Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.
"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?
"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...
Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.
Kini sosok itu ada di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Panggilan Sayang
Dengan sedikit ragu, Stasia menyiapkan piring di depannya. Namun rasa aneh segera muncul—Damar sama sekali tidak menyentuh makanannya. Matanya hanya terpaku pada Stasia, meneliti setiap gerakan kecilnya. Tatapan itu membuat perut Stasia semakin mual oleh gugup, bukan lapar.
“Pak Damar… bisa tidak Bapak fokus pada makanan Bapak? Saya tidak mungkin makan kalau Bapak sendiri tidak makan,” ucapnya jengkel.
Damar tersenyum tipis, seakan menikmati keresahan Stasia. “Tapi tangan saya lelah. Jadi… saya malas makan.”
Stasia mendesah kesal. “Ya, kalau Bapak tidak makan, saya juga tidak bisa makan, Pak.”
“Tapi saya mau lihat kamu makan,” balas Damar tenang.
“Pak… saya tidak bisa.”
“Lakukan saja apa yang saya minta. Tugasmu hanya harus melakukan apapun perintahku sekarang.”
Stasia membelalakkan mata, tidak percaya. “Kalau situasinya seperti ini, saya justru akan sulit menelan makanan, Pak.”
“Kalau mau telan ya telan saja,” balas Damar ringan, matanya tak lepas darinya. “Lagi pula sudah saya katakan, tangan saya lelah. Jadi malas makan.”
Stasia semakin sebal. “Terus… Bapak maunya apa? Saya panggilkan tukang pijit?”
Alis Damar terangkat, bibirnya menahan senyum. “Apa tidak ada ide yang lebih kreatif?”
Stasia mendengus, benar-benar tak menyangka. Ketos dingin dan irit bicara yang ia kenal dulu, kini malah berubah jadi Bos yang menyebalkan. Sebelas tahun berlalu, ternyata cukup mengubah sosok Damar—atau… justru membuka sisi lain darinya?
“Mau ide apa, Pak? Kalau saya panggil tukang pijit kan bisa bantu biar hilang lelahnya.”
“Tapi saya tidak suka kalau tubuh saya dipegang orang asing.”
“Kalau begitu, saya carikan OB yang bisa pijat. Saya pastikan bukan orang asing, Pak.”
“Tidak. Bagiku mereka tetap asing.”
Stasia menahan napas, hampir meledak. “Terus saya harus bagaimana? Kalau kita terus berdebat seperti ini, bisa-bisa waktu istirahat makan siang habis sebelum saya benar-benar makan!”
“Saya lapar, tapi malas bergerak karena lelah.”
“Oh, Tuhan…” Stasia menggeram kesal, nyaris menjambak rambut sendiri.
Damar menaikkan satu alis. “Kenapa? Kamu berani marah pada atasanmu?”
Stasia memejamkan mata rapat, menarik napas panjang untuk menetralkan emosi. “Bukan begitu, Pak.” Ia menghembuskan napas kasar. “Boleh saya makan di ruangan saya saja?”
“Tidak bisa.” Jawaban Damar singkat, tegas. “Kamu harus makan di sini.”
“Lalu saya harus bagaimana, Pak?” sergah Stasia, hampir tak tahan lagi.
Damar bersandar santai, menatapnya lekat dengan sorot mata penuh teka-teki. Sudut bibirnya melengkung tipis.
“Menurutmu?”
Rasanya Stasia mau gila. Menghadapi Ares yang rewel ternyata lebih mudah daripada menghadapi bosnya yang satu ini.
Ah… tiba-tiba ia teringat bocah kecil kesayangannya itu. Dan seolah ada telepati, ponsel Stasia berdering. Nama Andreas muncul di layar. Ia yakin betul, pasti dari Ares.
“Pak, boleh saya keluar sebentar untuk angkat telepon?”
“Kenapa harus keluar? Angkat saja di sini,” sahut Damar datar.
Tanpa pikir panjang, Stasia segera menekan tombol hijau. Senyumnya langsung merekah begitu suara mungil terdengar dari seberang. Perubahan ekspresinya itu jelas ditangkap Damar, meski pria itu hanya diam, matanya mengunci setiap gerak Stasia.
“Ya, sayang?” suara Stasia melembut, penuh kasih.
Kata sayang meluncur begitu alami, tapi telinga Damar seperti membeku mendengarnya. Rahangnya mengeras.
“Sepertinya seru. Tapi apa kamu sudah makan?” lanjut Stasia dengan nada lembut yang sama sekali berbeda dari sikap kaku yang ia tunjukkan padanya beberapa menit lalu.
“Jangan lupa makan, ya… dan ingat, tidak boleh nakal. Kalau nakal, tidak boleh peluk-peluk kalau malam.”
Kalimat terakhir itu menusuk dada Damar. Sesuatu bergejolak dalam dirinya, panas, tidak jelas apakah itu marah atau cemburu.
“Bye sayang… sampai ketemu nanti.”
Panggilan ditutup. Stasia masih tersenyum kecil, hatinya hangat membayangkan wajah Ares. Ia bahkan lupa keberadaan Damar di dekatnya—sampai menoleh, dan mendapati sorot mata dingin yang menusuk.
“Pak… ada yang salah?” tanyanya ragu.
“Makanlah cepat dan kembali ke ruanganmu.” Suara Damar tegas, singkat. Ia bahkan langsung meraih piringnya dan makan dengan cepat.
Stasia sempat tertegun. Bukankah tadi pria ini bilang malas makan karena tangannya pegal? Sekarang, ia makan seakan ingin menghabiskan semua isi piring tanpa bicara sepatah kata pun.
Tak ingin memperpanjang masalah, Stasia ikut makan diam-diam. Selesai, Damar kembali duduk di kursi kerjanya, menunduk pada tumpukan berkas, seolah ia tidak ada. Tak lama kemudian, seorang OB masuk membereskan meja, sementara Stasia masih merasa canggung.
“Pak, apa ada yang perlu kita bicarakan lagi?” tanyanya pelan.
“Kembalilah ke pekerjaanmu.”
Singkat, dingin, memutus percakapan.
Stasia hanya mengangguk lalu keluar tanpa mau berdebat. Sesampainya di ruangannya, Max langsung menoleh dengan wajah penasaran.
“Si, dari mana? Aku tunggu kamu di kantin tapi kamu nggak datang. Apa baru selesai meeting di ruangan Pak CEO?”
“Bukan, aku… ketemu kenalan lama. Ngobrol sebentar, dan dia bawain makanan.”
“Oh ya? Kamu sudah punya teman di negara ini? Banyak gak?”
“Lumayan. Soalnya masa SMP-ku dulu aku habiskan di kota ini. Walau tidak sampai akhir, tapi cukup lama untuk bisa memiliki teman.”
“Hmm… aku cuma sempat tinggal di Indonesia waktu SMA. Ibuku orang Indonesia, ayahku orang Belanda. Tapi aku lebih banyak merasakan hidup di Belanda karena memang pekerjaan orang tua disana.”
“Jadi kamu blasteran Belanda–Indonesia?”
Max tersenyum kecil. “Kalau lihat wajahmu, kamu juga blasteran, kan?”
“Iya, ibuku orang Paris, ayahku Indonesia.”
“Wah, berarti kita sama-sama darah campuran. Cocok nih…”
Stasia menatap Max sebentar, lalu buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah tumpukan pekerjaannya. “Sudahlah, kita lanjut kerja. Jangan kebanyakan ngobrol. Bisa-bisa kita ngumpulin musuh kalau kita ngobrol terus.”
Ia bisa merasakan tatapan beberapa pegawai lain yang seperti pisau menebas dari arah meja seberang. Stasia tidak ingin jadi bahan gosip. Ia hanya ingin bekerja dengan tenang, tanpa ada hal-hal yang mengganggu.
Sementara itu, di ruangannya, Damar tengah duduk bersandar. Di atas meja, sebuah berkas CV milik Stasia yang sudah dicetak rapi terus dipandanginya seolah CV itu akan berubah jadi sesuatu..
“Pak, Pak Hadi sebentar lagi sampai. Beliau bilang lima menit lagi akan tiba,” lapor Abas sambil membawa tablet catatan rapat.
Namun alih-alih menanggapi, Damar mendadak bertanya, “Bas, apa kamu pernah disukai seseorang?”
Abas sontak menoleh, sedikit bingung. Pertanyaan itu benar-benar di luar konteks.
“Maksudnya, Pak?”
Damar mencondongkan tubuh, jari-jarinya mengetuk permukaan meja pelan. “Apa mungkin… seseorang yang dulu bilang menyukaimu, bahkan berusaha mengejarmu… bisa tiba-tiba berubah? Bersikap biasa saja. Lalu dengan enteng memanggil orang lain dengan sebutan sayang?”