NovelToon NovelToon
Jodoh Tak Akan Kemana

Jodoh Tak Akan Kemana

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:299
Nilai: 5
Nama Author: EPI

Asillah, seorang wanita karir yang sukses dan mandiri, selalu percaya bahwa jodoh akan datang di waktu yang tepat. Ia tidak terlalu memusingkan urusan percintaan, fokus pada karirnya sebagai arsitek di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Namun, di usianya yang hampir menginjak kepala tiga, pertanyaan tentang "kapan menikah?" mulai menghantuinya. Di sisi lain, Alfin, seorang dokter muda yang tampan dan idealis, juga memiliki pandangan yang sama tentang jodoh. Ia lebih memilih untuk fokus pada pekerjaannya di sebuah rumah sakit di Jakarta, membantu orang-orang yang membutuhkan. Meski banyak wanita yang berusaha mendekatinya, Alfin belum menemukan seseorang yang benar-benar cocok di hatinya. Takdir mempertemukan Asillah dan Alfin dalam sebuah proyek pembangunan rumah sakit baru di Jakarta. Keduanya memiliki visi yang berbeda tentang desain rumah sakit, yang seringkali menimbulkan perdebatan sengit. Namun, di balik perbedaan itu, tumbuhlah benih-benih cinta yang tak terduga. Mampukah Asillah dan Alfin mengatasi perbedaan mereka dan menemukan cinta sejati? Ataukah jodoh memang tidak akan lari ke mana, namun butuh perjuangan untuk meraihnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rencana dadakan,mulut licin bereaksi,dan malu tak tertahankan

"Hehe... itu sih berkat bakat alami. Mulut licin memang senjata andalanku," jawab Asillah, sambil tertawa bangga.

Rian menggeleng-gelengkan kepalanya. "Terserah kau saja, Sil. Tapi, ingat, jangan terlalu percaya diri. Kadang, mulut licin juga bisa membawa masalah."

"Ah, santai saja. Aku tahu kapan harus mengerem," balas Asillah, dengan nada meremehkan.

Mereka berdua kemudian kembali ke villa. Sesampainya di sana, Asillah merasa bosan. Ia ingin melakukan sesuatu yang seru dan menantang.

"Rian, aku punya ide!" seru Asillah, dengan mata yang berbinar-binar.

"Ide apa lagi? Jangan bilang kau mau mencari masalah lagi," jawab Rian, dengan nada curiga.

"Bukan cari masalah, tapi cari kesenangan! Bagaimana kalau kita pergi ke pantai dan mencoba surfing? Aku belum pernah surfing seumur hidupku," kata Asillah, dengan nada antusias.

Rian berpikir sejenak. "Hmm... boleh juga. Aku juga sudah lama tidak surfing. Tapi, kau yakin bisa? Surfing itu tidak mudah lho."

"Tenang saja. Aku kan berbakat. Pasti langsung bisa," jawab Asillah, dengan nada percaya diri. Mulut licinnya kembali beraksi.

Mereka berdua kemudian bersiap-siap dan pergi ke pantai. Sesampainya di sana, Asillah langsung terpukau dengan keindahan pantai tersebut. Air lautnya jernih, pasirnya putih, dan ombaknya cukup besar.

"Wah, keren banget! Aku nggak sabar pengen nyoba surfing," seru Asillah, dengan semangat membara.

Rian tersenyum melihat antusiasme Asillah. "Oke, tapi ingat, jangan sombong dulu. Surfing itu butuh teknik dan keseimbangan. Jangan sampai kau jatuh dan minum air laut," kata Rian, mengingatkan.

"Siap, Bos! Aku akan mengikuti semua instruksimu dengan baik," jawab Asillah, sambil mengacungkan jempol.

Mereka berdua kemudian menyewa papan surfing dan mulai belajar surfing di bawah bimbingan seorang instruktur. Awalnya, Asillah merasa kesulitan. Ia berkali-kali jatuh dan minum air laut.

"Aduh, susah banget sih! Kenapa aku nggak bisa-bisa?" keluh Asillah, dengan nada frustrasi.

Rian tertawa melihat Asillah kesulitan. "Sudah kubilang kan, jangan sombong dulu. Surfing itu butuh latihan. Jangan menyerah, Sil. Coba lagi," kata Rian, menyemangati.

Asillah mencoba lagi dan lagi. Ia terus berusaha untuk menjaga keseimbangan dan mengikuti gerakan ombak.

Setelah beberapa jam berlatih, akhirnya Asillah berhasil berdiri di atas papan surfing untuk beberapa detik. Ia merasa senang dan bangga.

"Yey! Aku bisa! Aku bisa surfing!" seru Asillah, dengan gembira.

Rian bertepuk tangan. "Bagus, Sil! Kau hebat! Terus berlatih, pasti kau akan semakin mahir," kata Rian, memuji.

Asillah semakin bersemangat. Ia terus berlatih dan mencoba berbagai gerakan surfing yang lebih sulit.

Namun, karena terlalu percaya diri, Asillah melakukan kesalahan. Ia mencoba melakukan gerakan yang terlalu ekstrem dan kehilangan keseimbangan.

"Aaaaa...!" teriak Asillah, saat ia terjatuh ke dalam air laut.

Asillah tenggelam ke dalam air laut yang cukup dalam. Ia merasa panik dan kesulitan untuk bernapas.

"Tolong! Tolong!" teriak Asillah, dengan suara yang tercekat.

Rian melihat Asillah tenggelam dan langsung bergegas menolongnya. Ia berenang dengan cepat menuju Asillah dan menariknya ke permukaan air.

Asillah terbatuk-batuk dan mencoba mengatur napasnya. Ia merasa lemas dan ketakutan.

"Kau tidak apa-apa, Sil? Kau baik-baik saja?" tanya Rian, dengan nada khawatir.

Asillah mengangguk lemah. "Aku... aku baik-baik saja. Terima kasih, Rian," jawab Asillah, dengan suara yang bergetar.

Rian memeluk Asillah dengan erat. "

Rian memeluk Asillah dengan erat, memastikan sahabatnya itu baik-baik saja. "Kau membuatku khawatir, Sil. Jangan gegabah lagi, ya?" ucap Rian dengan nada cemas.

Asillah mengangguk lemah, masih berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Rasa malu mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia merasa bodoh dan ceroboh karena sudah terlalu percaya diri.

Setelah beberapa saat, Rian membantu Asillah kembali ke tepi pantai. Asillah terduduk lemas di atas pasir, menatap ombak yang bergulung-gulung dengan tatapan kosong.

"Aku... aku malu banget, Rian," lirih Asillah, dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Rian berjongkok di hadapan Asillah dan menatapnya dengan lembut. "Tidak apa-apa, Sil. Semua orang pernah melakukan kesalahan. Yang penting, kau sudah belajar dari kesalahanmu," hibur Rian.

Namun, hiburan Rian justru membuat Asillah semakin kesal. Mulut licinnya kembali beraksi, kali ini dengan amarah yang memuncak.

"Belajar dari kesalahan? Enak saja kau ngomong! Ini semua gara-gara ombak sialan itu! Kenapa juga dia harus datang tiba-tiba dan membuatku jatuh? Kalau saja ombak itu tidak datang, aku pasti sudah jadi peselancar profesional sekarang!" omel Asillah, dengan nada yang penuh emosi.

Rian menghela napas panjang. Ia sudah menduga Asillah akan mengamuk seperti ini. "Sil, jangan menyalahkan ombak. Ini semua salahmu sendiri. Kau terlalu percaya diri dan tidak hati-hati," balas Rian, dengan nada sabar.

"Enak saja menyalahkanku! Kau tahu nggak sih, aku sudah berusaha sekeras mungkin? Aku sudah berjuang melawan ombak, tapi tetap saja kalah! Ini tidak adil!" Asillah semakin meradang, air matanya mulai menetes.

Rian meraih kedua tangan Asillah dan menggenggamnya dengan erat. "Aku tahu kau sudah berusaha keras, Sil. Aku tahu kau ingin menjadi yang terbaik. Tapi, kau harus ingat, tidak semua hal bisa kau kendalikan. Ada kalanya kau harus menerima kekalahan dan belajar untuk merendahkan diri," nasihat Rian dengan tulus.

Asillah terdiam, mendengarkan nasihat Rian dengan seksama. Ia mulai menyadari kesalahannya. Ia terlalu sombong dan tidak menghargai proses belajar.

"Maafkan aku, Rian. Aku tahu aku salah. Aku terlalu emosi dan tidak bisa mengendalikan diriku," ucap Asillah, dengan nada menyesal.

Rian tersenyum lega. "Tidak apa-apa, Sil. Aku mengerti. Yang penting, kau sudah menyadari kesalahanmu. Sekarang, mari kita pulang dan beristirahat. Kau butuh istirahat," ajak Rian.

Asillah mengangguk setuju. Ia merasa lelah secara fisik dan emosional. Ia ingin segera pulang dan melupakan kejadian memalukan ini.

Mereka berdua kemudian kembali ke villa. Sesampainya di sana, Asillah langsung mandi dan berganti pakaian. Setelah itu, ia merebahkan diri di tempat tidur dan mencoba untuk tidur.

Namun, rasa malu terus menghantuinya. Ia terus memikirkan kejadian di pantai dan merasa bodoh karena sudah bertingkah konyol.

"Kenapa aku harus sombong sih? Kenapa aku harus mencoba surfing kalau aku tidak bisa? Sekarang kan jadi malu sendiri," gumam Asillah dalam hati.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk. Asillah meraih ponselnya dan membuka pesan tersebut.

Pesan itu dari Dokter Alfin. "Asillah, aku ingin bertemu denganmu. Bisakah kita bicara?" bunyi pesan tersebut.

Asillah terkejut membaca pesan dari Dokter Alfin. Ia tidak tahu apa yang ingin dibicarakan oleh Dokter Alfin.

"Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku? Apa dia mau minta maaf lagi?" gumam Asillah.

Setelah berpikir sejenak, Asillah memutuskan untuk membalas pesan Dokter Alfin. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya ingin dibicarakan oleh Dokter Alfin.

"Oke, Dokter. Kita bisa bertemu. Tapi, ada satu syarat," balas Asillah.

"Syarat apa?" balas Dokter Alfin dengan cepat.

"Kau harus menjemputku di villa. Aku sedang malas keluar," balas Asillah, dengan nada yang sedikit menggoda.

Asillah tersenyum licik. Ia tahu Dokter Alfin pasti akan datang. Ia ingin melihat seberapa besar penyesalan Dokter Alfin.

Namun, di dalam hatinya, Asillah juga merasa sedikit gugup. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi saat ia bertemu dengan Dokter Alfin nanti.

Setelah mengirim pesan balasan pada Dokter Alfin, Asillah mulai gelisah. Ia mondar-mandir di dalam kamar, tidak sabar menunggu kedatangan Dokter Alfin.

"Kenapa lama sekali sih? Apa dia nggak jadi datang?" gumam Asillah, dengan nada kesal.

Padahal, dalam hati kecilnya, Asillah sangat berharap Dokter Alfin datang. Ia ingin melihat Dokter Alfin menyesal dan memohon maaf padanya. Ia ingin membuktikan bahwa ia masih berharga di mata Dokter Alfin.

Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu. Jantung Asillah berdegup kencang. Ia menarik napas dalam-dalam dan berjalan menuju pintu.

"Siapa ya?" tanya Asillah, dengan nada sok jual mahal.

"Ini aku, Alfin," jawab Dokter Alfin dari luar.

Asillah membuka pintu dan menatap Dokter Alfin dengan tatapan dingin. "Ada apa?" tanya Asillah, dengan nada ketus.

Dokter Alfin menatap Asillah dengan tatapan yang penuh penyesalan. "Asillah, aku ingin minta maaf padamu. Aku tahu aku sudah salah. Aku sudah menyakitimu," ucap Dokter Alfin dengan tulus.

Asillah memasang wajah datar. "Minta maaf? Setelah semua yang kau lakukan? Maafmu tidak berarti apa-apa," balas Asillah, dengan nada sinis.

Dokter Alfin menghela napas panjang. "Aku tahu. Aku tidak mengharapkan kau memaafkanku. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku benar-benar menyesal," kata Dokter Alfin.

"Menyesal? Kalau kau menyesal, kenapa kau melakukan semua ini?" tanya Asillah, dengan nada yang semakin ketus.

"Aku... aku terpaksa melakukan ini. Keluargaku memaksaku," jawab Dokter Alfin, dengan nada membela diri.

"Terpaksa? Jadi, kau lebih memilih menuruti keluargamu daripada mengikuti kata hatimu? Kau benar-benar pria yang lemah," sindir Asillah, dengan mulut licinnya yang kembali beraksi.

Dokter Alfin terdiam, tidak bisa membantah. Ia tahu Asillah benar.

"Sudahlah, Dokter. Aku tidak mau berdebat denganmu. Aku hanya ingin kau pergi dari sini dan jangan pernah menggangguku lagi," usir Asillah, dengan nada dingin.

Namun, sebelum Dokter Alfin pergi, tiba-tiba datang seorang wanita menghampiri mereka. Wanita itu adalah Renata!

"Alfin! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Renata, dengan nada terkejut.

Asillah dan Dokter Alfin sama-sama terkejut melihat kedatangan Renata. Mereka tidak menyangka Renata akan datang ke villa.

"Renata? Kenapa kau ada di sini?" tanya Dokter Alfin, dengan nada gugup.

"Aku... aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Aku khawatir setelah mendengar semua yang terjadi," jawab Renata, dengan nada cemas.

Asillah menatap Renata dan Dokter Alfin dengan tatapan yang penuh kecurigaan. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh mereka berdua.

"Kalian berdua pasti menyembunyikan sesuatu dariku kan?" tanya Asillah, dengan nada menyelidik.

Dokter Alfin dan Renata saling bertukar pandang. Mereka tampak bingung dan tidak tahu harus menjawab apa.

"Tidak, Asillah. Kami tidak menyembunyikan apa-apa," jawab Dokter Alfin, dengan nada yang berusaha meyakinkan.

Namun, Asillah tidak percaya begitu saja. Ia merasa ada yang aneh dengan hubungan Dokter Alfin dan Renata.

"Jangan bohong padaku! Aku tahu kalian berdua masih saling mencintai kan?" tuduh Asillah, dengan nada yang semakin kesal.

Dokter Alfin dan Renata terdiam, tidak bisa menjawab.

Asillah semakin marah dan cemburu. Ia merasa dikhianati oleh Dokter Alfin dan Renata.

"Kalian berdua benar-benar keterlaluan! Kalian sudah mempermainkan perasaanku! Aku benci kalian!" teriak Asillah, dengan nada yang penuh amarah.

Asillah kemudian berlari masuk ke dalam villa dan membanting pintu dengan keras. Ia merasa sakit hati dan kecewa.

"Kenapa aku harus cemburu sih? Kenapa aku harus peduli dengan mereka berdua? Mereka kan bukan siapa-siapaku lagi," gumam Asillah, dengan nada kesal.

Namun, di dalam hatinya, Asillah tidak bisa memungkiri bahwa ia masih mencintai Dokter Alfin. Ia masih berharap Dokter Alfin akan kembali padanya.

"Tapi, itu tidak mungkin. Dokter Alfin sudah memilih Renata. Aku harus melupakannya dan mencari pria lain yang lebih baik," kata Asillah, dengan nada yang penuh tekad.

Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu lagi. Asillah menghela napas panjang dan berjalan menuju pintu.

"Siapa lagi sih yang datang?" gumam Asillah, dengan nada malas.

Asillah membuka pintu dan terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya.

"Rian? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Asillah, dengan nada bingung.

Rian tersenyum dan menunjukkan

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!