Seorang Punggawa mengharapkan sebuah arti kehidupan rakyanya yang penuh dengan kemakmuran. Banyak bahaya dan intrik di sana.
Simak ceritanya......Petuah Tanah Leluhur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Artisapic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB XV KERETA PANJI KENCANA
Sigra ing mangsa nira, weweton jalma ingkang adi ning jaya, darma ing loka nira, kabanjur maring trahta ing ampa, luhur budi luhur ing jiwa, kersaning ati sumibyar ing tresna, wanci ing beucik wanci nira, dunya ingkang ngudag sukma nira, tunduk maring ilmu adi, ing jaya nira kang luwih, samiya abyor ing rasa lan raksa, mripat ing netra nira, pangucap ingkang dumadi, lampah beucik ing laku nira, kairing darma ing pasrah, sigra mulih ing jasad ira, maujud ing jalma linuwih.
Pada saat mereka sedang tertawa, dikagetkan dengan suara kaki kuda berhenti, dan dari kereta muncul seorang laki-laki bersorban. Melihat siapa yang datang, Nyi Kalis segera menghampirinya dan sungkem dengan lelaki itu, diikuti oleh Anggapala dan yang lainnya. Lalu lelaki itu duduk di kursi yang ada di sudut pendopo. Kemudian Nyi Kalis menjelaskan bahwa lelaki itu adalah kakaknya sendiri , waktu terjadi pengungsian dari daerahnya.
" Sedulur semuanya, beliau ini kakak saya, beliau bernama Samburaga atau lebih dikenal dengan nama Ki Soleh. Saya harap kehadiran beliau ini tidak membawa ketidakenakan kalian, bukan begitu kakang," kata Nyi Kalis.
" Betul sedulur, kami bertiga merupakan saudara, yaitu saya Samburaga, Bengkalis lalu adiknya Tejasuma, namun Tejasuma belum sempat ketemu, entah dimana dan kapan, hanya Yang Maha Kuasa yang nanti menentukan," jelas Ki Soleh.
" Maaf Ki, memang semua itu berjalan sesuai Yang Maha Kuasa, tapi alangkah baiknya kita cari," kata Pandanala.
" Iya, kita berpisah kurang lebih tiga tahun, tapi sudah mencari kesana kemari, tapi tidak ketemu juga ki sanak," kata Ki Soleh.
" Apa sudah ganti nama atau berada di tempat lain, itu bisa jadi membuat kita kesulitan mencarinya," kata Pandanala.
" Itupun bisa saja, tapi saya yakin suatu saat akan ketemu dan akan sukses seperti Bengkalis atau Kalis ini," kata ki Soleh sambil mengambil secangkir teh manis, lalu melanjutkan, " Saya mohon bantuan dari sedulur kita ini, manakala bertemu dengan orang atau nama itu, segera memberitahu saya atau Kalis," katanya.
Setelah memperkenalkan diri kepada para warga yang ada di pendopo, lalu Ki Soleh berpamitan untuk kembali ke tempatnya tinggal. Sementara di pendopo Cikeusik, masih terlihat banyak orang yang betah enggan pulang. Malam jelang pagi saat itu, beberapa kerani dan juga Pandanala, ki Sawerga, juga para kerabat, satu per satu akhirnya pulang. Hanya beberapa orang petugas keamanan saja yang masih di situ.
Matahari mulai menampakan diri dari ufuk Timur, sinarnya menerangi seluruh alam membuat suasana menjadi terang, aktifitas kembali berjalan tak kenal lelah untuk mengais sebuah harapan dengan penuh kebahagiaan. Banyak warga yang mencari nafkah halal, mereka begitu tekun dan giat dalam berusaha. Saat itu kehidupan masih penuh manfaat yang setiap orang berusaha untuk berbuat yang kurang baik.
Di sebuah jalan menuju ke sawah, tampak Ki Werga dan Mandaga sedang berbincang-bincang di sebuah warung kopi. Tak lupa sambil menghisap kawung, keduanya saling bicara.
" Ki, semalam ki Soleh itu berpakaian tidak seperti kita, tampaknya mengikuti ajaran orang lain," kata Mandaga.
"Iya, tapi siapapun kita harus menghargainya , apalagi beliau begitu santun, itu menandakan bahwa adanya kemulyaan pada diri kj Soleh," jawab Mandaga.
Sedang asyiknya berbincang, tiba-tiba muncul Panunggul sambil membawa rumput, lalu ia menghormat membungkukan badan.
" Maaf Ki, permisi,"katanya.
" Hmmm....rupanya banyak juga rumput kau dapat Panunggul," kata Mandaga.
" Benar Ki, saya mengambilnya di sawah di pinggir alas Kodra Ki," kata Panunggul.
" Apa ? , di tepi alas kodra ?" tanya ki Werga sambil terperanjat.
" Iya Ki, bahkan saya menemukan ini," jawabnya sambil menunjukan benda seperti kain berwarna hijau dan kuning.
" Apa itu ?" kata Mandaga, kemudian ia membuka kain itu dan berkatalah , " ini panji kencana Ki," katanya.
" Panji Kencana ?!" gumam Panunggul sambil mengamati benda itu dengan seksama.
" Rupanya kamu mengetahui benda itu sudah tidak asing lagi Mandaga ?" tanya ki Werga.
" Betul Ki, itu kan waktu kita berada di alas kodra, saat itu ada sesuatu yang melayang dan mungkin itu bendanya," jelas Mandaga.
" Sebetulnya benda itu apa Ki, lalu buat apa ?" tanya Panunggul.
" Ini lambang dari sebuah perkumpulan , dan apabila melihat benda ini, maka siapapun itu harus tunduk, dan ini lambang kekuasaan," kata Mandaga.
Kemudian benda itu ternyata Panji Kencana dilipat kembali dan dibawa oleh Mandaga menuju ke pendopo. Mereka akhirnya bertiga berjalan dan rumput tadi dibawa Mandaga, sementara ki Sawerga dan Panunggul mengikuti dar belakang.
" Hati-hati jalannya Ki, jangan buru-buru , takut ada yang mengawasi kita, siapa tahu para pendatang baru itu memata-matai pedukuhan kita," seloroh Mandaga.
" Iya.....semoga saja aman menuju ke pendopo," kata ki Werga.
Beberapa saat kemudian, sampailah mereka ke pendopo dan segera Panunggul membawa rumput itu untuk kambing-kambing di belakang pedukuhan.
" Samurasun, kulonuwun ,Nyi...." spa Mandaga begitu berada di pendopo.
" Monggo Ki," sahut seseorang dari dalam kamar.
Lalu keiuarlah Nyi Kalis sambil menanyakan benda yang dibawa Mandaga.
" Itu apa Ki ?" tanya Nyi Kalis.
" Ini Panji Kencana Nyi, lambang perkumpulan dan lambang kekuasaan, ini ditemukan oleh Panunggul waktu mencari rumput di tepi alas kodra Nyi," jelas Mandaga.
Nyi Kalis lalu merasa kaget dan matanya terbelalak mendengar penjelasan dari Mandaga, apalagi waktu tempat itu disebutkan.
" Di tepi alas kodra ?" tanyanya sambil membenarkan sanggulnya.
" Betul Nyi, katanya begitu," jelas Mandaga.
" Berani benar anak itu, apa dia tidak paham keangkeran alas itu paman ?" tanya Nyi Kalis , merasa kagum juga sama keberaniannya.
Mandaga menjelaskan apa itu Panji Kencana dan siapa yang memiliki benda itu, membuat Nyi Kalis merasa bangga bahwa dengan Panji itu nanti akan mampu memperluas daerah pedukuhan Cikeusik.
Dalam diri Nyi Kalis berharap bahwa dirinya akan menjadi seorang pemimpin yang mampu membuat suatu keberhasilan, dengan demikian maka dirinya bisa melanjutkan kekuasaan leluhurnya dulu waktu berjaya. Sementara itu, Anggapala baru saja kembali dari urusan warga. Beliau pun menyimak penjelasan Mandaga dan Ki Sawerga . Sedang membicarakan itu muncullah ki Luwih dan ki Demek membawa sebuah bungkusan. Dan setelah dibuka bungkusan itu, mata mereka semua terbelalak, ternyata di dalam bungkusan itu juga terlihat sebuah kain yang sama dengan yang ada di tangan Mandaga.
" Apa ! .....tidak mungkin ada dua , ini tidak mungkin" , kata Mandaga.
Lalu mereka mengamati kedua benda itu dengan teliti dan penub keseriusan. Tiba-tiba.....
" Ini yang membedakan Ki ", kata Mandaga sambil menunjukan ciri benda itu.
" Kalau begitu ada orang yang sengaja ingin membuat onar, kita harus tahu itu Ki," kata Anggapala.
" Nanti malam kita akan cari , siapa dalang dari semua ini," kata Mandaga.
" Baik Ki, kita kumpulkan semua santri Pandanala , dan juga warga yang memiliki kanuragan, kita akan hancurkan mereka ki !?" geram Anggapala sambil mengepalkan tangannya.
Tiba-tiba.......
" Wuuuuuusssssshhhh,"
" Kilat Samber Nyawa ", gumam Anggapala.