Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.
Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.
Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Dima dan Quin duduk bersebelahan di kursi pembeli di sebuah mini market yang tidak jauh dari sekolah. Dima memutar tutup air mineral yang tidak dingin, lalu memberikannya pada Quin.
“Makasih,” kata Quin pelan. Lehernya terasa sakit. Ia tidak pernah bernyanyi selama itu.
“Sama-sama,” jawab Dima yang meminum soda dingin.
“Nggak kebayang kalau jadi Taylor Swift gimana, konser tiga jam, terus-terusan.”
Dima terkekeh, “Kalau kamu latihan, kamu juga bisa.”
“Nggak. Makasih. Aku nggak mau jadi penyanyi gitu, tur keliling dunia. Duitnya banyak sih, tapi kan cape!”
“Aku boleh nanya nggak?”
“Itu nanya.”
Dima menghela napas, terdiam. Tidak jadi bertanya.
“Tanya apa?” Kata Quin melembut.
“Kenapa kamu nggak mau nyanyi?” Tanya Dima takut-takut. Sebuah pertanyaan penuh resiko. Bisa saja hal ini membuatnya lebih parah jika Quin tahu bahwa sebenarnya dia yang mendaftarkannya.
Quin terdiam sejenak.
“Kalau kamu nggak mau cerita, nggak apa-apa loh.”
“Aku kan suka cover lagu K-pop di youtube,” jelas Quin sambil menatap daun-daun gugur berserakan di parkiran mini market.
Dima menganggukan kepala. Tentu saja dia tahu kalau Quin suka menyanyikan ulang lagu K-pop dengan gayanya sendiri. Dia juga yang mengirimkan channel youtube Quin dan mendaftarkan ke acara YAMI atas nama sekolah.
“Nenek aku marah. Nggak suka aku nyanyi lagu begitu. Kata dia, aku harusnya nyanyi lagu-lagu Indonesia.”
“Oh,” Dima baru paham kenapa tadi Quin kesal sekali ketika Pak Adam menyuruhnya menyanyikan lagu Indonesia.
“Awalnya aku iya-iya aja. Tapi lama-lama aku kesal dan marah,” tiba-tiba Quin terdiam.
Dima memperhatikan Quin yang sedang berusaha menahan air matanya keluar.
Hening sedetik terasa lama sekali.
“Sebelum aku minta maaf telah bicara dengan nada marah sama nenekku, nenekku meninggal,” jelas Quin memecah keheningan yang dingin.
Dima jadi semakin merasa bersalah telah memaksa Quin untuk mengikuti YAMI. ‘Aku harus memberitahukannya sekarang,’ pikir Dima.
“Aku,” Dima dan Quin bicara bersamaan.
“Kamu duluan aja,” pinta Dima yang kemudian menunduk malu.
“Aku nggak ngerti siapa yang ngedaftarin aku. Kok bisa sih, ngedaftarin tanpa harus minta persetujuan orangnya dulu.”
“Ya mungkin karena ini baru babak audisi. Jadi lolos nggak lolos, kan tetep tergantung sama orangnya,” Dima berusaha menenangkan Quin.
“Tetep aja. Pokoknya kalau nanti aku tau siapa yang daftarin aku. Aku langsung blok, nggak mau lagi ngomong sama orang itu sampai kapanpun juga!” Quin terdengar marah.
Dima terdiam.
“Kamu tadi mau ngomong apa?”
Salah tingkah dan gugup, Dima berusaha menjawab, “Aku, kalau kamu nggak mau lanjut, atau mau nyanyi lagu apa besok, terserah aja. Aku dukung aja.”
“Makasih,” jawab Quin tersenyum. “Kenapa kamu nggak daftar juga?”
“Hah?”
“Kamu kan bisa main musik, bisa nyanyi, Pak Adam juga sering nyuruh kamu ngiringin padus. Kenapa kamu nggak daftar?”
“EH! Sori, aku disuruh kakak aku beliin sampo! Kakak aku yang kuliah di Bandung lagi pulang,” Dima bangkit dan menggendong gitarnya. “Sori ya, aku duluan ya!” Dima jalan dengan cepat meninggalkan Quin yang masih duduk menghabiskan minumnya.
Quin merasa seperti ada yang salah, tapi dia tidak tahu apa itu. Dibukanya media sosial pendaftaran lomba puisi yang diadakan sebuah perpustakaan swasta di Jakarta Pusat. Pengumuman 100 puisi yang terpilih dalam penjurian adalah minggu depan. Kemudian dimulai masa voting secara umum selama satu bulan. Dua puluh puisi yang mendapatkan voting paling banyak akan dibukukan.
–
Dengan gitar di punggungnya, Dima menyusuri jalanan kampung dengan langkah gontai. Gitarnya entah kenapa, terasa lebih berat dari biasanya. Kepalanya tertunduk memperhatikan kerikil jalanan yang dilewatinya. Hari ini dia merasa senang bisa mendengar dan menemani Quin bernyanyi, tapi dia juga merasa bersalah telah membuat Quin jadi terpaksa harus ikutan YAMI.
Tiba-tiba terdengar bunyi suara kepalanya yang menabrak tiang listrik.
“Aduh!” Dima mundur satu langkah sambil mengusap jidatnya yang berdenyut dan terasa panas.
“Eh, kenapa lu? Tiang listrik ditabrak!” Teriak Haji Berkah yang sedang duduk di teras rumah, lalu tertawa terbahak-bahak. Tonsilnya yang bergetar terlihat dengan jelas karena mulutnya terbuka lebar dan giginya sudah tinggal satu.
Dima nyengir, lalu bergegas masuk ke dalam halaman rumahnya. Ketika Dima berpaling ke arah teras, air menyembur membasahi wajahnya.
“Aduh!” Dima menghalau air yang mengarah kepadanya.
Lala sedang menyiram bunga, “Sore amat, dari mana lu?”
“Sekolah!”
“Abis ngapain?”
“Mau tau aja,” Dima membuka sepatunya.
Lala menodongkan selang ke wajah Dima. Dima mengulurkan tangan menahan Lala untuk tidak melakukannya.
“Stop!”
“Jawab nggak?”
Diturunkan gitar tuanya ke lantai, dia lalu duduk di teras, “Abis disuruh guru kesenian bantuin Quin latihan buat audisi YAMI besok.”
“Terus?” Lala merapikan selang air.
“Ya udah.”
“Elu udah ngasih tau kalo elu yang daftarin dia?” Lala duduk di samping Dima.
“Tadinya sih mau ngasih tau.”
“Tapi…,”
“Yah, jangankan lolos audisi, belum tentu juga besok dia beneran mau ikutan audisi. Jadi percuma juga dikasih tau.”
“Gue tuh heran, kan gue nyuruh elu yang ikutan. Kenapa malah daftarin dia sih?” Lala menempelkan tangan ke jidatnya Dima. “Nggak panas kok!”
“Udah sih, udah terlanjur juga.”
“Dulu kakak pernah mau ikutan, tapi nggak lolos audisi. Kakak mikir, kamu harus ikutan kalau kamu udah kelas 11 nanti. Eh, malah ngedaftarin gebetannya,” jelas Lala dengan nada pasrah.
“Siapa yang gebet sih?” Dima terdengar tidak ingin mengakui bahwa dia memang diam-diam suka pada Quin. “Aku sama dia itu berantem mulu, Kak.”
“Kenapa?”
“Nggak tau. Kayak, apa yang aku omongin pasti aja ada salahnya.”
“Lah kalau udah tau elu sama dia berantem melulu, kenapa elu malah ngedaftarin dia?”
Dima terdiam sejenak lalu menjawab, “Dia itu emang bagus kak, nyanyinya. Dia harusnya ikutan.”
“Ya udah. Kalo elu masih nggak mau ngaku elu suka sama dia.”
“Sedikit, Kak.”
“Nah, kan. Ngaku kan!”
“Ya semua orang juga suka sama dia, Kak.”
“Ya oke. Semua orang suka sama dia, termasuk elu. Tapi gimana pun juga, elu harus ngomong sama dia kalau elu yang daftarin dia. Sebelum…”
“Sebelum apa?” Dima menatap kakaknya dengan penuh pertanyaan.
“Sebelum elu beneran suka sama dia, lebih dari orang lain, sementara dia beneran benci sama elu.”
Dima bangkit dan mengambil gitarnya, lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Terlalu banyak yang ada di pikirannya. Ayahnya yang sakit-sakitan. Hutang keluarga. Dan sebentar lagi ujian semesteran.
–
Sementara itu, Quin sedang teleponan dengan Nisa memberitahukan apa yang terjadi hari itu.
“Gue tau, Dima itu pinter main musik, pinter nyanyi juga. Tapi kenapa harus dia yang nemenin gue latihan?” Quin nyerocos dengan semangat.
“Elu nggak suka?” Tanya Nisa.
“Bukannya nggak suka. Gue curiga.”
“Curiga apa?”
“Apa dia yang daftarin gue?” Matanya Quin memicing, melihat ke arah jendela bersamaan dengan Dima yang membonceng ayahnya dengan motornya di jalanan kompleks.
“Kalau pun iya, kan elu juga daftarin dia ke lomba puisi. Ya udah lah, satu sama,” jawab Nisa menenangkan.
“Nggak bisa disamain dong! Gue kan nggak mau jadi penyanyi!” Quin teriak membela diri.
“Mungkin juga Dima nggak mau jadi penulis puisi,” jawab Nisa mencoba membuat logika bahwa Quin dan Dima sama-sama melakukan yang salah.
“Kok elu belain Dima?” Quin malah tersinggung.
“Bukan belain. Tapi kan…”
“Ah tau ah!” Quin menutup telepon.
Dia merebahkan dirinya di atas kasur. Siapapun yang mendaftarkannya, dia sudah memutuskan untuk tidak mengikuti audisi besok.
queen Bima
mantep sih