Sundirah, adalah anak seorang pekerja upah harian, sebagai pemetik kelapa. Perjalanan cinta Sundirah dengan Mahendra, putra semata wayang juragan kopra adalah sebuah ujian yang tidak mudah ia lalui.
kehilangan kedua orang tua sekaligus bukan fakta yang mudah di terima.
Atmosiman, yang semula sebagai sosok penyayang, melindungi dan penuh kewibawaan. Hanya karena tergiur oleh sebuah kehormatan, Dia lupa akan tujuan utama didalam kehidupannya.
Lurah Djaelani, bersama kamituwo. Sebagai pamong yang seharusnya menjadi teladan pada masyarakat.
Lupa kewajiban sebagai kepala desa, dan lebih memburu harta, berjudi sabung ayam dan menjodohkan anak gadisnya, yang semata-mata untuk menguasai harta sang juragan.
Mampukah Sundirah menghadapi semua cobaan dalam kisah cinta dia, nyawa orang tua nya sebagai taruhan atas nama cinta.
Duri yang paling mematikan disini adalah sosok seorang kamituwo. akan kah ambisi mereka berhasil membawa keberkahan?
Ikuti sebagian dari kisah yang nyata seorang Sundirah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima Rhujiwati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senyum Sundirah
Mobil yang mereka tumpangi berjalan lambat, jalanan terjal menghambat laju, mencari pemukiman penduduk masih jarang waktu itu.
"Aaakh....!"
Dirah mengerang kesakitan, kaki nya yang bengkak, kram dan dingin sulit di gerakkan. Warti buru-buru mengambil bekal air minum nya, dan menyodorkan ke bibir Dirah.
Hendra yang memangku kepala Dirah, mengusap lembut kening dan perut besar Dirah "Sundirah.... buka matamu Dirah, ini mas! jangan membuat kami takut begini, apa yang kau rasakan?"
"Maak...!" Sundirah menggenggam kuat tangan Mahendra. "Mak, sakit maak.." Dirah merintih, matanya masih terpejam rapat, mulutnya memanggil Yatemi.
"Bersabarlah Dirah, di depan ada pemukiman penduduk kita bisa minta pertolongan" Hendra memeluk dirah.
Mata Dirah masih juga belum mau terbuka namun tangannya erat bertautan dengan tangan Mahendra, Warti mengelus kaki Dirah dan menutupi nya dengan kain kusam, untuk memberikan kehangatan.
Harjito yang duduk di depan sesekali menoleh ke belakang, Slamet sangat mengkhawatirkan kondisi Dirah, yang belum juga sepenuhnya siuman.
Laju mobil merayap pelan, terlihat sepasang suami-istri berjalan dengan membawa kayu, Slamet menghentikan mobil dan bertanya kemana rumah penduduk yang terdekat.
Akhirnya sampai juga rumah yang di tuju, Mahendra membopong Dirah dan menidurkan di amben kayu. Mahendra tidak melepas sedikit pun pegangan tangan Dirah, Mahendra sungguh tidak perduli dengan sekitar, menangis dan memanggil pelan nama Dirah. Warti juga tidak pernah jauh dari Dirah.
"Yu...! bangun yu, lihat kang Hendra ada di samping mu, bukalah matamu yu!"
Tidak lama seorang wanita paruh baya mendekat, dan meraba kening Dirah, mengelus perutnya dan tersenyum.
"Jabang bayi yang di kandung nya sungguh luar biasa, dia sangat kuat, tolong ndhuk ambilkan air itu kesini!" Mbah Supinah ternyata adalah seorang paraji, yang membantu proses kelahiran bayi pada saat itu. Sungguh suatu kebetulan yang tidak terduga.
"Mbah..! apa yang akan terjadi dengan istri saya?" tanya Mahendra cemas.
"Sabar le... dia hanya tertekan batin nya kelahiran si jabang bayi masih lama" sambil mengelus dan memberikan doa sang paraji sangat telaten membalur kaki dan perut Dirah.
"Beristirahat lah kalian disini, kasihan dia kalau kalian paksa untuk meneruskan perjalanan menuju arah kediri, kondisi dia sangat tertekan, akan tidak bagus untuk bayi yang ia kandung" pesan paraji sambil meniup pelan wajah Dirah.
Slamet juga setuju dengan saran mbah Supinah, sebab Dirah hingga saat ini belum juga siuman dari pingsan nya. Sedangkan Harjito yang sedang mengobati luka bacok nya di bantu Warti, mengikuti saran mbah Supinah.
"Mak....! bapak....!" suara lirih Dirah terdengar lemah memanggil.
Mahendra yang duduk di samping nya seketika mendekatkan wajah nya mendekat.
"Dirah... buka matamu, ini mas! kita akan bersama membesarkan anak-anak kita kelak" Mahendra mengusap, menciumi pucuk kepala Dirah.
Perlahan dirah membuka matanya, meraba wajah Hendra, berusaha untuk bangkit.
"Berbaringlah dulu Dirah, kau butuh istirahat aku akan disini menjagamu" senyum lega Mahendra melihat sang pujaan hati telah sadar dari pinsang lama nya.
Jito hanya melihat dari jauh, sedangkan Warti tersedu mengingat peristiwa semalam, Slamet memeluk dan menghela nafas berat sungguh, perjalanan hidup berat yang harus mereka tanggung.
"Aku menunggumu mas, kemana kau pergi? benarkah ini mas Hendra?"
"Bapak sama emak pasti ikut bahagia melihat kepulangan mas Hendra"
"Mas.... Dirah hamil anak kita mas" gumam Dirah bahagia seulas senyum ayu dengan bibir pucat nya menghiasi.
Mahendra tercekat, tidak mampu satu katapun keluar dari mulutnya, hanya anggukan kepala dan menahan tangis, dada Mahendra sesak kuat ia menautkan gigi-giginya hingga jelas terlihat rahangnya mengeras.
Semakin deras air mata Warti dengan tangis isak yang ia tahan, agar Dirah tidak mendengarnya.
Mbah Supinah datang dengan membawa bubur hangat, dan singkong rebus.
# Jamuan atau suguhan untuk tamu dengan makanan apa adanya yang kebanyakan pada waktu itu penduduk wilayah Blitar Selatan, mengandalkan hasil bumi mereka singkong dan jagung. mereka makan sehari-hari dengan nasi Tiwul atau jagung, hingga sekarang walaupun sudah dalam era digital dan maju, nasi tiwul masih banyak penduduk disana menjadikan makanan favorit.#
Dirah makan dengan di suapi Hendra, bubur hangat itu memberikan kekuatan dan memulihkan tenaga bagi Dirah.
Senyum lega terlihat jelas di bibir Mahendra, begitupun Slamet yang selalu mengucapkan syukur dan terima kasih kepada sang pencipta.
"Pak de, bapak sama emak apa tidak ikut dengan kita?, berandalan yang menyerang bapak apa sudah pergi Mas?" tanya Dirah polos.
Masih banyak pertanyaan yang ingin Sundirah lontarkan, tapi Slamet mendekat dan mengusap punggung Dirah.
"Yang sabar ya ndhuk, nanti kalau sudah saatnya kamu akan tau, sekarang yang penting kamu dan jabang bayi dalam kandungan mu dalam keadaan sehat".
"Esok setelah matahari terbit kita melanjutkan perjalanan pulang ke Kediri". sambung Slamet berdusta.
Dirah menghentikan makan nya dan melihat satu persatu orang-orang di sekitar nya, dengan wajah tegang Warti mendekat bersamaan dengan Jito.
"Yu! makan dulu, emak sama bapak baik-baik saja."
Jito duduk di samping amben
"Makanlah Dirah, kau butuh banyak tenaga, esok kita segera pulang". Jito menambahkan kata untuk mengalihkan pertanyaan Dirah.
"Saya sudah kenyang mas, Warti! kamu juga harus makan, sini yu Dirah suapin" Dirah mengambil bubur dari tangan Hendra.
"Yu...!" tangis Warti pecah menyayat hati, siapapun yang mendengarnya.
Mahendra menganggukkan kepala dan menggeser duduk untuk Warti.
Kakak adik itu saling memandang, saling menguatkan walaupun sebenarnya Sundirah belum tau apa yang telah terjadi.
Malam pelan menutup kelam rasa gundah hati anak manusia, terbuka asa yang selama ini tidak mudah tergapai tangan mungil.
Namun malam tetap berlalu tanpa mengenal duka apa yang kau rasakan, dingin angin mendesir menusuk lemah tulang tak terbungkus ini. Terang bulan di depan pembaringan, laksana embun di pelataran. Menengadah menatap bulan purnama, tertunduk teringat kampung halaman.
Di saat semua sudah terlelap, Mahendra berjalan mendekat ke tempat dimana Slamet menghisap tembakau linting, pandangan matanya jauh menerobos gelapnya malam.
"Pak Suyud! sampai kapan kita harus menyembunyikan keadaan ini dari Sundirah, cepat atau lambat dia harus tau kalau bapak dan emak sudah berpulang mendahului kita"
"saya sangat menyesalkan kejadian ini, yang seharusnya tidak sampai adanya pertumpahan darah" Mahendra duduk di samping Slamet dan memulai pembicaraan.
"Biarlah Dirah tenang dulu den, sebab saat ini jiwa nya sangat terguncang, berita tentang kematian Suyud akan menambah duka nya".
"Besok setelah Koko ayam berbunyi kita akan kembali melakukan perjalan pulang, semoga tidak sampai matahari terbenam, den Hendra harus bersabar" sambil mengelus punggung Mahendra Slamet mengucapkan pesan.
"Sayangi Dirah den, jadikan Warti seperti adek aden sendiri, mereka sekarang sebatang kara, ceritakan kabar duka ini setelah kalian tiba di Kediri esok"
"Pengorbanan Suyud dan Yatemi jangan den Hendra sia-siakan, bawa Sundirah pulang den, menikahlah kalian" Slamet menghentikan ucapannya dan menghadap ke arah Hendra.
"Orang tua akan luluh dengan berjalannya waktu, orang tua akan kembali merengkuh anak nya kembali ketika tangis bocah hadir dalam tengah-tengah kehidupan kalian den"
"Ndoro Atmosiman tidak mungkin akan membiarkan, aden sendiri menimang buah hati"
"Tego Larane, Ora Tego Patine" panjang lebar Slamet bertutur kata kepada Mahendra.
****
Tego Larane, ora tego patine, yang secara harfiah berarti tega sakitnya namun tidak tega dengan kematiannya.
Akhirnya....! mereka bertemu kan netizen!
tetap semangat mendukung kisah cinta Sundirah 😘
komen, like rate ⭐🖐️ jangan lupa
see you next chapters 😉.