Lucinda de Vries mengira acara wisudanya akan menjadi hari kebahagiaannya sebagai sarjana kedokteran akan tetapi semua berakhir bencana karena dia harus menggantikan kakak kandungnya sendiri yang melarikan diri dari acara pernikahannya.
Dan Lucinda harus mau menggantikan posisi kakak perempuannya itu sebagai pengantin pengganti.
Bagaimana kelanjutan pernikahan Lucinda de Vries nantinya, bahagiakah dia ataukah dia harus menderita ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reny Rizky Aryati, SE., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 KE BANDARA ROTTERDAM
Terlihat Lucinda keluar dari ruangan laboratorium tanpa membawa hasil, dia berdiri diam tepat di depan pintu masuk.
Wajahnya serius seperti dia sedang berpikir serius, dilihatnya kartu nama pemberian dokter Juwita dengan kepala tertunduk.
Lucinda menghela nafas panjang lalu melanjutkan langkahnya.
Tidak ada kata yang terucap darinya, dan dia terus melangkahkan kakinya menjauh dari ruangan laboratorium.
"Ah, hari yang sial !"
Keluhnya sembari mengusap-usap keningnya.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang ?"
Pikirnya serius seraya mengedarkan pandangannya ke area sekitar dia berjalan.
Area laboratorium tampak sepi sekali, tidak ada satupun orang berada disini, jalan sepanjang tempat ini menuju ke pintu keluar lumayan jauh.
Lucinda terpaksa berjalan lama agar sampai ke pintu utama dari gedung laboratorium milik Universitas Leiden ini.
"Hari ini aku benar-benar sial, tidak bertemu Chatarina, juga tidak mendapatkan hasil laboratorium..."
Lucinda mendengus kesal sembari terus berjalan hingga pintu depan.
Wajahnya merona tapi pucat, Lucinda segera membuka pintu utama gedung laboratorium kemudian berjalan keluar dengan langkah cepat.
"Kemana aku harus menemukan Chatarina, dia sengaja menyembunyikan negara tujuannya berlibur."
Lucinda melirik jam ditangannya, memperhatikan tiap laju menit yang bergerak pada jarum jam.
"Aku akan mencari informasi di bandara, mungkin aku tidak terlambat mendapatkan informasi disana."
Lucinda menoleh ke arah kanan dan kiri secara bergantian.
Area depan gedung laboratorium tampak sepi sekali, hanya ada angin yang bertiup kencang sepoi-sepoi di area ini.
Lucinda menggenggam erat-erat tali tas yang ada di pundaknya, menghirup udara dalam-dalam lalu melangkahkan kakinya turun dari atas beranda gedung laboratorium.
"Aku akan ke bandara, mungkin aku mendapatkan informasi jalur penerbangan milik Chatarina Daan..."
Lucinda mempercepat langkah kakinya, melewati halaman depan kampus.
"Tap... ! Tap... ! Tap... !"
Lucinda menundukkan pandangannya ke arah luar area gedung Universitas Leiden ini, dia mengeluarkan ponsel pribadinya dan memesan taksi.
"Tujuan bandara..., aku ada di Universitas Leiden, di depan gerbang utama, aku tunggu..."
Sekitar lima belas menit kemudian taksi datang tepat di depan gerbang utama.
Lucinda bergegas naik ke dalam taksi yang membawanya menuju tujuan bandara yang jaraknya sekitar 23, 7 km dari kota Leiden.
Bandara Rotterdam merupakan bandara Internasional kecil tersibuk ketiga di Belanda yang jaraknya lebih dekat dari bandara Internasional lainnya jika dari Kota Leiden.
Lucinda duduk di dekat jendela taksi yang melaju menuju bandara Rotterdam.
"Mau kemana, liburan ?"
Tanya sopir taksi dari kursi depan seraya melirik ke arah spion depan.
"Mmm, yah, liburan..."
Lucinda menjawab sembari mengerlingkan kedua matanya.
"Ya, anak muda masih suka bersenang-senang, liburan dan menghabiskan uang."
"Ya, begitulah, menikmati masa muda..."
Sopir taksi tertawa renyah, sedangkan Lucinda melirik ke arah kaca taksi yang bergerak mengikuti laju taksi.
Perjalanan ke bandara Rotterdam ditempuh sekitar kurang lebih dari 1 jam.
Taksi tiba tepat di depan bandara Rotterdam, Lucinda segera turun cepat dari dalam taksi lalu berjalan menuju bangunan bandara Internasional kecil di depannya.
Suasana bandara hari ini lumayan ramai, banyak orang yang berpergian dengan pelayanan pesawat terbang.
Lucinda bergegas menghampiri meja penerimaan di bandara.
Tampak dua orang petugas pelayanan bandara sedang berjaga-jaga di meja check-ini.
Lucinda menyapa mereka dengan sapaan ramah.
"Selamat siang... !"
"Selamat datang di bandara Rotterdam, ada yang bisa kami bantu ?"
"Saya mau bertanya tentang seorang bernama Chatarina Daan yang melakukan penerbangan dua hari kemarin kalau tidak salah..."
"Baik, sebentar kami periksa."
"Terimakasih..."
Lucinda menunggu di depan meja penerimaan sembari menatap serius dua orang petugas bandara yang sedang sibuk memeriksa layar monitor komputer.
"Chatarina Daan..., ya, dia baru saja melakukan penerbangan dua hari yang lalu menuju Roma..."
"Apa, Roma ?"
"Ya, benar, Roma, Italia !"
"Terimakasih atas informasinya..."
Lucinda tergesa-gesa pergi, meninggalkan meja penerimaan menuju pintu utama bandara.
"Dia ke Roma !"
Lucinda dengan cepatnya melangkah keluar dari bandara Rotterdam.
"Ya, ampun, Chatarina ! Bagaimana bisa kamu kabur ke Italia ???"
Lucinda menghela nafas cepat seraya menoleh ke arah samping.
"Apa yang dia rencanakan disana, tidakkah dia tahu kami mengalami kesulitan karena ulah dia?"
Lucinda menghentikan langkahnya dan berdiri tak jauh dari bandara Rotterdam.
"Sekarang, aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, tidak mungkin aku menyusul Chatarina ke Roma sedangkan aku tidak tahu menahu tentang kota itu..."
Lucinda menarik nafas panjang lalu menghembuskannya asal.
"Fuih... ! Chatarina !"
Lucinda agak berteriak keras dengan kepala mendongak ke atas.
"Kemana kau Chatarina ???"
Lucinda seperti frustasi bahkan dia tak tahu harus kemana setelah ini.
"Chatarina, kau membuatku sangat pusing, tega sekali kau, kak !"
Lucinda menggerutu kesal dengan ekspresi wajah murung.
Terlihat Lucinda putus asa bahkan dia hanya bisa berdiri termangu-mangu di area sekitar bandara Rotterdam.
"Aaaahhhkkk... !"nii
Lucinda menjerit seraya menggelengkan kepalanya kian kemari lalu berjalan ke arah sebuah bangku tunggu dekat taman bandara.
"Huuhuhuhuhu..., kau benar-benar keterlaluan, kak... ?!"
Isak tangis Lucinda sedih, dia menundukkan pandangannya sembari duduk di bangku tunggu bandara.
"Hiks...hiks...hiks..., aku tak kuasa dan tak mungkin kuhindar, masalah demi masalah yang ada saat ini..."
Lucinda terisak-isak seraya menyeka sudut matanya yang berair.
"Kenapa derita ini aku yang harus tanggung sendiri, wasiat apa, wasiat dibawa kubur, iya ???"
Lucinda mengeluh kesal, dengan pandangan tertunduk sedih.
"Kenapa aku harus menanggung karma dari wasiat kakek, dan dimana kakek Bekker sekarang ini ???"
Lucinda menyeka kembali sudut matanya yang berair.
"Tuhan... !"
Lucinda memandang sendu arah di depannya lalu menarik nafas dalam-dalam.
"Aku tak sanggup lagi, haruskah aku lari sekarang ?''
Lucinda mengedarkan pandangannya ke arah sekitar area bandara dari bangku duduknya, ini adalah kesempatan baginya untuk kabur dan kenapa dia tidak mengambil kesempatan baik ini jika itu memungkinkan.
Namun kembali bayangan Kevin Jansen yang terbaring diam di tempat tidurnya hadir dibenak Lucinda seakan-akan menari-nari menghantui pikirannya.
Rasa iba menaungi perasaan Lucinda de Vries setiap kali dia teringat akan Kevin yang tak berdaya di ruangan kamar mewahnya.
Ingin rasanya meninggalkan beban penat dihati ini namun hati Lucinda seolah-olah berteriak tak terima akan penderitaan Kevin Jansen yang kini menjadi suaminya itu.
Hati kecilnya yang paling dalam meronta-ronta keras, ingin segera menyingkirkan derita penyakit yang dialami oleh Kevin saat ini.
Lucinda mulai memantapkan dirinya sepenuh hati seraya menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat.
Tatapan sinar Lucinda kembali bersemangat jika dia ingat akan kepeduliannya terhadap masalah Kevin Jansen yang hanya bisa berbaring diam di atas tempat pembaringannya.
"Baiklah, aku harus bersemangat lagi ! Jangan menyerah, pasti ada harapan bagi aku dan Kevin !"
Lucinda memantapkan hatinya sepenuhnya pada keyakinannya bahwa Kevin pasti bisa tertolong olehnya. Dan dia berjanji akan berbuat apa saja demi kesembuhan Raden Mas Ningrat Kevin Jansen.
"Semangat 50 !!!"
Lucinda berteriak penuh tenaga lalu bangkit berdiri dari bangku tunggu di sekitar area bandara Rotterdam sembari mengepalkan tangannya, memantapkan hatinya lebih bersemangat lagi.
"Baiklah, saatnya memulai perang, aku pasti bisa menyembuhkan penyakit aneh yang di derita Kevin."
Lucinda tersenyum manis seraya mengangguk penuh keyakinan kuat.
"Ayo, Lucinda, semangatlah !!!"
Lucinda mengayunkan tangannya kuat-kuat dan berkata lagi.
"Kau pasti bisa, Lucinda !"
Lucinda mengangkat salah satu tangannya ke atas yang terkepal kuat lalu berjalan pergi dari area bandara Rotterdam.