Sejak kecil, Anul hanya dikenal sebagai anak yatim piatu tanpa asal-usul yang hidup di sebuah desa kecil. Tubuhnya tak pernah terluka meski dihajar, senyumnya tetap hangat meski dirundung.
Namun, siapa sangka di balik kesederhanaannya tersimpan rahasia besar?
Darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah manusia biasa. Takdir telah menuliskan namanya sebagai pewaris kekuatan yang mampu mengguncang langit dan bumi.
Dari anak yang diremehkan, Anul akan melangkah menuju jalan bela diri, mengalahkan musuh-musuh kuat, hingga akhirnya menaklukkan Sepuluh Ribu Semesta.
Perjalanan seorang yatim piatu menuju takdir yang tak bisa dihindari pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr.Employee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sapuan Badai Mental
Anul terus memusatkan semua kekuatan jiwanya untuk terus mengikis jiwanya sendiri. Saat ini, jiwanya hanya tersisa seperseratus bagian.
"Sedikit lagi..." suaranya berat, mendorong keteguhan hatinya untuk terus bertahan.
Wajah Anul pucat, kekuatan jiwanya semakin melemah. Semakin sedikit sisa jiwa, maka semakin kecil pula kekuatan yang dimiliki olehnya.
Hal ini menyebabkan proses menghancurkan sisa seperseratus bagian jiwanya itu menjadi semakin sulit. Namun dengan tekadnya yang kuat, jiwanya semakin lama semakin mengecil. Hingga akhirnya...
Bang!!
Suara ledakan yang sangat dahsyat bergemuruh bersamaan dengan hancurnya serpihan jiwa terakhir milik Anul.
Setelah suara ledakan itu sirna, tepat di tempat jiwa yang hancur, muncul sebuah kekuatan tak kasat mata.
Kekuatan itu tampak seperti menghisap energi yang tak bisa dijelaskan dengan akal manusia dan perlahan sesuatu muncul dari tengah pusaran yang tercipta.
Dalam waktu singkat, sebuah jiwa baru sudah terbentuk. Jiwa itu sedikit lebih jelas dan padat daripada yang dimiliki Anul sebelumnya.
Pada saat sisa jiwa terakhirnya tadi hancur, ia kehilangan kesadaran—tidak mengetahui apa yang terjadi setelah itu. Ketika kesadarannya kembali, ia terkejut karena mendapati bahwa jiwanya yang baru sudah terbentuk dengan sempurna.
"Apakah ini jiwa baruku?" gumamnya penasaran, mengamati dengan penuh semangat.
Jiwa itu sedikit lebih kokoh dan tentu saja memiliki kekuatan yang melebihi jiwa lamanya.
Apa yang membuat ia semakin terkejut, jiwa yang baru saja terbentuk ulang itu perlahan mulai menghancurkan dirinya sendiri—tanpa perlu melakukan apapun.
Tersenyum puas, ia tahu bahwa Teknik Tubuh Jiwa Semesta sungguh layak untuk dikagumi "Hehe, kenapa aku baru tahu sekarang!" ujarnya bersemangat.
Kecepatan penghancuran diri otomatis itu jauh melebihi siklus pertama yang sebelumnya ia lakukan dengan susah payah. Sedang untuk proses pembentukan ulang jiwa, walaupun ia dalam kondisi kehilangan kesadaran, tapi ia yakin waktunya tidaklah terlalu lama.
Karena, semakin lama jiwa seseorang hancur, semakin banyak pula ingatan yang akan terhapus dalam kehampaan.
Sedangkan Anul?
Dia tidak melupakan sesuatu pun!
Hanya saja, tahap kedua dari teknik ini sedikit 'merepotkan' menurut pandangannya.
"Bagaimana jika saat aku sedang bertarung, tiba-tiba jiwaku hancur?" desahnya lirih sembari memegang dagu. Memikirkan hal itu membuat kepalanya sedikit sakit—kehilangan kesadaran saat situasi genting hanya akan mengakibatkan akhir yang tragis.
Namun kini, ia hanya bisa menunggu proses penghancuran jiwa di siklus kedua ini selesai untuk mengkonfirmasi hal itu.
Satu hari penuh sudah berlalu, siklus kedua penghancuran jiwa menunjukan akan mencapai akhir—kecepatan yang jauh melebihi perkiraannya.
Bang!
Ledakan kembali muncul setelah sisa jiwanya hancur untuk kedua kalinya.
Tapi kali ini... kesadaran Anul tidak menghilang!
Dia dengan jelas bisa melihat kekuatan aneh tak kasat mata muncul tepat di tempat jiwa itu hancur. Daya hisap luar biasa muncul, jiwanya mulai terbentuk ulang dengan sangat cepat. Memastikan hal itu, membuat Anul merasa sedikit lega.
Hanya saja, wajahnya masih sedikit berkerut. "Tapi, jika membutuhkan waktu selama ini, maka butuh tiga puluh tahun untuk menyelesaikan sepuluh ribu siklus sempurna..." gumamnya.
Apakah Ia harus menunggu selama itu hanya untuk mengetahui asal-usulnya?
Pada saat tahap kedua ini mencapai sepuluh ribu siklus, maka ia akan berusia empat puluh enam tahun. Mungkin saja pada saat itu orang tua atau orang yang mengetahui asal-usulnya sudah tiada.
Sebuah perasaan mencekam tiba-tiba menyelimuti dirinya, tengkuknya terasa dingin, bulu-bulu halus di tubuhnya meregang.
Secara Refleks ia mengeluarkan seluruh kekuatan jiwa yang ia miliki untuk melindungi diri.
Segera setelah ia mengeluarkan segenap kekuatan jiwa miliknya, perasaan bahaya itu sirna tanpa jejak.
Pada saat ini Anul berada dalam pertapaan, menyatu dengan semesta. Ruang hampa ini berada di pikirannya, lepas seutuhnya dari dunia luar. Anul yang merasa curiga dengan kejadian barusan, memutuskan untuk segera mengakhiri pertapaannya.
...****************...
Kepala desa yang duduk bersila—dengan dada yang berlubang, menjadi pemandangan pertama yang menyambutnya.
Di sekitar lubang itu, darah yang sudah mulai mengering menodai jubah sang kepala desa, menunjukan bahwa luka itu sudah ada cukup lama.
Di depan kepala desa, berdiri sosok yang sangat ia kenali.
"Mak Ijah!! Apa yang dilakukan Mak Ijah di sana?" batinnya.
Bau anyir darah menyelimuti udara, membuat perutnya bergejolak hebat—hampir muntah. Anul lalu menatap area di sekitar secara perlahan.
Sepi, hanya beberapa yang kini tersisa di lapangan bela diri. Noda darah kering, terhampar di beberapa tempat. Tubuh yang tidak sadarkan diri, bergelimpangan tak berdaya tepat di sekitarnya.
Namun yang menarik perhatiannya, ada beberapa tetua—yang ia kenal baik, pingsan dengan golok dan pedang yang tergeletak di samping mereka. Salah satu tetua itu, tepat berada di belakang tubuhnya yang masih duduk bersila.
Ya, orang-orang itu pingsan karena kekuatan jiwa yang Anul lepaskan sebelumnya.
Setelah mengamati kondisi lapangan bela diri selama beberapa saat, Anul menemukan bahwa jumlah tetua yang ada saat ini hanya tersisa sebelas orang, termasuk kepala desa.
Remaja yang sebelumnya berada di pinggir lapangan, seorang pun sudah tidak tampak batang hidungnya. Sementara orang-orang yang satu generasi dengannya, sudah hilang hampir sebagian.
Para tetua yang tersisa, semuanya memegang senjata kecuali sang kepala desa yang jelas sedang terluka parah.
Apakah ada serangan saat acara perayaan kedewasaan berlangsung?
Tapi siapa yang mau menyerang desa tanpa harta seperti ini?
Kemana orang-orang yang hilang ini pergi?
Pertanyaan demi pertanyaan, muncul bergantian di kepalanya. Mendesak untuk segera menemukan jawaban atas itu semua.
...****************...
Beberapa waktu sebelumnya.
"Ghandi, oh Ghandi... Waktu eksekusi berikutnya sebentar lagi akan segera tiba. Kenapa kau masih keras kepala?" desah Mak Ijah dengan nada sedikit kecewa.
Seperti biasa, Pak Ghandi hanya terdiam tanpa menanggapi perkataan Mak Ijah sedikitpun.
Melihat respon dingin Pak Ghandi, Mak Ijah langsung memberikan kode dengan gerakan tangannya. Lima orang tetua bawahan Mak Ijah langsung mengambil posisi di belakang Anul, Biro, Arum, dan dua orang lainnya yang berada di dekat mereka. Pedang dan golok ditempelkan tepat pada bagian belakang leher kelima orang generasi muda itu.
"Sekarang giliran anakmu. Anakmu hanya satu, tidakkah kau menyayanginya?" Mak Ijah mencoba menggoyahkan keteguhan Pak Ghandi.
"Cuih..!"
Menanggapi perkataan Mak Ijah, Pak Ghandi hanya meludah ke arahnya. Tapi Mak Ijah sama sekali tidak marah atau pun kesal.
Dengan sedikit senyum puas di wajahnya, Ia memerintahkan untuk segera mengeksekusi kelima generasi muda itu. Para tetua yang sudah bersiap sedari tadi, mulai mengangkat senjata mereka secara serentak.
Mata merah Pak Ghandi melotot sampai hampir keluar dari kelopaknya.
Mak Ijah tetap tenang dengan senyum mengerikan menghiasi wajah tuanya.
Tepat saat senjata-senjata itu sudah melewati setengah lintasan ayunan mereka, tiba-tiba sebuah gelombang menyembur keluar dari tubuh Anul.
Gelombang itu bisa terlihat dengan mata, memadatkan udara dan menyapu dalam radius sepuluh meter dengan Anul sebagai pusatnya.
Semua orang yang terkena gelombang itu langsung tidak sadarkan diri dengan mulut yang berbusa. Kondisi yang muncul ketika seseorang terkena serangan jiwa yang sangat kuat, jauh melebihi kekuatan jiwa mereka sendiri.
Mak Ijah dan semua tetua pengkhianat mematung di tempat menyaksikan kejadian aneh itu.
Pak Ghandi juga sama, hanya saja raut lega nampak jelas terukir di matanya. "Badai mental..." gumamnya dalam hati.
Tak berselang lama, mata Anul terbuka. Sorot matanya yang sekarang jauh lebih tajam.
Siapa pun yang menatap mata itu akan bergidik ngeri, seluruh bulu kuduk mereka bergetar hebat, menimbulkan perasaan takut yang tidak bisa dijelaskan.