Melati dan Kemuning tak pernah melakukan kesalahan, tapi kenapa mereka yang harus menanggung karma perbuatan dari orang tuanya?
Sampai kapan dan bagaimana cara mereka lepas dari kutukan yang pernah Kin ucapkan?
Assalamualaikum, cerita ini murni karangan author, nama, tempat dan kejadian semua hanya kebetulan semata. Selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada Amarah Yang Terpendam di Hati Melati
Melati berjalan sedikit menjauh, dia mengambil batu kerikil lalu bersembunyi di balik pepohonan. Lalu, untuk apa batu kerikil itu? Tentu saja untuk dilempar ke atap rumah Seno.
Kratak-kratak, bunyi batu-batuan itu saat jatuh di atap seng rumah Seno, apa yang Melati lakukan membuat penghuni rumah terkejut, berpikir kalau ada sesuatu yang baru saja lewat di atap rumah mereka, bahkan ibu dan bapak Seno pun segera menyudahi apa yang sedang mereka lakukan.
"Pak, ada apa? Ibu takut," ucap wanita yang sekarang sedang berpakaian lagi.
"Mungkin bocah iseng, Bu. Biar bapak periksa," kata Bapak Seno yang juga gegas berpakaian, dia hendak keluar namun Ibu Seno menahannya.
"Nggak usah, Pak. Ibu takut kalau tadi itu kuntilanak lewat," ucapnya.
Mendengar itu Bapak Seno pun kembali duduk ke ranjangnya, dia teringat dengan kuntilanak yang disebut-sebut sering mengganggu di desa itu, tanpa mereka tau kalau kuntilanak itu sekarang sudah terkurung di dalam botol.
"Ya, sudah, kita tidur saja, Bu."
Sementara Seno, dia sendiri penasaran dan mengintip dari celah jendela, tapi dia tidak melihat apapun di luar sana.
Hanya ada kegelapan yang menelan malam, seolah lampu-lampu pun enggan berpendar. Seno melangkah pelan kembali ke ranjang kecilnya dengan perasaan penasaran.
Di kepalanya terngiang lagi obrolan iseng teman-temannya siang tadi tentang keluarga Melati yang katanya memelihara pesugihan. Kata-kata itu kini terasa seperti bisikan dari kegelapan, menusuk telinganya.
Dada Seno mulai sesak, kamar seolah menjadi pengap seperti tidak ada udara. Ia membayangkan wajah Melati tanpa senyum, berdiri menatapnya dari ujung ranjang, lalu bayangan itu berubah menjadi sosok Melati yang menyeramkan, bola matanya lepas, jatuh menggelinding ke arahnya dan belatung keluar dari mata, mulut dan hidung Melati.
Pluk! Bunyi segumpal belatung yang jatuh.
"Aaaaaaa!" teriaknya Seno, seketika bayangan itu hilang, dia sadar kalau itu ternyata hanya pikirannya sendiri.
Walau begitu, bulu kuduknya berdiri, nafasnya semakin tersendat. Pikiran itu merambat semakin liar, bagaimana kalau dirinya akan dijadikan tumbal? Bagaimana kalau semua kepolosan dan kelemahan yang ditunjukkan Melati selama ini hanya pura-pura?
Seno menelan ludah, tapi tenggorokannya kering. Ia menarik selimut menutupi kepala, namun rasa takut itu tetap menempel, seperti bayangan yang terus mengikuti.
Ditambah lagi suara ketukan pintu yang tiba-tiba membuat Seno semakin meringkuk rapat.
"Seno, ada apa?" tanya Ibunya yang berdiri di balik pintu, wanita itu khawatir dengan sang putra yang terdengar sempat menjerit.
Seno menghela nafas panjang, dia pun segera turun dari ranjang, dia membukakan pintu dan merasa lega saat melihat ibunya.
"Nggak papa, Bu. Seno mimpi buruk aja tadi," jawab Seno, dia memang harus berbohong demi menutupi ketakutan dan kebusukannya, apalagi dia sudah berbuat terlalu jauh pada Melati.
Sekarang, orang-orang di rumah itu berusaha untuk jadi tenang, mereka kembali ke kamar masing-masing dan melanjutkan tidur.
Sementara Melati, dia sedang berjalan seorang diri, menyeret kakinya yang pincang, tak menghiraukan suara burung hantu yang mengiringi langkahnya.
Rencana demi rencana yang dia pikirkan sekarang sudah tersusun rapi, Melati sudah tau apa yang harus dia lakukan pada Seno, hanya tinggal menunggu waktu saja.
Malam berlalu, pagi hari Melati enggan membuka mata, sementara itu, Kemuning sudah siap untuk ke sekolah.
Karena ada sesuatu yang harus Melati kerjakan, dia pun terpaksa ke sekolah. "Males banget, padahal aku udah nggak semangat sekolah!" batin Melati.
"Tapi demi dendamku, aku harus ke sekolah, aku harus mancing ikan besar!" batinnya lagi.
Lalu, si mbok yang ingin melaporkan sesuatu itu mengetuk pintu kamar. Kemuning membukanya. "Ada apa, Mbok?" tanyanya dengan sopan.
"Itu, Non. Mobil sama sopir udang nggak ada," kata si mbok seraya meremas tangannya sendiri, dia bingung harus bagaimana menjelaskannya pada mereka bahwa sopir itu membawa kabur mobilnya.
"Setelah pengganggu itu terkurung? Tapi, tetap saja, kenapa baru buka mata udah dengar kabar buruk?" tanya Melati, gadis yang masih duduk di tepi ranjang itu bangun dari duduk, dia pun menghela nafas panjang.
"Mungkin butuh waktu, Non. Namanya baru ketangkap kemarin, kan? Mungkin masih ada sisa-sisa kutukan itu," jawab si mbok dan Melati menatapnya datar, dia sangat membenci jawaban itu, kenapa si mbok harus menyebut setiap kesialan yang menimpa mereka itu kutukan?
Melati tak menjawab lagi, dia segera bergegas mandi, lalu bersiap ke sekolah, di dapur hanya ada telur dadar dan nasi putih, susu yang biasanya tersaji di sana pun hari ini tidak ada.
Melati masih berdiri di belakang kursi meja makan, melihat itu, dia merasa tidak selera dengan apa yang ada di meja makan. "Mbok, kenapa cuma ada ini? Apa uang kita sudah habis? Lalu, urusan mobil bagaimana?" ketusnya.
"Mbak, ini juga enak, kok. Telur dadar sama nasi anget," kata Kemuning yang sudah duduk di kursi, menarik piringnya supaya lebih dekat lagi.
"Kamu aja makan!" jawab Melati dengan sewot. Entah kenapa, akhir-akhir ini Melati menjadi seperti itu, apa karena lukanya yang dia pendam sendiri?
"Nanti si mbok ke kantor polisi, buat laporan, dan soal makanan, kebetulan di dapur hanya ada ini, Non," sahut si mbok, dia mecoba sabar menghadapi sikap si sulungnya.
Tak terasa, air mata Melati menetes, dadanya sesak. "Aku masih remaja, kenapa harus dihadapkan dengan kenyataan pahit seperti ini?" gumamnya.
"Aku juga ingin seperti anak-anak lain, diurus sama orang tua, jadi aku tinggal fokus belajar, bukan ngurus semuanya kaya gini, kalau kaya gini terus yang ada aku cepet gila!" ucap Melati, dia pun pergi meninggalkan ruang makan, selera makannya sudah hilang entah kemana.
"Mbok, mungkin Mbak Melati mau makan mi, biar Muning masakin mie ya," kata Kemuning yang kemudian turun dari kursi.
"Non lupa, ya? Semua sudah terbakar kemarin, ini aja telur sisa." tutur si mbok.
Kemuning kembali duduk, dia makan dengan lahap nasi dan telur itu. Setelahnya segera mengejar Melati yang berjalan sudah cukup jauh.
Kemuning yang masih begitu polos dan belum mengerti apa-apa itu mencoba menghibur sang kakak, namun bukannya terhibur tapi Melati semakin sedih.
Bagaimana mungkin tidak sedih kalau Kemuning menjadikan kekurangan mereka sebagai bahan lelucon. "Kita itu lucu ya, Mbak. Jalan kaki dengan kaki yang sama-sama pincang."
"Kalau kamu pasti nanti sembuh, kalau kaki mbak ya seterusnya begini," jawab Melati, hatinya kembali teriris.
"Kenapa aku nggak bisa seceria kamu, Ning?" tanya Melati dalam hati.
Melati pun mengusap pucuk kepala sang adik, lalu Melati yang tidak mendengar adiknya menyebut nama si mas lagi membuatnya penasaran.
"Muning," panggilnya dan yang dipanggil pun menoleh.
"Si Mas kamu itu nggak ikut sekolah?"
"Enggak, dari kemarin Muning nggak lihat lagi," jawab Kemuning seraya menggeleng pelan.
"Memangnya, dia siapanya kita, kenapa kamu panggil dia si mas?"
"Mbak nggak tau? Dia itu kakak kita, anak pertama Bapak," jawab Kemuning dengan begitu santainya?
"Anak pertama? Si mas yang nggak terlihat itu udah pasti setan, dan itu anak pertama bapak? Apa ini teka-teki baru?" tanya Melati dalam hati.
Tanpa terasa sekarang mereka semua sudah sampai ke sekolah masing-masing, Melati melihat kalau pintu pagar itu sudah hampir tertutup dan dia pun mempercepat langkahnya.
Sesampainya di sana, Melati menjadi bahan tontonan, biasanya turun dari mobil dan sekarang berjalan sampai ke sekolah.
Melati mencoba mengabaikan tatapan-tatapan itu, dia yang melihat Arini dan Ratih itu pun menghampirinya. "Hai," sapa Melati dan mereka berdua tersenyum tipis.
"Aku duluan, ya!" kata Arini yang kemudian pergi meninggalkan Ratih dan Melati.
"Dia kenapa? Apa masih sedih karena bapaknya meninggal?" tanya Melati dan Ratih terdiam, dia tak mampu menjawab kalau sebenarnya Arini menjauh karena takut pada Melati dan keluarganya.
"Kenapa? Kalian sembunyiin rahasia dari aku?" tanya Melati seraya berjalan menuju ke kelasnya dan Ratih mulai mengikutinya dengan ragu.
"Bukan begitu, tapi... " Ratih menggantung ujung kalimatnya, dia merasa tidak tega untuk berterus terang, tapi juga tak mampu berbohong.
Kini satu persatu mulai menjauh, harta dan teman baiknya, apakah Melati dan Kemuning akan terus bisa berdiri kokoh, mengarungi hari-hari seperti biasa, walau kini hati mereka merasa mati?