Nuansa dan Angger adalah musuh bebuyutan sejak SMA. Permusuhan mereka tersohor sampai pelosok sekolah, tiada yang luput untuk tahu bahwa mereka adalah dua kutub serupa yang saling menolak kehadiran satu sama lain.
Beranjak dewasa, keduanya berpisah. Menjalani kehidupan masing-masing tanpa tahu kabar satu sama lain. Tanpa tahu apakah musuh bebuyutan yang hadir di setiap detak napas, masih hidup atau sudah jadi abu.
Suatu ketika, semesta ingin bercanda. Ia rencakanan pertemuan kembali dua rival sama kuat dalam sebuah garis takdir semrawut penuh lika-liku. Di malam saat mereka mati-matian berlaku layaknya dua orang asing, Nuansa dan Angger malah berakhir dalam satu skenario yang setan pun rasanya tak sudi menyusun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
He Lost What He Loved the Most
Apa memangnya yang akan Angger dapatkan dari upaya kerasnya melindungi Nuansa? Tidak ada, selain kelegaan bahwa setidaknya dia bisa mencegah satu lagi kematian yang sia-sia.
Menarik garis ke belakang, Angger pernah berada di titik paling rendah dalam hidupnya, ketika kakak perempuannya yang seharusnya menjadi penerus keluarga menggantikan dirinya, meninggal dengan cara yang begitu tragis. Kematiannya disamarkan sebagai kecelakaan tunggal yang berakibat fatal, tetapi Angger tahu ada campur tangan manusia berhati iblis yang hendak memorak-porandakan keluarganya.
Seakan merenggut papanya saja tidak cukup. Seakan merebut sesuatu yang bukan hak mereka dengan cara keji, belumlah memuaskan hasrat duniawi. Para bajingan itu semakin menjadi, merongrong bagai lintah yang tidak akan puas sebelum menyedot habis semua darah.
Padahal mereka bukan orang lain. Padahal mereka berbagi banyak hal, suka-duka, saling percaya. Maka perkataan pisau yang menancap paling dalam, datang dari seseorang yang memelukmu erat Angger rasa benar adanya. Keluarganya terlalu waspada terhadap ancaman dari luar, tanpa tahu bahwa celaka datang justru dari dalam.
Jatuh bangun usaha Angger untuk membuat mereka membayar mahal atas perbuatan biadabnya. Usahanya tidak mudah. Terseok-seok, tertatih, sampai hampir mati rasanya untuk mengumpulkan bukti-bukti keterlibatan mereka dalam kematian kakak perempuan dan papanya.
Habis sebagian besar masa muda Angger untuk menuntut keadilan, yang kemudian tetap tidak bisa didapatkannya secara penuh. Mereka memang berhasil dijebloskan ke penjara, divonis mendekam di balik jeruji besi seumur hidup, sampai raganya nanti membusuk. Tapi luka yang ditinggalkan tidak pernah hilang. Penderitaan harus Angger telan bulat-bulat, saat dirinya juga harus mengambil tanggung jawab yang ditinggalkan oleh papanya, di usianya yang masih muda.
Bertahun-tahun terlewat, luka itu masih selalu terasa baru. Masih terasa perih setiap kali Angger melewati ruang kerja papanya yang kini menjadi tempatnya. Masih menyesakkan dada ketika melihat foto kakak perempuannya yang tersenyum cerah, tidak tahu bahwa hidupnya akan berakhir terlalu cepat. Angger hidup dengan bayang-bayang tragedi itu. Setiap hari. Setiap detik. Setiap tarikan dan embusan napasnya yang berat.
Mungkin itulah juga alasannya mengapa Angger bersikeras melindungi Nuansa, meski tidak ada ikatan batin apa pun di antara mereka. Mungkin karena posisi Nuansa kini mengingatkannya kembali pada kakaknya, menjadi trigger atas hal yang paling Angger antisipasi setiap saat.
Sekarang, dua hari berlalu sejak perburuan dimulai, Angger meminta K datang ke ruangannya untuk memberikan laporan. Dari balik meja kerjanya, dia dengarkan dengan saksama penjelasan K atas hasil buruannya.
K katakan bahwa kartu akses yang digunakan si penyerang adalah milik unit yang sudah kosong sejak dua bulan lalu, dan sekarang sedang dalam pemasaran untuk penyewa baru. Untuk itu, selagi K menyelidiki lebih lanjut apakah kartu akses itu dicuri atau memang si pemilik lama adalah dalang di balik ancaman yang tertuju pada Nuansa, Angger sepakat untuk mengerahkan bala bantuan untuk melindungi Nuansa secara diam-diam.
Diam-diam yang dimaksud di sini bukan hanya sembunyi-sembunyi dari Nuansa, tetapi juga dari musuhnya. Angger tidak mau pihak musuh sadar bahwa Nuansa sekarang sedang dijaga, dan membuat mereka membelokkan rencana yang mana akan lebih sulit ditangani. Dia ingin pihak musuh tetap merasa di atas awan, merasa Nuansa lemah, sehingga nanti tiba waktunya mereka sendiri yang lengah.
"Soal yang tempo hari, gimana?" Angger menutup berkas di meja kerjanya, adu tatap dengan K.
"Betul dugaan Chief," jawab K sambil kepalanya mengangguk. "Unit di sebelah milik Nyonya, yang dikunjungi oleh Nona Kertapati, adalah milik kekasihnya."
"Sudah dapat identitasnya?"
K mengangguk. Ponsel di saku jasnya ditarik keluar, diutak-atik sebentar, kemudian diletakkan di depan Angger.
"Han Jean, orang kepercayaan Tuan Kertapati." K menunjukkan foto kekasih Nuansa.
Angger mengamatinya, membandingkan postur tubuhnya—terutama tangan—dengan yang pernah dilihatnya dalam postingan Instagram Nuansa. Pria itu tampak tampan dan matang, pembawaannya pun tengah. Tetapi seperti pepatah, air tenang menghanyutkan, kecurigaan Angger terhadap Han Jean justru tumbuh semakin besar akibat ketenangan yang ditampakkannya di permukaan.
"Ada yang mencurigakan soal dia?"
K menghela napas, yang Angger juga tidak tahu apa maknanya. Bukan tipikal helaan napas lelah atau frustrasi. Helaan napasnya kedengaran berat, tetapi sarat akan sesuatu yang besar di saat yang bersamaan.
"Background keluarganya tidak jelas," ucap K, suaranya rendah. "Agak aneh karena Tuan Kertapati membiarkan putrinya menjalin kasih dengan orang itu. Jadi, saya perlu untuk menyelidikinya juga. Apakah karena Tuan Kertapati sudah sangat percaya padanya, atau dia menyimpan kartu As sehingga Tuan Kertapati tidak punya pilihan lain demi menjaga keamannya sendiri. Apalagi ... mereka sudah bertunangan, dan hal itu disembunyikan dari publik."
Angger mengerutkan kening. Dalam lingkaran orang-orang seperti dirinya, background keluarga adalah segalanya. Tidak mungkin seorang ayah yang terkenal protektif seperti Tuan Kertapati, membiarkan anak perempuannya berhubungan dengan pria yang asal-usulnya tidak jelas. Kecuali memang ada alasan kuat di baliknya.
"Berapa lama dia sudah bekerja untuk Tuan Kertapati?" tanya Angger.
"Sebelas tahun," jawab K cepat. "Mulai sebagai asisten, sampai sekarang menjabat Chief of Staff. Namanya tidak terekspos karena sibuk bekerja di balik layar, berbeda dengan Nona Kertapati yang memang dijadikan wajah perusahaan."
Angger mengangguk pelan. Polanya terlalu familier. Orang kepercayaan. Bekerja di balik layar. Paket sempurna untuk jadi senjata makan tuan.
"Tapi saya sudah pastikan satu hal," K mengambil ponselnya kembali, kemudian melanjutkan, "Han Jean tidak ada hubungannya dengan Nyonya. Kepindahannya ke unit sebelah, tiga bulan lalu, murni kebetulan."
Angger mengempaskan punggung ke kursi kerja, kakinya sedikit menyentak hingga kursi beroda itu berputar. Dia menyilangkan tangan, mengamati gedung-gedung tinggi nun jauh di seberang melalui jendela kaca besar di hadapannya.
"Terus pantau Han Jean," perintah Angger tanpa mengalihkan pandangan dari jendela.
"Siap, Chief."
"Dan soal Nuansa, pastikan nggak ada celah."
"Sudah saya atur, Chief. Saya sudah pilihkan orang-orang terbaik untuk bergantian berjaga di sekitar Nona Kertapati."
Angger menghela napas panjang. "K," panggilnya, suaranya lebih lirih dari biasanya.
"Ya, Chief?"
"Ingat yang terjadi pada Kak Alice dulu?"
K terdiam sejenak. Tentu saja dia ingat. Dialah yang membantu Angger mengumpulkan bukti-bukti, yang menemaninya di malam-malam tergelap ketika Angger hampir menyerah.
"Ingat, Chief."
"Gue nggak akan biarin kejadian itu terulang," kata Angger tegas, kali ini dia berbalik, menatap K langsung. "Apa pun yang terjadi, Nuansa harus selamat. Mengerti?"
"Mengerti, Chief." K membungkuk hormat. "Saya akan memastikan itu."
Ketika K pamit dan keluar dari ruangan, Angger kembali membalikkan kursinya menatap jendela. Langit sore itu tampak kelabu, pertanda hujan akan segera turun. Angger meraih foto yang selama ini dia simpan di laci mejanya, foto kakak perempuannya di hari wisuda. Senyumnya terkembang lebar, matanya berbinar penuh harapan akan masa depan yang sudah disusunnya betul-betul.
"Maaf karena gagal lindungin kamu," bisik Angger pada foto itu. "Tapi kali ini aku nggak akan gagal, Kak. Aku nggak akan biarkan siapa pun di sekitarku, mati sia-sia."
Dia menyimpan foto itu kembali, mengunci lacinya, dan mulai menyusun strategi berikutnya. Hanya memantau dan menyelidiki, serta memberikan penjagaan, tidak akan cukup. Angger harus memutar otak, berpikir selangkah di depan, jika tidak mau upanya gagal.
Bersambung....
Hamil dulu tapi😁