Kalian pernah nggak sih suka sama sahabat kalian? Yah kali ini aku sadar kalau aku suka sama sahabat dari kecil ku. Dari umur 3 tahun hingga sekarang aku umur 23 tahun baru sadar kalau aku suka bahkan cinta sama dia. Namun bagaimana mungkin aku menyatakan perasaan ini? Kami itu sahabatan. Bagaimana aku menaruh hati dengannya/ bahkan dia juga sudah punya pacar. Pacar yang selalu dia bangga-banggakan. Aku bingung bagaimana harus mengungkapkannya!
Hai namaku Dion! Umur ku saat ini 23 tahun, aku baru saja lulus kuliah. Aku suka banget dengan kedisiplinan namun aku mendapatkan sahabat yang selalu lalai terhadap waktu dan bahkan tugasnya. Bagaimana cerita kami? Lest go
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 16
EPISODE 16
Reta menangis terisak-isak, bukan karena kesedihan, melainkan karena haru yang tak terkira. Bagaimana mungkin impiannya bisa terwujud semudah itu? Sebuah kebahagiaan yang meluap-luap membuncah di dadanya, saking bahagianya, dia tak mampu lagi mengontrol emosinya yang bergejolak, hingga mengakibatkan hidungnya yang mancung itu mengeluarkan cairan berwarna merah pekat. Panik sekaligus malu, Reta segera meraih tisu yang sudah mulai menipis dari dalam genggamannya dan menyeka cairan yang mengalir dari hidungnya. Dion, dengan sigap dan kelembutan yang tak terduga, mendekat dan membantu Reta membersihkan hidungnya dengan sangat hati-hati, seolah Reta adalah benda paling rapuh yang harus dilindungi.
“Terima kasih, ya, Dion,” ujar Reta tersipu malu, mengangkat wajahnya untuk menatap mata Dion. Sebuah rona merah tipis menjalar di pipinya. Dion hanya membalas dengan senyuman tipis dan menatap Reta dengan begitu dalam, tatapan yang seolah mampu menembus relung jiwanya. Ada kehangatan dan ketulusan di sana, sesuatu yang Reta rasakan, namun belum sepenuhnya ia pahami.
“Nona, ini obatnya diminum, Nona,” ujar pengasuh Reta dengan nada lembut dan penuh perhatian, menyodorkan beberapa butir pil di telapak tangannya. Reta menatap obat yang ada di tangan pengasuhnya itu dengan ekspresi kesal yang kentara. Sudah jelas gadis ini sudah bosan setengah mati melihat dan mengonsumsi obat-obatan yang bertumpuk setiap hari. Entah itu pil, kapsul, atau sirup, semuanya terasa pahit dan membosankan.
Dion yang melihat Reta enggan mengambil obatnya dari pengasuhnya itu, dengan inisiatif yang cepat, mengambil alih obat-obatan tersebut dari tangan sang pengasuh.
“Biar saya saja yang memberikannya, Bi,” ujar Dion kepada pengasuh Reta, sebuah isyarat bahwa ia ingin menangani situasi ini sendiri. Dion pun mengambil obat itu dan menyodorkannya kepada Reta, namun Reta menggelengkan kepala, menolak dengan tegas.
“Aku bosan sekali dengan obat-obatan, Dion. Bisakah, ya, sekali ini saja aku tidak memakan obat ini?” ujar Reta kepada Dion dengan nada memohon, matanya dipenuhi kejenuhan dan keputusasaan. Terlihat jelas gadis ini benar-benar sudah sangat muak dengan rutinitas minum obat yang tak ada habisnya. Wajahnya menunjukkan kelelahan yang luar biasa.
Dion tersenyum lembut, sebuah ide terlintas di benaknya. Dengan suara yang lebih halus dari biasanya, ia berkata, “Jangan dong, Sayang. Kamu wajib meminum ini. Anggap saja ini sebuah cokelat dariku.” Ia tahu Reta menyukai cokelat, dan ia berharap perumpamaan itu bisa meluluhkan kekeraskepalaan Reta.
“Ternyata kamu bisa romantis juga, ya,” ujar Reta terkesiap, lalu tersenyum manis sembari akhirnya mengambil dan minum obatnya dengan cepat. Seperti sihir, seketika suasana hatinya berubah menjadi lebih baik, rona kebahagiaan kembali ke wajahnya. Dion yang melihat perubahan mood Reta ikut merasakan kebahagiaan yang menular, senyumnya pun semakin lebar.
“Memangnya sebelumnya kamu berpikir aku itu tidak bisa romantis?” tanya Dion, sedikit menggoda. Ia merasa senang melihat Reta kembali ceria.
“Ih, biar kamu tahu, ya, semua siswi di sekolah sangat suka padamu, tetapi semua yang suka itu takut padamu, makanya tidak ada yang berani mendekatimu!” ujarnya sangat bawel, menimpali dengan semangat. Dion melihat kebawelan Reta yang menggemaskan itu justru semakin tersenyum lebar. Satu kata untuknya dalam benak Dion: "LUCU." Kelucuan Reta adalah kejutan yang menyenangkan baginya, sebuah sisi yang belum banyak dilihat orang.
“Mengapa kamu malah tersenyum, sih? Kamu senang, ya, dijuluki Dion galak?” ujar Reta menebak, alisnya terangkat. Dion semakin tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, menolak tudingan itu.
“Sebenarnya aku tidak peduli mau dijuluki apa. Dan yang membuatku tersenyum itu karena kamu terlalu bawel, dan aku baru menyadari ternyata kamu sangat menggemaskan,” ujar Dion sambil mencubit pipi Reta dengan gemas. Pipi Reta semakin merah merona, kini bukan lagi seperti kepiting rebus, melainkan tomat yang sangat matang, siap dipetik. Rasa malu dan senang bercampur aduk di wajahnya.
“Dion, hentikan! Stop membuat aku malu!” ujar Reta menutup wajahnya yang semakin memerah dengan kedua tangannya. Dion tersenyum lebar menatap Reta, menikmati reaksi gadis itu.
“Sepertinya aku sudah harus pulang, Sayang. Aku pulang dulu, ya,” ujar Dion yang menyadari waktu semakin larut. Dia tidak ingin mamanya bertanya darimana saja dia, dia malas untuk menjelaskan hal ini, apalagi ini adalah pengalaman pertamanya. Sedangkan wajah Reta terlihat langsung murung, seketika rona cerianya lenyap digantikan kesedihan. Kelihatannya dia tidak ikhlas Dion pergi meninggalkannya. Namun, bagaimanapun, dia harus merelakannya.
“Mengapa denganmu waktu terasa cepat, ya? Ya sudah, kamu hati-hati, ya, Dion,” ujar Reta, memberikan izin kepada pria itu untuk kembali. Pria itu tersenyum dan mengacak-acak rambutnya dengan gemas.
“Ih, Dion, kamu ternyata menyebalkan, ya!” ujar Reta, namun sebuah senyum tulus merekah di bibirnya melihat tingkah Dion. Menyebalkan dalam artian yang manis.
“Ya sudah, aku kembali dulu. Ngomong-ngomong, jangan panggil nama lagi, panggil aku dengan kata ‘Sayang’, oke?” ujar pria itu sembari menarik hidung gadis itu perlahan. Rasanya Reta ingin sekali melompat-lompat di atas kasur karena terlalu bahagia, ingin merayakan momen itu dengan kebebasan yang tak terhingga. Namun, tubuhnya sudah sangat lemah untuk berdiri saja ia harus memerlukan tenaga dan motivasi yang sangat besar. Sedangkan Dion sudah pergi pulang menuju rumahnya, meninggalkan Reta dengan hati yang berbunga-bunga.
Di sepanjang perjalanan pulang, entahlah apa yang dipikirkan Dion saat ini. Dia baru pertama kali pacaran, tetapi dia sangat cepat memposisikan dirinya, seolah nalurinya membimbingnya dalam setiap langkah romantis itu. Yang sebenarnya dia bingungkan adalah, bagaimana harus menjelaskan hal ini kepada Voni. Apa pendapat Voni akan hal ini, ya? Pertanyaan itu berputar-putar di benaknya, menggerogoti ketenangan yang baru saja ia rasakan. Hubungannya dengan Voni jauh lebih rumit, lebih dalam, lebih lama. Voni adalah sahabatnya sejak kecil, orang yang selalu bersamanya, bahkan dalam rencana-rencana konyol seperti menyontek ujian.
Dion mengenal Voni luar dalam, segala sifat malasnya, kebiasaan lucunya, hingga bagaimana ia melindungi Voni dari hal-hal yang tidak baik. Ia adalah "orang waras" di tengah kegilaan Voni. Bagaimana Voni akan menerima kenyataan bahwa sahabatnya, orang yang selalu ia anggap sebagai "abang terbaik," kini memiliki perasaan romantis pada orang lain? Apakah Voni akan kecewa? Apakah persahabatan mereka akan berubah? Kekhawatiran itu perlahan menumpuk, mengalahkan euforia kencan pertamanya. Sebuah dilema besar menanti di depan, dan Dion tahu, ia harus menghadapinya dengan hati-hati.