Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20.
Kaki Risnaldi gemetaran hingga tak mampu melangkah walau hanya selangkah.
Dia hanya menoleh ke arah Mumu tanpa daya.
Mumu dengan tenang menatap Amran dan kawan-kawannya langsung mengambil posisi melingkar, mengelilingi mereka berdua.
'Sepuluh orang' Mumu menghitung dalam hati. Dari cara mereka bertindak Mumu bisa mengetahui Amran dan kawan-kawannya sudah terbiasa berkelahi dalam kelompok.
"Kamu yang bernama Amran?" Mumu menatap pemuda pongah yang berdiri sekitar lima langkah darinya.
"Kalau iya kena......?"
"Buk...!!!"
Belum sempat Amran menyelesaikan kata-katanya, sebuah bogem mentah mengenai wajahnya.
Amran terdorong mundur tiga langkah ke belakang.
Belum sempat dia menyeimbangkan diri, kembali pukulan dan tendangan mengenai tubuhnya.
Amran hanya bisa meringis menahan sakit.
Kata-kata makian yang siap terlontar dari mulutnya berganti dengan desis kesakitan.
Peristiwa itu terlalu cepat terjadi. Sehingga kawan-kawan Amran hanya diam melongo tanpa mampu berbuat apa-apa.
Kini mereka memandang Mumu dengan cara berbeda. Ada jejak ketakutan di mata mereka.
Amran bukan lah yang terkuat di antara mereka. Tapi mampu menyerang Amran dengan begitu cepat dan santai tanpa Amran mampu membalasnya sama sekali, jelas pemuda di hadapan mereka tidak bisa diremehkan sama sekali.
Mereka saling lirik. Seperti sudah sepakat, tanpa aba-aba mereka serentak menyerang ke arah Mumu. Ada yang menyerang ke arah kepalanya, leher, perut bahkan sebuah tendangan mengarah ke selangk*ngan.
Mumu yang sekarang bukan lah Mumu yang dulu yang hanya bisa berlari menghindari keroyokan musuh-musuhnya.
Sejak ia dengan rutin latihan setiap hari, ilmu bela dirinya sudah jauh maju ke depan.
Tanpa mengalami kesulitan sama sekali, Mumu berhasil menghindari dan menangkis setiap serangan yang datang bertubi-tubi dan bahkan membalasnya.
Gerakannya cepat dan akurat. Ilmu bela dirinya seakan-akan keluar begitu saja tanpa difikirkan.
Mungkin ini lah yang dikatakan ilmu yang sudah mendarah daging di dalam tubuh seseorang sehingga dengan reflek akan keluar sendiri sesuai keadaan.
Tak lama kemudian kembali terdengar suara desis kesakitan.
Bahkan ada beberapa di antara mereka yang menjerit pilu karena tangan dan kakinya langsung terkilir terkena serangan Mumu.
Mumu sedikit terpana melihat serangannya. Ia tak menyangka hasil latihannya selama ini akan sebaik itu.
Yang lebih terkejut lagi adalah Risnaldi. Mulutnya sampai ternganga melihat kehebatan Mumu.
Saking lebar mulutnya terbuka seandainya dimasukkan bola kasti dapat dipastikan akan masuk.
Tapi siapa juga yang mau repot-repot membawa bola kasti ke mana-mana sambil menunggu mulut seseorang terbuka lebar untuk memasukkan bola itu kemulutnya. Kurang kerjaan namanya.
Mumu berjalan ke arah Amran, sontak kawan-kawannya memberi jalan tanpa peringatan.
Mereka sudah cukup menderita akibat serangan pemuda ini dan mereka tidaklah cukup bod*h untuk menambah penderitaan mereka.
Sedangkan Amran yang masih terduduk di tanah, wajahnya sedikit pucat.
"Apa yang kamu inginkan?"
Tanpa menjawab pertanyaan Amran, Mumu melambaikan tangannya ke arah Risnaldi, "Sini, Nal!"
Risnaldi mendekat dengan langkah kakinya yang berat itu.
"Kamu bisa membalas atas perbuatannya sepuasnya." Ucap Mumu.
Mata Risnaldi berbinar, "Benarkah?" Risnaldi mengusap-usap tinjunya yang gemuk itu.
"Jangan coba-coba mendekat!" Ancam Amran dengan wajah separuh marah separuh takut.
"Kamu tidak dalam posisi mengancam sekarang." Ujar Mumu kalem.
"Awas jika kalian berani aku laporkan kepada abangku. Abangku preman pasar." Ancamnya sambil mundur dua langkah ke belakang.
Risnaldi sedikit ragu tapi Mumu langsung berkata, "Lakukan cepat, Nal! Kamu tak perlu takut. Jika abangnya ingin balas dendam, dia bisa menemuiku langsung."
Setelah mendapat jaminan dari Mumu, Risnaldi langsung menyarangkan tinju, cakaran dan jambakan ke sekujur tubuh Amran.
Amran hanya bisa mengumpat dengan hati yang penuh dendam. Dia tak berani melawan sama sekali. Bukan takut sama si gendut yang tak berg*na ini tapi ngeri terhadap Mumu.
Sepanjang jalan kembali ke Minimarket, Risnaldi tak henti-hentinya tertawa senang atas kejadian tadi.
"Kamu lihat wajahnya tadi kan, Mumu? Merah padam menahan marah akibat aku pukul berkali-kali." Risnaldi mengoceh bangga.
Mumu hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah temannya ini.
"Mumu dipanggil Bos Akiong ke ruangannya." Sebuah suara menyapanya ketika Mumu memarkirkan motornya sedangkan Risnaldi sudah berlari dengan gembira ke dalam Minimarket.
"Ada apa bos memanggilku, Rat?"
Ratih menggelengkan kepalanya tanda tidak mengerti.
"Kamu sudah bilangkan kalau aku izin pergi tadi?"
"Kalau yang itu sudah. Seandainya tidak diberi tahu pun, Bos biasanya juga tak terlalu peduli, yang pentingkan kerja kita selesai." Ucap Ratna.
"Oke lah kalau begitu. Aku pergi dulu. Terima kasih ya." Mumu pun berlalu meninggalkan Ratna yang masih tampak berfikir.
"Tok tok..."
"Masuk!" terdengar suara dari dalam.
Mumu pun segera masuk setelah terlebih dahulu menutup pintunya kembali.
Ruangan Bos Akiong tidak terlalu besar. Hanya berukuran 2x1 meter.
Ruangan ini pun jarang ditempati karena biasanya Bos Akiong jarang stay di sini. Dengar-dengar kabar usahanya banyak jadi dia tidak bisa fokus menjaga di Minimarket ini saja.
"Kamu Mumu ya?"
"Ya, Bos."
"Silahkan duduk, Mumu." Bos Akiong melihat Mumu dari seberang meja. Dia mengambil sebuah amplop tipis berwarna putih dan menyodorkan ke arah Mumu.
"Ini adalah gaji kamu selama bekerja di sini. Tidak banyak, karena kamu belum lama bekerja di sini. Ini adalah hari terakhir kamu bekerja di sini. Jadi mulai besok dan seterusnya kamu tak perlu datang lagi."
Jantung Mumu berdebar lebih kencang. Wajahnya sedikit berubah, "Tapi kenapa, Bos? Apa salah saya?"
"Ya terserah saya dong. Mau saya berhentikan mau saya suruh kamu kerja di sini, itu kan wewenang saya. Kamu tak punya hak untuk bertanya."
"Tapi, Bos, tolong beri saya alasan kenapa saya diberhentikan secara sepihak."
"Brak...!!!" Bos Akiong menggebrak meja, "Jadi kamu berani mempertanyakan kredibilitas saya? Keluar kamu sekarang! Saya tak mau karyawan yang kurang ajar seperti kamu!"
Mumu menarik nafasnya pelan-pelan untuk menahan gejolak emosi yang semakin menguat.
Setelah ia bisa mengendalikan amarahnya, Mumu berkata, "Baik lah kalau begitu, Bos. Terima kasih atas kepercayaannya selama ini." Tanpa mengambil amplop yang berisi uang gajinya yang hanya beberapa hari bekerja di sini, Mumu langsung ke luar ruangan.
Wajahnya sedikit murung. Tapi ia berusaha untuk menenangkan dirinya.
"Mumu, sini makan gorengan. Aku traktir. Sebagai bentuk syukuran." Teriak Risnaldi yang sedang makan di samping gudang. Beberapa temannya termasuk Ratih pun ada di sana.
Agar teman-temannya tak curiga, Mumu mencomot satu dan berkata, "Aku tak bisa lama-lama. Aku harus pergi. Bos menyuruh aku melakukan sesuatu, jadi aku bakalan jarang di sini nanti."
"Melakukan apa?" Ratih sedikit curiga karena ia berasumsi Mumu sedikit murung.
"Tugas rahasia. Aku pergi dulu ya teman-teman." Tanpa menunggu persetujuan mereka, Mumu langsung pergi tanpa menoleh ke belakang.
...****************...
Malahayati sedang berjalan santai di taman belakang rumahnya. Sesekali dia tersenyum sendiri dengan wajah memerah karena jengah.
Raminten