Velora, dokter muda yang mandiri, tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya karena satu janji lama keluarga. Arvenzo, CEO arogan yang dingin, tiba-tiba menjadi suaminya karena kakek mereka dulu membuat perjanjian yakni cucu-cucu mereka harus dijodohkan.
Tinggal serumah dengan pria yang sama sekali asing, Velora harus menghadapi ego, aturan, dan ketegangan yang memuncak setiap hari. Tapi semakin lama, perhatian diam-diam dan kelembutan tersembunyi Arvenzo membuat Velora mulai ragu, apakah ini hanya kewajiban, atau hati mereka sebenarnya saling jatuh cinta?
Pernikahan paksa. Janji lama. Ego bertabrakan. Dan cinta? Terselip di antara semua itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Arvenzo sadar
Malam di ruang VVIP rumah sakit itu begitu hening. Hanya suara mesin monitor berdetak teratur, menandai detak jantung Arvenzo. Lampu redup menenangkan, menciptakan suasana sunyi yang kontras dengan kegelisahan hati Velora.
Di samping ranjang, Velora tertidur lelap dengan kepala tergeletak di tepi ranjang. Tangan mungilnya tetap menggenggam erat tangan Arvenzo, seakan-akan dengan begitu ia bisa memastikan suaminya tidak pergi meninggalkannya.
Kelopak mata Arvenzo perlahan bergetar. Nafasnya terdengar lebih stabil, jari-jarinya sedikit bergerak. Dengan berat, matanya terbuka, menatap langit-langit putih yang asing, lalu berpindah pada sosok di sampingnya.
Velora.
Wajah istrinya tampak lelah, rambutnya sedikit berantakan, tapi tetap ada ketenangan saat ia tertidur. Senyum samar muncul di bibir Arvenzo. Dengan tenaga yang masih sangat terbatas, ia mengangkat tangannya, menyentuh lembut kepala Velora.
Sentuhan itu membuat Velora tersentak kecil. Ia membuka mata perlahan, lalu mendapati tatapan Arvenzo. Seketika jantungnya berdegup kencang.
“Arven?” suaranya bergetar, matanya membesar tak percaya.
Arvenzo menatapnya lemah, senyumnya tipis namun penuh makna. “Vel...” bisiknya serak, nyaris tak terdengar.
Air mata Velora langsung jatuh, bercampur antara lega dan haru. Ia buru-buru menekan tombol pemanggil tim medis di samping ranjang, tangannya masih menggenggam erat jemari Arvenzo.
Tak butuh waktu lama, pintu terbuka. Seorang dokter bersama dua perawat segera masuk dengan langkah cepat. “Pasien sudah sadar!” seru salah satu perawat, langsung memeriksa kondisi Arvenzo.
Velora menyingkir sedikit memberi ruang, namun matanya tak beralih dari suaminya. Hatinya berbisik lirih. Terima kasih, Tuhan... dia kembali.
Dokter segera menghampiri ranjang, stetoskop sudah siap di lehernya. Dua perawat berdiri di sisi lain, memeriksa infus dan monitor detak jantung.
“Tuan Arvenzo, bisa dengar suara saya?” tanya dokter dengan nada tenang sambil menyorotkan senter kecil ke mata Arvenzo, memeriksa respons pupilnya.
Arvenzo mengedip pelan, pandangannya masih samar. “Iya, saya dengar,” suaranya serak, nyaris berupa bisikan.
Velora yang masih berdiri di sisi ranjang, menggenggam tangan suaminya erat-erat, nyaris menahan nafas menunggu penjelasan dokter.
“Bagus,” ujar dokter, menuliskan sesuatu di catatan medis. Ia menempelkan stetoskop di dada Arvenzo. “Tarik napas dalam... sekali lagi... bagus.”
Setelah beberapa menit pemeriksaan, dokter menoleh pada Velora yang tampak gelisah. Senyumnya muncul tipis, menenangkan.
“Keadaannya stabil. Beliau sudah melewati masa kritis. Luka operasinya dalam proses pemulihan, tapi kondisinya cukup baik untuk pasien yang baru sadar setelah koma.”
Velora menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak haru yang pecah juga. Ia menunduk, mengucap syukur dalam hati.
Dokter kemudian menatap Arvenzo lagi. “Tuan Arvenzo, untuk sementara jangan terlalu banyak bicara. Fokus pada istirahat dan pemulihan. Kami akan terus memantau tanda vital Anda. Jika ada rasa sakit yang mengganggu, beri tahu segera.”
Arvenzo hanya mengangguk lemah, matanya kembali beralih pada Velora. Meski tubuhnya rapuh, genggaman tangannya pada istrinya terasa lebih kuat daripada sebelumnya.
Dokter dan dua perawat keluar setelah memastikan kondisi pasien stabil. Sunyi menyelimuti ruangan VVIP itu, hanya suara mesin monitor yang berdetak teratur.
Velora masih duduk di kursi samping ranjang, matanya berkaca-kaca sambil tetap menggenggam tangan suaminya.
Arvenzo menoleh pelan, bibirnya yang pucat berusaha mengulas senyum tipis. “Kamu nggak pulang?” suaranya serak.
Velora menggeleng, menahan isak yang hampir pecah. “Aku sudah janji, aku nggak akan ninggalin kamu sendirian.”
Arvenzo menatap wajah istrinya lama, lalu menghela napas. “Kamu capek? Aku bisa lihat kamu kurang tidur.”
Velora tersenyum samar. “Aku lebih lega lihat kamu sadar, Ar. Capek ku hilang semua.”
Arvenzo hanya diam. Tapi pikirannya melayang jauh. Ia masih bisa merasakan jelas mimpi itu... Vania, cinta pertamanya, yang datang dengan wajah teduh. Kata-kata Vania menggema di kepalanya. “Lupakan aku, kita sudah di dunia berbeda. Bukalah hatimu untuk Velora.”
Hatinya bergetar. Mimpi itu terasa begitu nyata, seakan Vania benar-benar hadir. Tapi ia memilih menyimpannya sendiri. Velora belum tahu siapa Vania, dan Arvenzo tidak ingin membuka luka lama di saat seperti ini.
Ia menoleh lagi ke arah Velora, kali ini dengan tatapan berbeda lebih hangat, lebih lembut. Tangan kanannya bergerak pelan, menyentuh jemari istrinya.
Velora sempat kaget, lalu meremas tangannya erat. “Jangan pernah bikin aku takut lagi, Ar... ” bisiknya lirih.
Velora menunduk, suaranya bergetar. “Terima kasih, kamu udah nyelametin aku. Kamu sampai bertaruh nyawa demi aku.”
Arvenzo menatapnya, mata lelahnya memancarkan ketulusan. “Aku nggak mau lihat kamu kenapa-kenapa, Vel. Selama aku masih bisa, aku akan selalu lindungi kamu.”
Air mata Velora jatuh begitu saja. “Tapi kamu sampai koma. Aku nggak akan pernah maafin diriku kalau sampai kamu--” kalimat itu terhenti, tertelan isakan.
Arvenzo mengeratkan genggaman tangannya, berusaha menenangkan. “Hei, aku masih di sini, kan? Aku nggak pergi ke mana-mana.”
Velora menatapnya dengan mata basah, dadanya terasa sesak oleh perasaan yang tak bisa ia jelaskan. “Aku bener-bener takut kehilangan kamu, Ar...”
Arvenzo tersenyum samar, meski tubuhnya masih lemah. “Kamu nggak akan kehilangan aku, Vel. Selama kamu mau, aku akan selalu ada di sisimu.”
Ruangan VVIP itu hanya diterangi lampu temaram di sudut, menciptakan suasana tenang di tengah malam. Monitor medis berdetak pelan, bersahabat dengan kesunyian.
Arvenzo menoleh perlahan, menatap Velora yang duduk di kursi samping ranjangnya. Wanita itu tampak lelah, kepalanya beberapa kali hampir terjatuh karena kantuk. Namun tangan Velora tetap erat menggenggam tangannya, seolah enggan melepas.
“Vel...” suara Arvenzo serak, tapi cukup membuat Velora terlonjak kecil.
Velora buru-buru membuka mata lebar, mencoba menepis rasa kantuknya. “Hm? Kamu butuh sesuatu, Ar?”
Arvenzo menatapnya dalam-dalam. “Tidurlah di sini, di brankar bersamaku.”
Velora langsung menggeleng cepat, wajahnya memerah. “Tidak, Ar. Aku bisa tidur di ranjang keluarga pasien itu.” Ia menunjuk ke arah ranjang khusus untuk keluarga pasien yang sudah disediakan di tak jauh dari brankar Arvenzo. “Kamu butuh ruang untuk istirahat, aku tidak mau mengganggu.”
Arvenzo menghela napas, tapi senyumnya samar. “Aku nggak bisa istirahat dengan tenang kalau kamu jauh di sana. Aku ingin kamu dekat di sisi aku.”
Velora terdiam, menelan ludah. “Tapi Ar--” suaranya lirih.
Arvenzo menggeser tubuhnya sedikit, meski masih terasa sakit. Tatapannya penuh keteguhan. “Aku ingin memelukmu, Vel. Itu saja. Supaya aku lebih tenang.”
Degup jantung Velora langsung berlari kencang, wajahnya panas. Ia menggigit bibir, ragu. Selama ini Arvenzo dikenal dingin, menjaga jarak tapi malam ini, suaminya justru yang meminta kehangatan darinya.
Velora menunduk, mencoba menyembunyikan rona merah pipinya. “Aku takut mengganggu penyembuhan mu.”
“Vel,” bisik Arvenzo lembut, “Yang aku butuhkan sekarang bukan hanya obat dan perban, tapi kamu.”
Kalimat itu menusuk jauh ke hati Velora. Perlahan, dengan tangan gemetar, ia pun berdiri dan mendekat ke ranjang. Hatinya berdebar tak karuan saat ia akhirnya berbaring hati-hati di samping Arvenzo.
Begitu Velora menempelkan tubuhnya di sisi suaminya, Arvenzo melingkarkan lengannya yang masih kuat ke pinggang istrinya. “Terima kasih,” gumamnya lirih, bibirnya menyentuh ubun-ubun Velora.
Velora memejamkan mata, dadanya bergetar hebat. Dalam dekap hangat itu, ia sadar rasa takut kehilangan Arvenzo kemarin, dan degupan hatinya malam ini mungkin memang pertanda kalau ia benar-benar mulai jatuh hati pada suaminya.
......................
Kalian juga bisa mampir ke novel :
Nama pena : Rosse Roo
Judul : Gadis Tengil Anak Konglomerat
Ceritanya tak kalah seru dan menarik😍
Seorang dokter iya profesinya, istri statusnya sekarang jadi perawat dengan pasien suaminya sendiri🤭🤭