NovelToon NovelToon
Dulu Kakak Iparku, Kini Suamiku

Dulu Kakak Iparku, Kini Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / CEO / Janda / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.

Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.

Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.

“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

4. Hari Ayah Tanpa Papa

Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang ibu...

selain melihat anaknya menangis karena kehilangan yang tak bisa ia ganti.

Selena menatap Arunika yang tengah berguling di lantai ruang tamu sambil merengek. Rambut si kecil sudah acak-acakan, bonekanya berjatuhan ke mana-mana.

“Sayang... Mama nggak mau kamu nakal, ya?” ucap Selena lembut, menahan lelah. “Mama lagi banyak kerjaan, nanti Mama janji ajak Aru jalan-jalan, ya?”

“Tapi aku mau ke sekolah, Ma! Aku mau ikut acara Hari Ayah!” tangis Arunika pecah lagi. Suaranya serak, matanya merah, dan napasnya tersengal karena terus menangis.

Selena menunduk, menutup wajahnya sejenak. Ia sudah menelepon wali kelas Arunika sebelumnya—guru itu bilang tak apa kalau Arunika tidak hadir, karena memang acaranya khusus untuk anak dan ayah. Tak boleh diwakilkan oleh ibu, nenek, atau siapa pun.

Namun penjelasan itu sulit diterima oleh seorang anak kecil yang hanya ingin seperti teman-temannya.

“Sayang...” Selena berlutut, menatap mata anaknya yang penuh air mata. “Aru kan udah nggak punya Papa, Nak. Kalau ke sana, Aru nanti sendirian...”

Suara itu nyaris bergetar di ujung kalimat. Kata-kata itu seperti pisau—bukan hanya bagi Arunika, tapi juga bagi Selena sendiri.

Anak kecil itu langsung mengamuk. Ia menendang mainannya, memukul bantal, rambutnya kini seperti singa kecil yang marah.

Selena hanya bisa memejamkan mata, menahan tangis yang siap pecah.

Namun tiba-tiba—

sebuah suara terdengar dari arah pintu.

“Aru sayang…”

Suara itu berat, lembut, dan begitu familiar.

Selena menoleh. Di ambang pintu berdiri Daren, dengan kaos yang luarnya menggunakan jaket tak lupa topi di atas kepalanya. Arunika yang semula menangis, kini langsung berlari menghampirinya.

“Depa!” teriaknya dengan suara serak.

Daren jongkok, membiarkan tubuh mungil itu menubruknya dengan tangis penuh kerinduan. Ia memeluk Arunika erat, mengusap punggungnya yang gemetar. Tatapannya kemudian beralih pada Selena—dan di sana ia melihat mata perempuan itu sembab, pipinya basah, meski berusaha tersenyum.

“Kenapa ini?” tanya Daren pelan, masih menggendong Arunika. “Kenapa Aru nangis kayak gini, Len?”

Selena cepat-cepat menggeleng. “Nggak apa-apa, Kak... cuma ngambek kecil aja.”

Daren menatapnya curiga, lalu menunduk pada Arunika yang masih terisak di pelukannya.

“Udah... ssst... Depa ada kok di sini. Aru kenapa, hm? Mau apa?”

“Aku mau ikut ke sekolah, Depa...” ucapnya terisak. "Ada hari Ayah...."

Daren terdiam.

Ia melirik Selena, yang kini menunduk dan menahan tangis di balik tangan.

“Emang ada acara, Len?” suaranya pelan.

Selena mengangguk, tapi suaranya nyaris tak keluar. “Iya... cuma boleh sama ayahnya... jadi Aru nggak bisa ikut.”

Hening.

Suasana seakan berhenti di antara mereka bertiga.

Daren menarik napas panjang, lalu menatap Arunika di gendongannya.

“Kalau gitu... gimana kalau Aru pergi sama Depa aja, hm?”

Kata-kata itu membuat Selena mendongak, cepat-cepat menolak.

“Eh, nggak usah, Kak... nggak enak, nanti dikira—”

“Len,” potong Daren lembut, tapi tegas. “Kasihan dia. Di kelasnya mungkin cuma dia yang nggak bisa ikut. Biar aku aja yang dampingin. Aku nggak masalah.”

Arunika langsung menghentikan tangisannya. Ia menatap ibunya dengan mata besar dan lembab, menunggu jawaban yang terasa seperti vonis bahagia atau patah hati.

Selena terdiam cukup lama.

Dan saat ia melihat wajah kecil itu—yang penuh harap meski masih sembab—air mata itu kembali jatuh juga.

“Iya... boleh,” ucap Selena akhirnya, pelan tapi pasti.

Arunika langsung tersenyum lebar dan memeluk Daren dengan semangat, seolah dunia baru saja memberinya keajaiban kecil.

“Yeay! Makasih, Mama! Makasih, Depa!” teriaknya riang, lalu menarik tangan Daren ke kamarnya. “Ayo Depa, kita siapin baju buat ke sekolah besok!”

Dari ruang tamu, Selena hanya bisa menatap punggung mereka menjauh.

Tawanya Arunika terdengar lagi—tawa yang lama tak ia dengar secerah itu.

Ia tersenyum samar.

Tapi senyum itu bergetar.

"Terima kasih, Kak...” bisiknya pelan, meski Daren tak lagi mendengarnya.

Dalam diam, Selena tahu...

Hari Ayah kali ini akan menjadi awal dari sesuatu yang tak pernah ia duga—

bukan sekadar kebahagiaan anaknya,

tapi juga... gerbang menuju perasaan yang selama ini ia pendam dalam sunyi.

---

Keesokan paginya, udara masih sejuk ketika Daren datang menjemput.

Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan celana jeans biru, tampak sedikit canggung ketika berdiri di depan pagar rumah Selena.

Arunika sudah siap sejak subuh—rambutnya dikuncir dua, tas kecilnya tergantung di bahu, dan di tangannya ia menggenggam kartu buatan sendiri bertuliskan:

“Selamat Hari Ayah.”

Selena menatap dari teras, berusaha menahan senyum sekaligus rasa sesak yang tiba-tiba menyelinap.

“Cantik banget Aru hari ini,” kata Daren sambil menunduk, mengikatkan tali sepatu si kecil.

Arunika tersipu malu. “Depa juga ganteng kayak Papa.”

Selena terdiam. Kalimat polos itu menembus jantungnya seperti jarum halus—tidak menyakitkan, tapi meninggalkan denyut yang sulit dijelaskan.

“Aru pergi sekolah dulu, Ma!” seru Arunika, berlari kecil ke arah Daren.

Selena berjongkok, merapikan sedikit poni anaknya lalu mengecup keningnya lembut. “Hati-hati, ya Sayang. Jangan nakal. Mama tunggu di rumah.”

Arunika mengangguk, lalu menggandeng tangan Daren dengan semangat yang tak bisa disembunyikan.

Senyumnya begitu cerah, seolah dunia yang dulu kelabu kini berwarna lagi.

Dan di detik itu, Selena sadar—Daren telah menggantikan tempat yang kosong tanpa pernah berniat merebutnya.

---

Lapangan sekolah sudah dipenuhi anak-anak dengan ayah mereka masing-masing.

Ada yang memegang layang-layang, ada yang membawa balon, ada pula yang sedang latihan lomba berdua.

Suara tawa, musik ceria, dan teriakan gembira memenuhi udara pagi itu.

Arunika menatap sekeliling dengan kagum.

“Aru kira nggak bisa ikut,” katanya pelan.

Daren tersenyum, berjongkok sejajar dengannya. “Aru boleh nggak punya Papa lagi... tapi Aru nggak sendirian. Depa ada di sini, ya?”

Anak kecil itu mengangguk, lalu memeluknya erat.

“Depa papa Aru hari ini, ya?”

“Selalu,” jawab Daren lembut.

---

Acara pertama dimulai—lomba menggambar “Aku dan Ayah.”

Daren duduk di samping Arunika yang sibuk mewarnai kertasnya dengan krayon warna cerah.

Sesekali ia menatap gambar itu: dua sosok manusia berdiri di bawah pohon besar, tangan mereka saling menggenggam.

Di atas gambar itu, Arunika menulis dengan huruf besar-besar:

“Aru dan Depa.”

Daren menatapnya lama.

Ada sesuatu yang hangat menyelinap di dadanya—sesuatu yang lembut dan menenangkan, tapi juga berat di waktu bersamaan.

Ia teringat almarhum adiknya, Kavi—ayah Arunika—yang dulu selalu tersenyum setiap kali bercerita tentang putrinya.

“Titip Aru, ya, Ren. Kalau aku nggak ada, tolong jaga mereka berdua.”

Daren mengerjap cepat, menelan rasa getir di tenggorokannya.

---

Sementara itu, di kejauhan, Selena berdiri di balik pagar sekolah.

Ia tak sanggup menolak dorongan hatinya untuk datang.

Ia hanya ingin memastikan Arunika benar-benar bahagia.

Dari sana, ia melihat Arunika tertawa lepas—tawa yang sudah lama tak ia dengar.

Anak itu berlari kecil ke arah Daren, memperlihatkan hasil gambarnya.

Daren menunduk, menepuk kepala si kecil, lalu membantunya memperbaiki gambar di sudut kertas.

Dan di saat itulah—mata Selena mulai basah.

Mungkin memang bukan cinta yang dulu lagi...

Tapi Tuhan sedang mengajarkan bahwa kasih bisa tumbuh dari kehilangan yang sama.

---

Ketika acara selesai, Arunika berlari keluar dari gerbang sambil membawa sertifikat kecil bertuliskan “Juara 2 Gambar Hari Ayah.”

“Ma!” serunya riang. “Aru menang! Lihat, Ma! Ini gambar Aru sama Depa!”

Selena berjongkok, menatap kertas itu.

Gambar sederhana, tapi entah kenapa membuat matanya panas.

“Aru hebat banget, Sayang,” katanya lembut. “Mama bangga banget.”

Daren berdiri di belakangnya, tersenyum hangat. “Dia yang hebat, Len. Aku cuma nemenin.”

Selena mendongak, menatapnya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tatapan mereka bertemu lebih lama dari seharusnya.

Ada ucapan yang ingin keluar dari bibir Selena, tapi tak jadi.

Ia hanya berkata pelan,

“Terima kasih, Kak… udah bikin Aru bahagia hari ini.”

Daren tersenyum, menggeleng pelan.

“Aku cuma ngelakuin apa yang Kavi minta... dan apa yang hatiku pengen.”

Seketika, dada Selena bergetar.

Arunika masih sibuk bercerita, tak sadar bahwa di antara dua orang dewasa yang berdiri di atasnya, ada sesuatu yang mulai tumbuh diam-diam—

lembut, tulus, tapi berbahaya kalau diabaikan terlalu lama.

---

Arunika berjalan di tengah-tengah mereka berdua—tangan kirinya menggenggam erat jari Selena, sementara tangan kanannya masih memegang jemari Daren.

Langit siang mulai cerah, sinar matahari jatuh lembut di rambut si kecil yang berayun setiap kali ia melompat riang.

“Depa, Mama, Aru lapar,” katanya polos sambil menatap dua orang dewasa di sampingnya bergantian.

Daren tersenyum kecil. “Lapar, ya? Gimana kalau kita makan es krim dulu?”

“Boleh!” seru Arunika spontan, matanya langsung berbinar. “Tapi Mama juga ikut, ya!”

Selena sempat ingin menolak.

Tapi melihat wajah Arunika yang bersinar dan tangan kecil itu yang belum mau lepas darinya—ia tahu, kali ini tak ada alasan untuk menolak.

“Baiklah,” jawabnya pelan, tersenyum kecil. “Tapi es krim satu aja, nggak boleh banyak.”

“Aku janji, Ma,” balas Arunika cepat-cepat, meniru gaya orang dewasa yang sedang bernegosiasi.

Daren tertawa pelan melihat interaksi itu—ada sesuatu yang hangat, yang selama ini tak pernah ia miliki lagi sejak kehilangan adiknya.

---

Mereka bertiga akhirnya duduk di sebuah kafe kecil dekat sekolah.

Aroma wafel vanila dan kopi baru diseduh memenuhi udara. Arunika duduk di tengah, sibuk mencampur es krim cokelat dan vanila dengan sendok kecil. Sesekali ia tertawa melihat es krimnya tumpah sedikit ke meja.

“Depa! Lihat, es krim Aru kayak gunung!” katanya bangga.

Daren mengangguk pura-pura serius. “Iya, gunung cokelat paling enak di dunia.”

Selena tersenyum samar. Pemandangan itu... seolah mengembalikan waktu. Dulu, saat Kavin masih ada, tawa seperti ini sering memenuhi rumah. Tapi kini, hanya Daren yang mampu membuat tawa itu hidup lagi—tanpa sadar, tanpa rencana.

“Len,” suara Daren memecah lamunannya.

Selena menoleh. “Hm?”

“Terima kasih udah izinin aku dampingin Aru tadi,” ucapnya lembut. “Aku tahu pasti nggak mudah buat kamu.”

Selena menatap meja sejenak, memainkan sendok di tangan.

“Dia bahagia hari ini. Itu aja udah cukup buat aku.”

“Tapi kamu juga berhak bahagia,” balas Daren perlahan.

Nada suaranya tenang, tapi menembus dalam.

Tatapan mata mereka bertemu—cukup lama untuk membuat Selena menelan napasnya pelan.

Ia cepat-cepat mengalihkan pandangan, tersenyum tipis. “Kamu selalu bisa ngomong hal yang bikin aku nggak tahu harus jawab apa.”

Daren tertawa kecil, tapi senyum itu tak sepenuhnya ringan.

Karena jauh di dalam dadanya, ada perasaan yang selama ini berusaha ia kubur—tumbuh lagi, perlahan, setiap kali melihat Selena tertawa dengan lembut seperti itu.

---

Mereka kembali ke rumah setelah Arunika tertidur di kursi belakang mobil, memeluk boneka kecilnya. Wajahnya damai, seolah tak ada satu pun beban yang tersisa.

Daren mengangkatnya hati-hati, membaringkan di kamar milik Arunika.

Selena berdiri di dekatnya, memperhatikan bagaimana laki-laki itu dengan sabar merapikan selimut di tubuh putrinya—seolah benar-benar ayah kandungnya sendiri.

“Dia sayang banget sama kamu,” ucap Selena pelan.

Daren menatap Arunika, lalu berpaling pada Selena. “Aku juga sayang banget sama dia, Len.”

Hening sejenak.

Hanya detik jam dinding dan napas tenang Arunika yang terdengar di antara mereka.

Akhirnya Daren hanya berkata pelan,

“Kalau kamu butuh sesuatu… aku selalu ada di sini, Len.”

Selena mengangguk kecil.

Ia ingin berkata bahwa ia takut—takut mulai terbiasa dengan kehadiran itu, takut berharap, takut jatuh cinta lagi pada seseorang yang dulu begitu dekat dengan masa lalunya.

Tapi semua itu hanya ia simpan sendiri.

Sore itu, sinar matahari terakhir menembus jendela, membingkai tiga siluet di kamar milik Arunika.

Seolah dunia berhenti sejenak, membiarkan mereka menikmati kehangatan yang sederhana—tapi nyaris mustahil untuk tidak diartikan lebih dalam.

Dan di sanalah semuanya dimulai.

Bukan dengan janji, bukan dengan kata cinta,

tapi dengan tatapan yang terlalu lama,

dan kehadiran yang terlalu tulus untuk diabaikan.

1
Reni Anjarwani
doubel up thor
Itz_zara: besok lagi ya🙏
total 1 replies
Favmatcha_girl
lanjutkan thor💪
Favmatcha_girl
perhatian sekali bapak satu ini
Favmatcha_girl
lanjutkan 💪
Favmatcha_girl
cemburu bilang, Sel
Favmatcha_girl
ayah able banget ya
Favmatcha_girl
cemburu ya🤭
Favmatcha_girl
pelan-pelan mulai berubah ya
Reni Anjarwani
lanjut thor doubel up
Itz_zara: besok lagi ya, belum ada draft baru🙏
total 2 replies
Favmatcha_girl
memanfaatkan orang🤭
Favmatcha_girl
Honeymoon Sel
Favmatcha_girl
Dah lama gak liat sunset
Favmatcha_girl
dramatis banget 🤭
Favmatcha_girl
ikutan dong
Favmatcha_girl
ngomong yang keras
Favmatcha_girl
aw terharu juga
Favmatcha_girl
itu mah maunya lo
Favmatcha_girl
Alasan itu
Favmatcha_girl
kenapa yak setiap cowok gitu😌
Favmatcha_girl
Yeyyyy
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!