Clarisa Duncan hidup sendirian setelah keluarganya hancur, ayahnya bunuh diri
sementara ibunya tak sadarkan diri.
Setelah empat tahun ia tersiksa, teman lamanya. Benjamin Hilton membantunya namun ia mengajukan sebuah syarat. Clarissa harus menjadi istri, istri kontrak Benjamin.
Waktu berlalu hingga tiba pengakhiran kontrak pernikahan tersebut tetapi suaminya, Benjamin malah kecelakaan yang menyebabkan dirinya kehilangan ingatannya.
Clarissa harus bertahan, ia berpura-pura menjadi istri sungguhan agar kondisi Benjamin tak memburuk.
Tetapi perasaannya malah semakin tumbuh besar, ia harus memilih antara cinta atau menyerah untuk balas budi jasa suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nula_w99p, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Benjamin melaju dengan sangat cepat, setelah mendengar jawaban Ricard. Ia langsung menuju ke tempat yang tadi temannya katakan.
Ia dengan terburu-buru menuruni motor, dan menghampiri orang yang ada di sana "Kau tahu keberadaan orang ini?" Benjamin menunjukan sebuah koran yang tertera wajah Clarissa. Untungnya di jalan tadi ia menemukan koran ini, entah milik siapa.
"Oh tadi ada di sana tapi sudah pergi," orang itu mengangguk lalu menunjuk tempat Clarissa tadi berada namun sepertinya perempuan yang ia cintai sudah pergi dari sini.
"Lalu apa Anda melihat kemana mereka pergi?" Benjamin kembali bertanya namun orang di sampingnya menggeleng pelan, "aku tak tahu."
"Baiklah, terima kasih." Benjamin menjauhi orang yang sempat dia tanya, siapa lagi yang harus ia tanyai sekarang. Dia tempat ini hanya terlihat dirinya dan orang yang dia tanyai itu. Kemana lagi ia mencari Clarissa.
Benjamin menaiki motornya kembali dan melajukan nya pelan sambil matanya mencari ke sana ke mari. Sampai saat sosok perempuan berambut cokelat dari belakang terlihat, Benjamin menghampiri dan menyentuh bahunya hingga saat perempuan itu berbalik. Dia keheranan melihat Benjamin, ternyata bukan Clarissa.
"Maaf," Benjamin merasa semakin frustasi. Ia mengalami hari terburuk yang pernah ada dalam hidupnya.
Beberapa jam berlalu, Benjamin masih melajukan motor pelan sambil mencari seseorang yang dia cari.
Kini dia kian menyerah, sebaiknya dirinya pergi ke rumah dan mengambil ponselnya saja. Sebenarnya Benjamin sudah memikirkan untuk pergi ke rumahnya dahulu namun jaraknya sangat jauh dan bagaimana kalau Clarissa sudah pergi terlalu jauh dari kota ini, ia takut tak bisa bertemu perempuan itu lagi tetapi yang dia lakukan malah tak membuatnya menemukan Clarissa.
"Huh, sial. Kemana kamu pergi Clarissa!" Benjamin kemudian semakin melakukan kecepatan motor miliknya, ia tak mau lagi menyia-nyiakan waktu.
Dirinya harus pergi ke rumah untuk segera menelpon Clarissa, ia tak boleh kehilangan siapapun dalam hidupnya terutama Clarissa.
Tujuh puluh menit berlalu dari perjalanan tadi, sekarang Benjamin dengan buru-buru menaiki anak tangga yang ada luar dan segera memasuki ruangan.
"Kemana saja kau?" Morgan tahu anaknya melakukan apa, ia hanya sangat kesal hingga tak tahu harus memarahi anaknya dengan kalimat apa lagi.
"Dimana ponsel ku?" Benjamin tak menghiraukan pertanyaan Ayahnya, ia meneliti meja makan tempat di mana ia menyimpan ponselnya waktu itu.
"Duduklah, aku ingin bicara." Morgan kembali berbicara dengan tegas, ia tak boleh terlalu terbawa amarah.
"Kubilang di mana ponsel ku," Benjamin menaikan nada bicaranya. Ia kesal karena sampai sekarang masih belum menemukan Clarissa dan kini harus menuruti permintaan Ayahnya.
"BENJAMIN HILTON," Morgan berteriak. Suaranya dua kali lipat lebih keras di banding Benjamin tadi. "Duduk, aku tahu kau sedang mengkhawatirkan apa sekarang."
Benjamin menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya menuruti permintaan Ayahnya, "sekarang apa?"
"Jangan mencari Clarissa," Morgan kembali berbicara dengan tenang. Di tangannya sudah ada ponsel milik anaknya yang dicari-cari.
"Kenapa aku harus menuruti mu? Kembalikan ponsel ku." Benjamin tak mau mengalah, ia tak takut kalau harus bertengkar dengan Ayahnya.
"Jangan hanya memikirkan perempuan itu, pikirkanlah perusahaan kita juga. Kau tahu keluarga kita dan keluarga Duncan sudah menjalin kerjasama, semua media tahu kalau hubungan keluarga kita sangat dekat. Kalau mereka tahu kau ikut campur dan dekat dengan Clarissa, citra perusahaan akan hancur lebur. Dan bila itu terjadi kau tidak akan pernah menjadi pemimpin perusahaan berikutnya." Morgan menjelaskan dengan rinci alasan dirinya melarang putranya menemui keluarga yang dekat dengan mereka.
"Perusahaan lagi? Ini soal manusia yang sekarang sedang kesusahan, apa tak ada hal lain yang kau bisa kau pikirkan selain perusahaan keluarga ini? Kembalikan ponsel ku sekarang." Benjamin mencoba merebut ponselnya namun Ayah nya malah melemparnya dengan sangat kencang.
"Sialan kau," Benjamin berlari kencang mendekati letak ponsel itu berada.
Ponsel milik nya sudah retak bahkan tak bisa menyala saat ia mencoba menyalakannya. "Kau puas sekarang?" Benjamin kembali menghampiri Ayah nya dengan penuh amarah.
"Kalau kau masih tak mau menurut aku akan benar-benar mengeluarkan mu dari penerus ku, kau tak akan mendapat apapun dari sampai aku mati sekalipun. Dan kau tak akan bisa mendapatkan uang saat kau pergi dari rumah ini, kau tahu aku bisa melakukannya. Sekarang apa jawaban mu?" Morgan bukannya tak peduli dengan keadaan Clarissa maupun Ibunya sekarang, ia hanya tak mau media menyeret perusahaan ataupun keluarganya. Di dunia ini tak hanya mereka yang mempunyai masalah.
"Sialan kau Morgan, apa kau bukan manusia? Bagaimana bisa kau hanya memikirkan dirimu sendiri di saat seperti ini!" Benjamin sungguh sangat amat kesal tetapi dia tak bisa menjawab pertanyaan Ayahnya.
"Kalau kau pergi dari keluarga ini, kau tak akan pernah bisa membantu Clarissa. Dengan apa kau memang ingin membantunya? Kau tak akan punya uang sepeser pun kalau memisahkan diri dari ku."
Benjamin berdiam diri, ia tahu ucapan Ayah nya benar. Tak ada yang bisa dia lakukan jika dirinya benar-benar keluar dari keluarga Hilton sialan ini. Tetapi bagaimana dengan keluarga Clarissa? Apa dia akan baik-baik saja? Benjamin kehabisan akal memikirkan hal apa yang harus dia lakukan sekarang, ia harus memilih antara Clarissa atau Ayah nya.
Bila Benjamin memilih mencari Clarissa, artinya ia harus meninggalkan keluarga ini dan bagaimana caranya membantu Clarissa nanti bila dirinya sendiri tak punya uang ataupun pekerjaan sekarang.
Dan jika memilih Ayah nya, Benjamin bisa membantu Clarissa. Tetapi tidak sekarang, namun akankah perempuan yang ia cintai bertemu dengannya kembali!
Benjamin duduk kembali di kursi meja makan, "kau puas sekarang?" Ia memilih pilihan kedua, ia tak mau menjadi tak berdaya di hadapan Clarissa.
"Kembali lah ke kamarmu dan bersihkan diri mu! Kau sungguh terlihat buruk sekarang." Morgan bangun dari duduknya dan menjauhi Benjamin.
"Kalau aku menelponnya sekali, tak akan mengubah apapun kan?" Benjamin kembali bertanya, ia hanya ingin mendengar kabar Clarissa dari perempuan itu sendiri.
"Iya, telepon saja." Morgan melanjutkan langkahnya, "maaf mengecewakanmu nak tapi dia tidak akan pernah bisa kau hubungi lagi." Gumam Morgan yang sudah jauh dari tempat putranya.
Benjamin mendekati sebuah telepon seluler dan menekan nomor yang sudah ia hapal, satu kali tak ada jawaban. Ia melakukannya lagi, dua kali, tiga kali sampai tujuh kali masih tak ada jawaban dari nomor itu.
Kini ia menekan nomor yang berbeda. Suara perempuan terdengar dari sana, "halo Benjamin?"
"Haah Ibu... Ibu baik-baik saja? Sudah sampai di rumah itu?" Benjamin bernafas lega setidaknya Ibunya bisa ia hubungi.
"Sudah, ibu sekarang sedang mencoba lagi menelpon Clarissa tapi dia tak juga menjawab."
"Ibu juga? Aku juga sudah beberapa kali menelponnya tapi tak ada jawaban darinya." Tadinya Benjamin ingin bertanya soal Clarissa pada Ibunya namun pernyataan darinya membuat Benjamin merasa tak perlu lagi bertanya.
Setelah beberapa menit, Benjamin mengakhiri panggilan dengan Ibunya.
Ia tak bisa melakukan apapun lagi selain menunggu hingga dirinya mempunyai banyak uang agar bisa segera keluar dari pengawasan Ayah nya.
To be continue...