Long Zhu, Kaisar Dewa Semesta, adalah entitas absolut yang duduk di puncak segala eksistensi. Setelah miliaran tahun mengawasi kosmos yang tunduk padanya, ia terjangkit kebosanan abadi. Jenuh dengan kesempurnaan dan keheningan takhtanya, ia mengambil keputusan impulsif: turun ke Alam Fana untuk mencari "hiburan".
Dengan menyamar sebagai pengelana tua pemalas bernama Zhu Lao, Long Zhu menikmati sensasi duniawi—rasa pedas, kehangatan teh murah, dan kegigihan manusia yang rapuh. Perjalanannya mempertemukannya dengan lima individu unik: Li Xian yang berhati teguh, Mu Qing yang mendambakan kebebasan, Tao Lin si jenius pedang pemabuk, Shen Hu si raksasa berhati lembut, dan Yue Lian yang menyimpan darah naga misterius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Dao Sapu, Dao Ubi, dan Hari Pertama
Hening.
Keheningan yang ditinggalkan Zhu Lao jauh lebih menekan daripada raungan Iblis Darah.
Li Xian, Mu Qing, dan Tao Lin berdiri membeku, seperti tiga patung yang baru dipahat. Satu-satunya hal yang bergerak di dataran tinggi itu adalah Shen Hu, yang berjalan ke tumpukan abu yang kini tidak berbahaya dan mengendusnya dengan rasa ingin tahu.
"Baunya seperti ubi hangus," katanya dengan nada kecewa. Dia menoleh ke teman-temannya yang kaku. "Ini bukan untuk dimakan, kan?"
Pernyataan yang sangat polos itu memecahkan ketegangan.
Tao Lin mengembuskan napas yang ditahannya, yang keluar sebagai getaran.
"Bukan... bukan untuk dimakan, Saudara Shen Hu. Itu... kotoran."
"Oh." Shen Hu tampak lega. "Bagus. Karena ubi ku jauh lebih enak."
Li Xian akhirnya bergerak. Tangannya gemetar. Dia melihat sapunya yang setengah hangus, lalu ke tumpukan abu.
Tugasnya masih belum selesai.
Dia berlutut. Dia tidak menggunakan sapu. Dia menggunakan tangannya yang kurus. Dia menyendoki sisa-sisa iblis itu dengan telapak tangannya, membawanya ke tepi jurang, dan membiarkan angin menerbangkannya ke dalam kabut. Itu adalah pekerjaan yang kotor dan merendahkan, tapi setelah melihat apa yang telah mengotori halaman, dia melakukannya dengan fokus yang khusyuk.
Setelah abu terakhir bersih, dia kembali.
Di hadapannya terbentang halaman batu giok putih. Bersih. Sempurna. Dan musuh barunya sapu bambu.
Dia mengambil sapu itu.
Skreee... skreee...
Dia mulai menyapu lagi. Suara itu menggores saraf. Dia menyapu dari kiri ke kanan. Tidak ada debu. Dia menyapu dari kanan ke kiri. Tidak ada debu.
Setelah sepuluh menit, dia melempar sapu itu ke tanah dengan frustrasi yang tertahan.
"Aku tidak mengerti!" teriaknya pada halaman yang kosong. "Ini tidak masuk akal! Bagaimana aku bisa menyapu sesuatu yang tidak ada?!"
Dia menoleh ke Tao Lin, yang sedang mengawasinya dengan intens dari teras.
"Master Tao! Kau... kau mengerti ini, kan? Apa yang dia ingin aku lakukan?"
Mata Tao Lin berbinar, seolah Li Xian baru saja menanyakan pertanyaan paling mendalam di alam semesta. Dia melangkah maju, wajahnya penuh pemahaman yang fanatik.
"Saudara Muda Li!" katanya, suaranya bergetar karena pencerahan. "Jangan kau lihat? Ini adalah berkah! Ini adalah Dao!"
"Dao apa?!"
"Dao Sapu!" seru Tao Lin, merentangkan tangannya. "Leluhur tidak menyuruhmu menyapu debu. Debu itu fana! Tidak penting! Dia menyuruhmu menyapu halaman!"
Li Xian menatapnya kosong. "Itu hal yang sama!"
"Bukan!" bantah Tao Lin. "Halaman ini diciptakan dari Dao murni. Itu sempurna. Tapi kita di sini. Niat kita yang kacau, ketakutan kita, keraguan kita... itulah kotorannya! Leluhur menyuruhmu untuk menyapu konsep ketidaksempurnaan! Untuk menyelaraskan dirimu dengan Dao halaman! Ini adalah teknik Niat yang tak ternilai harganya!"
Li Xian mencoba memproses itu. "Jadi... aku harus... menyapu keraguanku?"
"Tepat!"
Li Xian mengambil sapu itu lagi. Dia mencoba. Dia menyapu, sambil berpikir, Aku tidak ragu! Aku tidak ragu!
Skreee...
Suaranya tetap sama.
Mu Qing, yang telah mengamati dari petak tamannya, akhirnya angkat bicara. Suaranya yang dingin dan jernih membelah omong kosong filosofis Tao Lin.
"Kau terlalu banyak berpikir," katanya pada Tao Lin. Lalu dia menatap Li Xian. "Dan kau terlalu sedikit berpikir."
Mu Qing berjalan mendekat. Dia mengambil sehelai daun kering yang baru saja terbang dari luar dan menjatuhkannya ke halaman yang bersih.
"Ada kotoran," katanya. "Sapu itu."
Li Xian menatap daun itu. Dia menyapunya. Swoosh. Daun itu terbang.
Mu Qing menatapnya. "Bagus. Sekarang halaman ini bersih lagi. Tapi tugasmu adalah menyapu halaman. Bukan 'membersihkan halaman'. Guru kita tidak mengatakan kau boleh berhenti."
Dia berbalik sebelum Li Xian bisa menjawab. "Logikanya... ini adalah ujian ketahanan. Bukan pencerahan. Dia ingin tahu berapa lama kau akan melakukannya sebelum kau menyerah."
Logika dingin itu terasa lebih masuk akal bagi Li Xian daripada "Dao Sapu" milik Tao Lin. Tapi itu juga lebih menakutkan.
"Hanya... menyapu?" tanya Li Xian pelan. "Tanpa tujuan?"
Mu Qing mengangguk sekali. "Itu tujuannya. Hanya menyapu."
Dia kembali ke petak tamannya. Dia menusukkan belati esnya ke tanah, memecah gumpalan tanah yang keras. Dia menemukan ritme. Pecah. Gali. Ratakan. Dia tidak menanam bunga. Dia menanam barisan herbal spiritual dasar yang dia kenali dari pegunungan. Rapi, teratur, dan praktis. Itu adalah Dao-nya.
Tao Lin mendengus. "Pragmatis. Dia tidak melihat gambaran besarnya." Dia kembali ke batu meditasinya di tepi jurang. "Aku akan menenangkan angin."
Dan Shen Hu, setelah ubi pertamanya matang, membawa ubi kedua yang panas dan mengepul. Dia duduk di tangga dapur, tidak terlalu dekat dengan Li Xian agar tidak mengganggunya, tapi cukup dekat untuk menemani.
Dia mengunyah ubi karamel itu.
"Saudara Li," panggilnya.
Li Xian berhenti menyapu. Skreee... "Ya, Shen Hu?"
"Ubi-ku," kata Shen Hu, "harus diputar. Jika aku membiarkannya diam, satu sisi akan hangus dan sisi lainnya mentah. Tidak enak."
Li Xian menatapnya. "Oke...?"
"Tapi jika aku memutarnya terus-menerus," lanjut Shen Hu, "dia tidak akan pernah matang di dalam. Dia hanya akan hangat di luar."
Shen Hu menggigit lagi. "Dao Ubi itu... harus tahu kapan harus memutar, dan kapan harus diam. Kau harus sabar. Tapi kau juga harus melakukan sesuatu."
Dia tersenyum. "Sapumu... mungkin seperti ubi-ku. Kau hanya perlu terus memutarnya. Nanti juga matang."
Dari semua nasihat gila hari itu, nasihat Dao Ubi dari Shen Hu entah bagaimana terasa paling... nyata.
Li Xian menghela napas. Dia melihat ke tiga rekannya yang baru. Satu orang sedang menanam sayuran di taman Dao. Satu orang sedang menenangkan angin di atas batu Dao. Satu orang sedang memanggang ubi Dao.
Dan dia... dia punya Halaman Dao untuk disapu.
Dia mencengkeram gagang sapu bambu itu. Dia mengabaikan Tao Lin. Dia mengabaikan Mu Qing. Dia mendengarkan Shen Hu.
Terus putar.
Dia tidak mencoba menyapu niat. Dia tidak menunggu pencerahan. Dia hanya... menyapu.
Skreee...
Dia memulai dari sudut utara.
Skreee...
Dia menyapu batu yang sudah bersih.
Skreee...
Pukulannya mulai teratur. Satu. Dua. Tiga.
Hari pertama Sekte Langit Abadi telah dimulai. Dan itu diisi dengan suara sapu bambu yang menggores batu yang sempurna, dan aroma samar ubi bakar.
😍💪
💪