Yang Sara tahu, Tirtagama Wirasurya itu orang terpandang di seluruh negeri. Setiap orang membicarakan kehebatannya. Tapi mengapa tiba-tiba dia mau menikah dengan Sara yang hanyalah seorang pegawai biasa yang punya banyak hutang dan ibu yang sakit-sakitan? Sara pun juga tidak pernah bertemu dengannya.
Dan lagi, ada apa dengan ibu mertuanya? Mengapa yang tadinya sangat baik tiba-tiba saja berubah? Apa salah Sara?
Terima kasih banyak untuk semua bentuk dukungannya.
Cygni 💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cygni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 16-2 : Menyiapkan Hati (POV Agam)
[Agam]
Seperti biasa, setelah sarapan Agam mendatangi ruang kesayangannya yang ada di sebelah kamar tidurnya. Biasanya dia akan cukup lama berada di dalam sana mengerjakan semua pekerjaannya. Pikirannya tetap bisa fokus berada di sana hingga berjam-jam lamanya.
Tapi kali ini beda.
Dia tidak dapat fokus sama sekali semenjak telepon yang dia terima begitu memasuki ruang kerja komputernya.
[Flashback On]
“PANGGILAN MASUK DARI MAMA WIDIA. APAKAH TUAN INGIN TERIMA ATAU TOLAK?,” begitu notifikasi yang dia dengar dari ponsel miliknya.
Mama?
“Halo, Agam? Ini Mama. Kamu di rumah? Mama ingin bisa bicara berdua dengan kamu. Mungkin di luar rumah. Mama nggak enak sama Sara,” kata Widia begitu dia menerima panggilan itu.
Tidak enak sama Sara?
“Kamu ada waktu?”
“Bicara saja di telepon. Sara tidak ada di sini,” jawab Agam datar seakan tidak tertarik, padahal sebenarnya dia juga ingin tahu.
“Mama sudah dengar tentang kejadian di NFC beberapa waktu lalu. Mama tahu kamu pasti marah mendengar omongan mereka. Mama juga sangat marah, Agam. Tapi, kita nggak bisa mengabaikan itu semua. Yang mereka bilang itu ada benarnya. Coba kamu pikirkan lagi, ya.”
Agam menghela napasnya perlahan. Akhirnya, dia melakukannya juga ...
“Kamu bisa beristirahat di rumah. Biar NFC diurus sama adikmu. Ya? Mau, ya?,” bujuk Widia selembut mungkin.
“Mama sudah tahu keputusanku sejak lama. Untuk apa Mama mencoba lagi sekarang?”
“Mama melakukan ini untuk kamu, Agam. Sampai kapanpun Mama akan terus mencobanya.” Suara Widia terdengar cukup berat.
“Sampai kapan pun, aku juga akan menolaknya,” jawab Agam singkat.
Widia terdiam sejenak.
“Apa ... Sara ada bilang sesuatu kemarin?”
Dia menyebut nama Sara lagi?
“Bilang apa?,” tanya Agam balik.
Widia tidak langsung menjawab. Butuh waktu yang cukup lama sebelum akhirnya pertanyaan Agam dijawab.
“Mama khawatir ... Sara salah paham dengan maksud Mama.”
Salah paham?
Yang selanjutnya Widia katakan adalah tentang kekhawatirannya karena Sara mengira dia menentang Agam saat bercerita tentang kejadian di meeting room beberapa waktu lalu.
“Mama bukan menentang keputusan kamu, Agam. Mama hanya khawatir. Mama takut kamu semakin ditekan oleh mereka. Tapi, istrimu malah bilang dia yakin sama kamu. Kalau dia bilang seperti itu kan kesannya Mama yang nggak yakin sama kamu. Padahal sebenarnya bukan begitu maksud Mama,” jelas Widia panjang lebar.
“Sara bilang apa?,” tanya Agam yang mulai penasaran dengan ucapan Sara, terutama ketika Widia bercerita bagaimana Sara ternyata malah punya pendapat berbeda dengan mamanya itu.
“Sara bilang bukan masalah besar atau kecilnya, tapi maksud dan tujuan di setiap projects kamu. Mama hanya ...”
Kalimat selanjutnya yang keluar dari Widia, pada akhirnya tidak tergubris oleh Agam. Waktunya seakan berhenti saat Widia memberitahunya tentang Sara yang justru tidak menilai semua yang dikerjakannya sama seperti orang-orang itu.
Perlahan-lahan, di dalam hatinya berdesir kehangatan yang datangnya entah dari mana.
[Flashback Off]
Saat panggilan itu berakhir, Agam kembali memikirkan apa yang terjadi di antara dirinya dan Sara beberapa hari terakhir ini.
Pembicaraan yang baik antara dia dan Sara terjadi beberapa hari yang lalu – seminggu lebih sudah mungkin – saat Widia datang ke rumah ini untuk terakhir kalinya. Saat itu juga Sara mengatakan kalimat itu.
“Kamu hanya ingin menikah dengan seorang istri yang bisa menanggung semua beban dosa-dosamu.”
Kalimat itu ... Kalimat yang membuat Agam dongkol beberapa hari terakhir ini. Waktu itu, dia tidak memahami maksud Sara. Tapi kini, Agam bisa melihatnya.
Aku terlalu mendesaknya ...
Lalu pertengkaran itu. Pertengkaran yang cukup hebat hingga membuat gadis itu melemparinya sebuah baju rajutan, lalu meneriakinya. Untuk pertama kalinya sejak gadis itu tinggal di rumahnya, Agam baru mendengar kemarahannya itu, hingga sulit baginya untuk bisa berkata-kata.
Tapi memang konyol baginya. Seharusnya dia bisa lebih dewasa menghadapi gadis yang baru menginjak usia 20 tahunnya. Seharusnya dia bisa mengakui kesalahannya, tapi malah membuat pertengkaran lain yang memancing emosi Sara kembali. Padahal jika dia mengingat kembali, tidak ada yang salah dari cara Sara berbicara dengannya.
Aku memang bodoh, batin Agam merutukinya.
Dan di antara semua itu, percakapannya dengan Mbok Jami yang paling membuat hatinya tidak tenang. Hingga sekarang.
[Flashback On]
“Lho, Non Sara ndak sarapan? Padahal sudah Mbok buatkan wedang jahe,” kata Mbok Jami yang baru kembali dari dapur dan mungkin juga terkejut melihat Sara yang tidak ada lagi bersama Agam di ruang makan.
“Wedang ...?,” tanya Agam yang baru pertama kali mendengarnya.
“Wedang jahe, Den. Kemarin Non kelihatan pucat. Saya tanya katanya sedang haid. Mungkin sakit sekali, Den. Sampai nangis peluk saya.”
Agam merenungi kata-kata Mbok Jami. Nangis? Apakah sesakit itu?
“Apakah ... tadi masih terlihat ... pucat?,” tanya Agam dengan hati-hati. Gengsi masih menguasai dirinya. Dia tidak mau dianggap terlalu memperhatikan Sara. Padahal tidak ada yang salah dengan itu. Dia kan suaminya.
“Tidak terlalu, Den. Lebih pucat yang kemarin. Tapi, ini mungkin masih sakit. Masih kelihatan lemas,” kata Mbok Jami menjelaskan apa yang dia lihat.
Agam kembali merasakan sesuatu yang tidak nyaman di dalam hatinya. Sedikit rasa gelisah, tapi yang terbanyak adalah cemas. Dia khawatir. Sesuatu yang aneh. Karena belum pernah dia sekhawatir pada orang lain ini semenjak adiknya masuk rumah sakit saat masih kecil.
“Tolong antarkan sarapan dan wedang jahenya ke kamar Sara,” titah Agam pada Mbok Jami yang segera dilaksanakan.
Tapi tak lama kemudian, Agam menghentikannya. “Mbok ...”
“Iya, Den?”
“Sara ... tidur di kamar yang dekat tangga.”
[Flashback Off]
Meski Mbok Jami sudah mengatakannya, dan Agam mendengarnya dengan baik, tapi rasa khawatirnya belum juga hilang. Dan setelah Widia menelponnya, rasa cemasnya seakan semakin bertambah.
Mulailah dia mencari tahu tentang hal yang dialami Sara, tapi tidak ada satu pun yang bisa memuaskan hatinya. Dan kalau sudah begini, satu-satunya orang yang bisa membantunya hanyalah orang itu.
“Telepon Raka.”
“BAIK, TUAN. PANGGILAN SEGERA DIHUBUNGKAN. MENGHUBUNGKAN. RAKA.”
“Selamat pagi, Tuan Agam. Apakah ada yang perlu saya lakukan?”
Tiba-tiba saja, Agam mulai ragu. Lidahnya terasa kelu untuk dibuat berbicara. Bibirnya sudah menganga, tapi suaranya tak kunjung keluar. Agam tercekat.
“Tuan? Halo?”
“Ehem ...” Agam berdehem sekali untuk menjawab Raka sekaligus memberitahunya bahwa dia ada di sana.
“A-apa ... Apa kamu tahu ... tentang haid?”
Jujur, dia ingin bertanya hal lain. Tapi, malah itu yang keluar dari mulutnya.
“Iya, saya tahu, Tuan.”
“Apa ... yang bisa diberikan pada wanita yang sedang haid?” Akhirnya keluar juga pertanyaan itu.
“Oohh ...,” jawab Raka ber-oh cukup panjang. “Nyonya Sara sedang kedatangan tamu?”
Agam langsung kesal. “Siapa yang lagi bicarakan tamu? Kamu paham tidak sih maksud saya?”
“Iya, iya, Tuan. Saya paham maksud Tuan.” Seperti seorang joki yang sedang menenangkan kudanya yang gusar, seperti itu yang sedang Raka lakukan saat ini. “Kalau boleh saya tahu, Tuan tanya ini untuk siapa?”
“Kamu tidak perlu tahu. Jawab saja pertanyaanku,” hardik Agam.
“Oke, oke ... Coba saya pikirkan sebentar. Hmm ... Wanita haid, ya? Ah ... Bagaimana kalau makanan saja? Wanita kalau sedang haid, nafsu makannya pasti meningkat.”
Nafsu makan meningkat? Tapi semalam rasanya dia tidak makan malam. Tadi pagi juga.
“Yang lain. Nafsu makannya biasa saja. Lagipula aku tidak tahu makanan kesukaannya.”
“Saya bisa cari tahu makanan kesukaan Nyonya Sara kalau Tuan mau.” Raka sepertinya sedang mencari masalah.
“Sudah kubilang bukan dia! Yang lain!” Agam semakin tidak sabaran.
“Jalan-jalan! Bagaimana kalau beri dia uang untuk shopping. Kadang wanita butuh pelampiasan, Tuan.”
“Bagaimana dia bisa jalan-jalan? Perutnya saja sakit!,” bentak Agam yang mulai kehabisan stok kesabarannya.
“Kalau begitu obat saja untuk kram perutnya.”
Bukan ide yang buruk sebenarnya. Tapi ... “Yang lain! Mbok Jami sudah buatkan wedang jahe.”
“Ooohhhhhh ...” Kali ini panjang sangat kata ‘oh’ yang dikeluarkan Raka. Lebih panjang daripada yang tadi.
“Apa?! Sudah dibilang bukan ya bukan!”
“Kalau begitu, ini saja. Bantal penghangat. Katanya, saat wanita sedang haid bagian perutnya dikompres air hangat pasti terasa nyaman.”
Akhirnya, sebuah ide bagus. Memang seharusnya menghubungi Raka untuk bisa mendapatkan solusi. Meskipun harus dibuat jengkel juga.
“Oke, itu saja. Kamu belikan terus antarkan. Kasihkan Pak Pardi. Nanti dia tahu apa yang harus dilakukan,” perintah Agam.
“Sekarang, Tuan?”
“Ya iya sekarang. Masak mau nunggu dia haid lagi?,” kata Agam kesal dan langsung mengakhiri panggilannya. “Akhiri panggilan.”
“PANGGILAN DIAKHIRI.”
Dan Agam akhirnya merasa sedikit ketenangan. Dia bisa fokus mengerjakan pekerjaannya.
Seharusnya dari tadi aku melakukan ini.
bayanginnya imuttt
penasaran tiap babnya nih, bagaimana nasibnya yaaa
Sekalian rekomen buat yang kesusahan nyari novel yang seru dan bagus, mending coba baca yang judulnya Caraku Menemukanmu
tapi... si mama widia harus dpt ganjarannya..
kasian tapi udh byk korban dr dia sendirii . dihhh :') mangkel