Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?
padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.
Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?
ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Koreng Sugriwa
Matahari mulai merangkak naik di langit saat Shantand memasuki kampung halamannya. Dengan menaiki kudanya yang gagah, ia terlihat lebih berwibawa dibanding sebelumnya. Penduduk kampung yang tengah beraktivitas mulai menyadari kehadirannya.
"Lho, itu Shantand pulang!" seru seorang ibu sambil meletakkan keranjang dagangannya.
"Wah, makin gagah saja kau sekarang, Nak!" tambah Pak Trekos yang kebetulan sedang berjalan-jalan di sekitar lapangan desa.
Anak-anak kecil berlarian mendekatinya, matanya berbinar-binar penuh kekaguman. "Kak Shantand, Kak Shantand! Tahu yang kemarin enak banget! Ada lagi nggak?" tanya seorang bocah dengan pipi penuh sisa makanan.
Shantand terkekeh, lalu mengeluarkan beberapa potong tahu goreng dari kantongnya dan membagikannya kepada anak-anak. "Tentu ada! Tapi kalian harus berbagi, ya!"
Di depan rumah, Bu De Patmi sudah menunggunya dengan wajah penuh kepuasan. Ia menyambut Shantand dengan tangan berkacak pinggang. "Hooo, akhirnya pulang juga, toh? Lihat ini, jualan tahu kita makin laris! Orang-orang mulai memesan dalam jumlah banyak!"
Shantand melompat turun dari kudanya dan tersenyum lebar. "Itu semua berkat Bu De Patmi! Kalau tidak ada Bu De, aku pasti kewalahan."
Wanita paruh baya itu hanya terkekeh, lalu menepuk pundak Shantand. "Halah, jangan terlalu banyak memuji! Yang penting sekarang, kita harus pikirkan bagaimana caranya agar usaha ini terus berkembang. Kalau bisa, kita buka cabang di pasar kota!"
Shantand mengangguk setuju. Ia menyadari bahwa bisnisnya kini bukan sekadar usaha kecil-kecilan. Ini adalah langkah awal menuju sesuatu yang lebih besar. Namun, di balik suasana hangat itu, pikirannya masih melayang ke satu hal—kesepakatan dengan Suku Lambe Dower.
Tak lama, dari kejauhan, terdengar suara sorak-sorai dari pasar desa. Beberapa orang tampak berlari ke arah mereka dengan wajah penuh semangat.
"Shantand! Ada yang mencarimu di pasar! Orang asing, katanya penting!"
Shantand mengangkat alis. "Orang asing? Siapa?"
Tak ada yang bisa menjawab pasti. Tapi satu hal yang jelas, ketenangan di kampung ini mungkin tak akan bertahan lama.
Tak lama, derap kuda terdengar mendekati kampung. Beberapa warga menoleh dengan waspada. Dari pakaian mereka, tampak jelas bahwa rombongan ini bukan dari sekitar sini. Mereka berpakaian tebal dengan jubah khas para bangsawan asing.
Pak Gusiyono, seorang pedagang lintas negeri yang kerap berpesiar, berada di depan rombongan. Dia turun dari kudanya dan melambaikan tangan ke arah Shantand.
Pak Gusiyono: "Halo, Shantand! Dagangan tahu semakin laris saja!"
Shantand mengernyitkan dahi, lalu tersenyum. "Ah, Pak Gusiyono! Dari mana saja? Lama tak pulang!"
Pak Gusiyono menepuk pundaknya, lalu menoleh ke pria tinggi di sampingnya.
Pak Gusiyono: "Perkenalkan, ini Tuan Teles Klebes dari Kerajaan Yunani. Dia seorang saudagar besar dan tertarik untuk berdagang tahu denganmu."
Pria bernama Klebes itu turun dari kudanya. Matanya biru terang, rambutnya ikal kecoklatan, dan kulitnya putih bersih. Senyumnya tipis dan terkesan misterius.
Teles Klebes: "Shantand... nama yang unik," ucapnya dalam bahasa yang agak terbata-bata.
Shantand mengangguk sopan. "Senang bertemu dengan Anda, Tuan Klebes."
Pak Gusiyono: "Dia ingin mencicipi tahu milikmu dan mungkin akan dibawa ke negerinya,aku yakin kalo dia sudah merasakan tahu buatanmu,dia ingin mengajak kerja sama."
Shantand melirik ke arah kudanya, lalu mengangguk. "Baiklah, mari kita bicarakan di dalam rumah. Saya akan siapkan tahu terbaik untuk kalian."
Di dalam rumah, Pak Dipa dan istrinya tergopoh-gopoh menyambut tamu asing yang baru pertama kali mereka lihat. Wajah mereka sedikit tegang, namun tetap berusaha ramah.
Shantand memperhatikan bagaimana mata Tuan Klebes berkilat aneh saat melihat ibunya. Perempuan itu masih tampak cantik meski usia telah menua. Tatapan pria Yunani itu tak lepas dari sosoknya, sesuatu yang membuat Shantand sedikit waspada.
Setelah beberapa basa-basi melalui Pak Gusiyono sebagai penerjemah, akhirnya Tuan Klebes menyampaikan maksud kedatangannya.
Pak Gusiyono: "Tuan Klebes tertarik untuk bekerja sama dalam bisnis tahu denganmu, Shantand. Dia ingin membawanya ke negerinya dan melihat bagaimana prospek usaha ini di sana."
Shantand tersenyum tipis, tetapi tidak langsung mengiyakan. Dengan nada tenang, dia menjawab,
Shantand: "Tentu ini tawaran menarik, tetapi saya ingin bermusyawarah dengan keluarga terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan."
Tuan Klebes mengangguk perlahan. Namun, sorot matanya kembali mencuri pandang ke arah ibu Shantand, sesuatu yang tidak luput dari pengamatan tuan rumah.
Setelah beberapa saat, akhirnya rombongan itu berpamitan. Shantand mengantar mereka sampai ke luar rumah, matanya tetap awas. Ada sesuatu dari Tuan Klebes yang membuatnya merasa tidak nyaman.
Shantand mengernyitkan dahi.
Shantand: "Pak, kenapa Pak Lurah Samunthu tidak ikut menyambut tamu asing tadi?"
Pak Dipa yang sedang duduk di dipan sambil menyeruput wedang jahe hanya menjawab sambil lalu.
Pak Dipa: "Oh, sudah beberapa hari ini Pak Lurah sakit. Ada yang bilang sakitnya aneh..."
Shantand langsung menoleh. "Aneh?"
Pak Dipa mendekat dan berbisik, "Penyakitnya aneh, Nak. Dari pagi sampai sore dia tidak bisa kentut. Tapi kalau malam, kentutnya tidak berhenti sampai pagi. Kasihan, sudah banyak tabib dipanggil, tapi belum ada yang bisa menyembuhkan."
Shantand terdiam, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Penyakit apaan itu..." gumamnya dalam hati.
Tiba-tiba, suara tawa kecil menggema di dalam kepalanya. Bhaskara.
Bhaskara: "Hahaha! Muridku, kamu tidak tertarik menjenguknya?"
Shantand mendelik, lalu mendengus pelan. Barulah dia teringat sesuatu. Kata-kata gurunya di hutan waktu itu...
"Jangan... Jangan."
Wajahnya langsung berubah serius. Ada sesuatu yang tidak beres.
-----
Di Rumah Lurah Samunthu
Setelah semua orang keluar dari ruangan, suasana mendadak sunyi. Cahaya dari jendela menyinari wajah pucat Pak Lurah Samunthu, yang masih terbaring dengan perut membuncit. Napasnya berat, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Bu Lurah menyambut Shantand dengan tergesa-gesa, dia belum tahu apa maksud kedatangan Putra Pak Dipa ini.
Ketika Shantand menyampaikan maksud kedatangannya, Bu Lurah yang sudah putus asa dengan penyakit suaminya, menyambut dengan gembira. Siapapun baginya tidak masalah asal suaminya bisa sembuh seperti sedia kala.
Shantand melangkah mendekat, lalu duduk di sisi dipan. Dengan suara tenang tapi tegas, ia berkata, "Maaf, Pak Lurah. Penyakit Anda sebenarnya bisa disembuhkan... tapi ada syaratnya. Anda harus jujur tentang beberapa hal. Apakah Anda mengerti?"
Pak Lurah menelan ludah. "Ya... Saya pasrah, Nak Shantand. Apa yang harus kuceritakan?"
Shantand menatap tajam. "Kenapa Bapak mencuri sesuatu yang bukan milik Bapak? Dan berusaha mempelajari ilmu tanpa izin dari pemiliknya?"
Mata Pak Lurah langsung membelalak. Wajahnya yang sudah pucat semakin memutih, dan tubuhnya sedikit gemetar.
Di saat yang sama, terdengar suara gesekan halus di atas atap.
Shantand melirik ke atas—dan di sana, sang tokek buntung sedang melotot ke arah Pak Lurah!
"Sialan..." bisik tokek itu dengan suara serak.
Bhaskara, dari dalam labu, tertawa kecil. "Waktunya kita buat semua lebih jelas."
Shantand cepat tanggal lalu membuka tutup labu dengan perlahan.
"Sruut... Plok!!"
Serangkum angin kecil keluar, menabrak tubuh tokek yang langsung terjatuh dari atap! Makhluk itu menghantam lantai dengan bunyi gedebuk keras, tubuhnya kaku, tak bisa bergerak!
Shantand berdiri, mengambil tokek itu dengan satu tangan, lalu meletakkannya tepat di depan Pak Lurah yang kini makin panik.
Pak Lurah menatap tokek itu dengan mata penuh kecemasan. Nafasnya semakin berat.
"Apa maksud kalian sebenarnya?! Kenapa kalian ke sini?!" serunya dengan suara serak.
Shantand menyilangkan tangan. "Mari kita berterus terang, Pak Lurah. Kenapa Bapak mencuri sobekan kitab saya dan berusaha mempelajarinya?"
Pak Lurah membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar.
Shantand melanjutkan dengan nada lebih dalam. "Penyakit Anda bukan karena kutukan biasa, Pak Lurah. Ini terjadi karena Anda mencoba mempelajari ilmu tanpa petunjuk Guru. Dan sekarang... tubuh Anda menanggung akibatnya."
Ruangan terasa semakin mencekam.
Pak Lurah gemetar. Peluhnya semakin deras. Kini, tak ada lagi jalan untuk mengelak.
Shantand menatap tajam tokek yang masih tergeletak di lantai, matanya menyipit. "Aku yakin... Tokek ini adalah Gurumu, bukan?"
Pak Lurah masih diam, tapi sorot matanya tak bisa berbohong. Tubuhnya makin gemetar, keringat dingin makin deras membasahi wajahnya yang pucat.
Shantand mengangguk. "Bagus. Aku juga punya guru yang bisa berbicara dengan Tokek seperti ini."
Tokek itu tampak berusaha menggeliat, tapi tak bisa bergerak. Matanya melotot ke arah Shantand, seolah hendak memakan pemuda itu hidup-hidup.
"Baiklah, Pak Lurah," lanjut Shantand, "tunjukkan sobekan kitab itu. dan Aku akan menunjukkan kesalahanmu."
Pak Lurah semakin gelisah. Matanya melirik ke Tokek buntung itu, seakan mencari jawaban.
"Maaf... sudah kujual..." jawabnya dengan suara lemah.
Namun, sebelum ada yang sempat bereaksi—
Swiit!
Dengan kecepatan luar biasa, lidah tokek itu menjulur dan menotok saraf gagu Pak Lurah dengan tepat!
Pak Lurah tersentak. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar.
"Ah... uh... ahh!"
Matanya membelalak, panik, tangannya meraba-raba tenggorokannya.
Shantand mendengus. "Licik."
Bhaskara tertawa kecil dari dalam labu. "Muridku, uratnya ada di leher bagian kanan. Kau tahu apa yang harus dilakukan."
Tanpa ragu, Shantand meraba tenggorokan Pak Lurah dan menekan beberapa titik dengan jari-jarinya.
Pluk...
Pak Lurah tersentak. Napasnya tertahan sebentar, lalu—
"Haaah!"
Ia bisa berbicara lagi, meski kini suaranya penuh ketakutan.
Tapi Shantand tidak berhenti di situ.
Dengan gerakan cepat, ia mengangkat tokek buntung itu dengan satu tangan—
BLUK!!
Shantand membanting tokek itu ke lantai dengan keras!
"Ngekk!!"
Suara tokek itu terdengar menyakitkan, tubuhnya menggeliat lemah.
Shantand menatapnya dengan dingin.
"Masih mau macam-macam?"
Lalu, dengan gerakan santai tapi penuh tekanan, ia mengangkat kakinya dan menekan leher tokek itu dengan sandal yang dikenakannya.
Sang tokek langsung membeku!
Bhaskara berbisik dari dalam labu, suaranya rendah tapi menggetarkan.
"Koreng Sugriwa... kau pikir aku sudah lupa padamu?"
Mata tokek itu langsung membelalak ketakutan.
Shantand tersenyum dingin. "Ah, jadi namamu Koreng Sugriwa, ya?"
Tokek itu tidak menjawab, tubuhnya semakin kaku.
Bhaskara tertawa pelan. "Muridku, kau tahu siapa dia? Koreng Sugriwa ini dulunya adalah bajak laut yang sadis. Ia pernah merampok dan membantai tanpa ampun. Dan aku... sudah menghajarnya berkali-kali!"
Shantand menekan sandal di leher tokek itu sedikit lebih keras.
Tokek itu bergetar hebat!
Kini, ia tidak hanya takut pada Shantand... tapi juga pada suara yang paling ditakutinya.
Bhaskara!
Ruangan itu terasa semakin mencekam.
Pak Lurah menelan ludah, tubuhnya makin kaku. Kini, tak ada lagi jalan untuk berbohong.
Shantand menekan leher tokek Koreng Sugriwa dengan sandal kayunya. Suara renyah gesekan kayu dan sisik reptil terdengar jelas di ruangan yang sunyi.
"Kau pikir bisa bersembunyi dari Bhaskara seumur hidup?" Suara Shantand terdengar dingin, penuh tekanan.
Tokek itu menggeliat, matanya yang melotot makin besar, seakan hendak memohon ampun.
"Shantand…" Bhaskara bersuara santai, tapi dalamnya seperti guntur di kejauhan. "Buka labu itu sekali lagi."
Shantand menuruti. Tutup labu dibuka sedikit.
Sruuttt!
Asap tipis keluar, menari di udara seperti sosok tak kasat mata. Koreng Sugriwa seketika meronta, tubuhnya bergetar hebat.
Pak Lurah yang masih terduduk di sudut ruangan tiba-tiba berteriak, "Tunggu! Aku akan bicara!!"
Shantand tetap diam, menekan sandal sedikit lebih kuat.
"Sobekan kitab itu… Aku menjualnya kepada seseorang!" Pak Lurah menelan ludah.
"Siapa?!" Suara Shantand tajam.
"Dupak Jaya… Pemilik Perguruan Silat Harimau Terbang!"
Shantand dan Bhaskara saling mengerti.
Bhaskara tertawa kecil, "Heh… Dupak Jaya? Jadi dia yang membelinya? Ini jadi semakin menarik!"
Shantand menghela napas panjang. "Tuan Lurah, kau berhutang banyak. Tapi aku bukan algojo. Aku akan menyembuhkanmu, tapi setelah itu, kau harus bersiap menghadapi konsekuensi."
Tangannya bergerak cepat, dua jari mengetuk titik akupuntur di dada dan punggung Pak Lurah.
"Huuakhh—!!"
Pak Lurah tiba-tiba membungkuk ke depan dan… Kentut keras berkali-kali!
Duar! Fuh! Bruttt! preet..!!
Suara memalukan itu menggema di ruangan yang hening.
Aroma semerbak memenuhi ruangan, dan Shantand sudah bersiap dengan menutup hidungnya dan tersenyum masam.
Koreng Sugriwa, si Tokek bajak laut, menoleh pelan ke arah Pak Lurah… lalu terkekeh lemah.
tapi bau itu membuatnya pusing dan
Hoeek! si Tokek muntah
"Hihihihi… Dasar bodoh, kau tidak berbakat sejak dulu…!"
Shantand mendengus dan menjewer kepala tokek itu.dan tukk.. pukulan di bagian kepala mengakhiri pembicaraan tokek utk selamanya!
"Dan kau… Bajak laut atau bukan, hari ini kau hanya seekor tokek gagu."
Bhaskara tertawa puas. Ternyata sekarang terungkap siapa dalang yang menyebarkan Berita tentang Sobekan Kitab itu.
Tokek Koreng Sugriwa!!
Di luar, matahari mulai condong ke barat. Namun, petualangan Shantand baru saja dimulai.