menutupi tubuh Maha dengan selimut. "Selamat tidur, Tuan putri," bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Ia kemudian berbalik, meninggalkan kamar dengan langkah yang tenang.

•••

Sastra menunggu dengan sabar di ruang tamu, matanya sesekali melirik ke arah jam dinding. Maha memang sering butuh waktu lebih lama untuk bersiap, tapi Sastra tidak pernah mengeluh. Dia selalu sabar menunggu, apapun tentang istrinya.

Terdengar langkah kaki dari arah tangga, Maha akhirnya muncul dengan pakaian yang rapi. Sastra menoleh dan tersenyum tipis, sungguh sebenarnya ia sangat terpesona.

"Sudah siap?" tanyanya tenang.

Maha mengangguk pelan, "ya, kita berangkat sekarang."

Sastra berdiri dan mengulurkan tangannya, kali ini Maha tidak menolak. Ia menggenggam tangan Sastra dengan lembut, merasakan kehangatan dari sentuhannya. Mereka berjalan menuju pintu, suasana di antara mereka terasa lebih tenang dan nyaman dibandingkan biasanya.

Di dalam mobil, Sastra menyetir dengan tenang, sementara Maha menatap keluar jendela. "Lo tuh sebenernya ngeharapin apasih dari gue Sas?" Tiba-tiba Maha bertanya seperti itu, ingin tahu juga yang membuat Sastra bebal tak ingin menceraikannya padahal sebegitu jauhnya tipe perempuan yang seperti Sastra inginkan, misalnya seperti mantannya yang bernama Danisa.

Sastra meliriknya sekilas, kemudian kembali fokus menatap jalan. "Pilihan," ucapnya tanpa ragu, suaranya tenang. "Saya sudah pernah bilang, kamu itu pilihan saya."

"Ya kenapa harus gue?"

Sastra menarik napas pelan, tampak memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Karena kamu berbeda. Saya tidak mencari perempuan yang sempurna seperti bayangan orang lain. Saya mencari yang bisa bersama saya, tanpa pura-pura. Dan itu kamu, Maha."

"Pura-pura? Gila lo Sas, gue aja gak pernah nganggep kita udah nikah dan lo suami gue tuh! Seharusnya gak boleh dong, kan gue nya yang gak mau. Makannya itu gue benci sama lo, umur kita juga terpaut jauh, lo tuh tetep om-om pedo dimata gue!"

Sastra menghela nafas pelan. "Saya kan pernah bilang sama kamu, kalau nanti kamu tetap tidak ingin sama saya. Saya akan bebaskan kamu, tapi untuk sekarang dan beberapa tahun kedepan tidak, saya harus pastikan hidup kamu terjamin dan kamu bisa berdiri diatas kakimu sendiri."

"Aneh. Lo aneh Sas, sebegitu pengennya bantu masa depan gue tapi lo juga ngehancurin disatu sisi."

Sastra menatap jalan di depannya, raut wajahnya tetap tenang meski kata-kata Maha cukup menganggu. "Saya nggak pernah berniat menghancurkan kamu, Maha. Justru saya ingin memastikan kamu nggak akan terjatuh."

Maha mendengus, menoleh ke jendela mobil. "Ya, tapi lo juga yang bikin gue terjebak di sini. Gue nggak butuh lo buat ngejamin masa depan gue. Gue bisa urus sendiri."

"Dan saya tahu itu," jawab Sastra, suaranya masih tenang, "tapi saya nggak akan tinggal diam membiarkan kamu berjuang sendirian."

Maha memutar mata, merasa sebal dengan cara Sastra yang selalu berusaha bijak. "Lo tuh kenapa, sih? Gue nggak pernah minta semua ini, Sas."

"Saya tahu kamu nggak minta. Tapi saya tetap akan ada di sini, sampai kamu benar-benar bisa berdiri sendiri. Setelah itu, kalau kamu masih ingin pergi, saya akan lepaskan."

Maha terdiam sejenak, ingin menanyakan satu hal yang menurutnya sangat krusial. "Lo suka ya sama gue, maksud gue ada perasaan? Gue tanya begini mau mastiin aja, soalnya gue sama sekali gak ada perasaan sama lo."

"Itu tidak penting untuk saya, kamu juga seharusnya tidak mempermasalahkan hal seperti itu. Pernikahan tidak selalu dan melulu tentang perasaan kan?"

Maha mengangguk pelan, meskipun hatinya tidak sepenuhnya yakin. "Oke, gue setuju soal itu. Tapi lo yakin bisa hidup seumur hidup sama pasangan tanpa cinta? Hanya mengandalkan nafsu? Bikin anak dan semuanya datar kayak gitu aja?"

Sastra menghela napas pelan, tangannya tetap kokoh memegang kemudi. "Nafsu dan cinta, Maha, itu dua hal yang berbeda. Saya bisa hidup dengan komitmen, dan saya tahu itu bisa berjalan tanpa harus mengandalkan perasaan yang seperti kamu bilang, cinta. Yang penting adalah rasa tanggung jawab dan kebersamaan."

Maha tertawa kecil, namun terdengar sinis. "Kebersamaan yang kayak gitu? Hah, Sas, gue nggak tahu kalau gue bisa hidup kayak gitu. Gue nggak mungkin ngabisin hidup gue sama seseorang yang gue nggak cinta. Makannya itu, cereein aja udah gue, lo kan masih punya Mbak Danisa, berpeluang tuh bisa jadi istri yang nurut sama sifat lo. Udah cukup umur juga lagi buat ngasih lo keturunan.

Sastra tetap tenang, meski Maha melemparkan sindiran yang cukup tajam. Ia memandang istrinya dengan pandangan lembut, seolah mencoba menenangkan suasana yang mulai memanas.

"Sudah, tidak usah bahas ini lagi nanti mood kamu berantakan. Bertemu dengan Eyang Putri tidak boleh dalam suasana hati yang begitu."

Maha mendengus, memutar matanya ke arah lain. "Mengalihkan pembicaraan, ish nyebelin!"

Dan setelah itu Sastra tidak lagi menjawab jika topik pembahasan itu tetap Maha lanjutkan, ketimbang menimpali ocehan tidak bermutu nya ia lebih baik mendengarkan saja.

Setelah beberapa saat dalam diam, akhirnya mereka tiba di rumah utama keluarga Hardjosoemarto. Maha menatap megahnya bangunan itu dari jendela mobil.

Sastra turun lebih dulu, membuka pintu untuk Maha. “Ayo, sudah sampai,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.

Maha menghela napas panjang, menatap tangan Sastra sejenak sebelum akhirnya menggenggamnya. Ia merasa gugup meski tidak ingin menunjukkannya. "Kalau soal Eyang Ti gue gak bisa gak harus anggun, jadi gimana? Gue penuh effort loh untuk ketemu beliau, ini pakaian gue udah sesopan kaya Mbak Danisa gak Sas?"

Sastra harus lebih sabar lagi, perempuan ini senang sekali membahas masalalu nya. "Kamu sudah cantik, gak usah kaya orang lain. Eyang Ti juga lebih paham kepribadian kamu dan itu gak masalah bagi Eyang."

Maha mengangguk kecil, "oh gitu ya, duh gue jadi sayang banget nih sama Eyang Ti."

Mereka berjalan bersama menuju pintu depan yang besar, dan begitu bel ditekan, seorang pelayan membuka pintu dengan senyum ramah. "Selamat datang, Mas Sastra, Mbak Maha," ucapnya, mempersilakan mereka masuk.

Setelah melangkah masuk ke dalam rumah utama keluarga Hardjosoemarto, Maha langsung merasakan aura megah dari rumah gedongan itu. Mereka berjalan menuju lift,  setelah pintu lift terbuka, Maha dan Sastra keluar menuju lantai tiga. Maha sudah cukup familiar dengan suasana di rumah utama ini walaupun ia belum eksplore sepenuhnya.

Mereka berjalan bersama menuju ruang santai tempat Eyang Ti dan Ibu Rengganis sering menghabiskan waktu. Dari kejauhan, Maha bisa melihat Eyang Ti sedang duduk santai, membaca buku, sementara Ibu Rengganis terlihat sibuk mengatur beberapa tanaman di dekat jendela.

Sastra dengan santun menyalami hormat Eyang Ti dan ibunya, dan Maha mengikuti dengan cara yang sama, meski agak canggung. Namun, senyum hangat Eyang Ti segera meredakan kegugupannya.

"Syukurlah kalian datang," kata Eyang Ti dengan lembut, tatapannya lebih tertuju pada Maha. "Eyang kangen sama anak perempuan cantik ini." Eyang Ti lalu merentangkan tangannya, memberi pelukan hangat kepada Maha.

Maha terkejut, tapi ia tersenyum dan membalas pelukan itu. “Aku juga kangen, Eyang.”

Rengganis tersenyum kecil dari tempatnya berdiri, matanya memperhatikan interaksi mereka dengan rasa lega. "Ini menantu Ibu, kenapa baru datang sekarang? Kamu ya, Sas, pasti Maha-nya dilarang-larang," ucap Rengganis setengah bercanda, meski ada nada protes dalam suaranya.

Maha terkekeh kecil, sedikit melirik ke arah Sastra. "Enggak, Bu. Mas Sastra nggak pernah larang kok, cuma aku aja yang kadang sibuk dengan sekolah, maafkan Maha yang baru bisa berkunjung lagi."

Sastra, yang tahu bahwa ibunya sedang menggoda, hanya mengangkat bahu dengan ekspresi santai. "Maha memang sibuk, Ibu. Aku mana berani melarang-larang dia," balasnya, membuat suasana lebih ringan.

Eyang Ti, yang dari tadi mendengarkan percakapan itu, tersenyum bijak. "Eyang Ti tidak masalah, bagus kamu fokuskan istrimu untuk sekolahnya, Sastra," ucapnya lembut. "Tapi ingat, jaga baik-baik istrimu. Jangan sampai dia menangis, nanti kamu harus berurusan sama Eyang."

Peringatan itu jelas Sastra patuhi, apalagi sebagai cucu pertama yang paling diberi banyak tanggung jawab keluarga mengangguk patuh. "Iya, Eyang. Maha selalu jadi prioritasku," jawabnya tenang, sembari melirik ke arah sang empu yang dibicarakan.

Maha yang mendengar percakapan itu hanya tersenyum malu-malu, merasa mendapat perlindungan dari Eyang Ti. "Tuh Mas dengarkan, kamu kan suka buat aku marah."

"Lho, dibuat marah seperti apa sayang, sama anak ini?" Rengganis bertanya dengan nada heran, keningnya sedikit berkerut sambil menatap Sastra dan Maha bergantian.

Maha sengaja ingin mengompori langsung pada orang tuanya, biar rasa kesalnya terhadap pria ini tersampaikan. "Mas Sastra terlalu flat, Bu. Aku kadang bingung dengan emosionalnya yang kaku," keluhnya, sambil memiringkan kepala, berusaha menunjukkan betapa frustrasinya dia.

Sastra menatap Maha dengan tatapan tidak percaya, mencoba menahan senyum. "Kaku? Saya kira saya sudah cukup ekspresif," jawabnya, suaranya sedikit melankolis.

Rengganis tertawa pelan, "memang seperti ini Sastra. Tapi kamu jangan khawatir ya sayang, tingkat perhatian dan sayangnya tidak usah diragukan."

Maha mengakui itu sih hanya untuk tingkat sayang...Maha rasa ia tak butuh itu dari Sastra, pria yang ia benci ini tanpa mereka ketahui.

Para perempuan banyak berbicara, terhanyut dalam berbagai macam topik, dan itu membuat Sastra merasa sedikit terpinggirkan. Ia akhirnya memutuskan untuk menjauh dari keramaian, juga ada alasan kuat bahwa Eyang Kakung memanggilnya.

Saat hendak menuju ke arah ruangan khusus tetua yang begitu ia hormati, tiba-tiba adiknya memanggil dengan tegas, "Mas!"

Sastra menoleh ke arah suara itu, melihat adik keduanya berdiri di ujung lorong dengan ekspresi serius. "Adipati, Why didn't you let me know when you came home?" (Kenapa kamu tidak memberi tahuku saat kamu pulang??)

Adi melangkah mendekat, aura dominannya kentara sekali. Ia mengenakan jas rapi yang lebih formal, menegaskan posisinya sebagai sosok yang lebih berkuasa dari putra Hardjo lainnya. Dengan postur tubuhnya yang tegap dan langkahnya yang mantap, R. Adipati Atmajaya Hardjosoemarto adalah seseorang yang tidak akan membiarkan orang lain meragukan citra namanya sebagai seorang Hardjosoemarto.

Mereka berpelukan sejenak, "terpaksa Mas, gue dipaksa Bapak cepat pulang, Eyang Kakung ada bahasan mau neken gue ikut politik. Sialan! Gue harus tunduk sama si tetua itu! Padahal lo tau kan, gue gak minat didunia kayak gitu, seharusnya lo yang lebih pantas ikut begituan."

Sastra mengerti, adiknya ini memang tak suka diatur-atur sekalipun oleh bapak mereka, Adiwira dan Eyang Kakung. "Gue tau, makannya gue mau bicara sama Eyang, dia panggil gue juga, barengan kan?"

Adipati mengangguk singkat, "bagus deh, itu tandanya lo bisa bicara dan ngertiin para tetua itu!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!