Leon, pria yang ku cintai selama 7 tahun tega mengkhianati Yola demi sekertaris bernama Erlin, Yola merasa terpukul melihat tingkah laku suamiku, aku merasa betapa jahatnya suamiku padaku, sampai akhirnya ku memilih untuk mengiklaskan pernikahan kita, tetapi suamiku tidak ingin berpisah bagaimana pilihanku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
Yola merasa kalau dirinya memang sudah tidak diinginkan lagi oleh suaminya. Tetapi entah kenapa, dirinya tidak bisa lepas dari Leon.
Terkadang, kalau bisa memutar waktu, Yola berpikir kenapa dulu ia tidak memilih untuk mengejar Yoto saja. Namun waktu sudah berkata lain, dan hal itu tidak bisa diubah.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Yola langsung menghampiri dan merasa kaget setelah melihat siapa yang datang.
“Loh, Yoto? Kenapa ada kamu di sini?”
“Aku ke sini cuma mau bilang selamat ya, atas pernikahan kamu. Aku harap kamu selalu bahagia sama suami kamu. Walaupun aku bukan calon suami kamu, tapi aku bisa merasakan betapa kamu bahagia dengan suami kamu. Aku juga minta maaf soal dulu. Sebenarnya nggak perlu aku jelasin sih, udah masa lalu. Ya udah, aku mau ngomong gitu aja. Kalau gitu, aku pamit. Bye.”
“Tunggu, jangan pulang dulu. Aku mau bicara sama kamu soal dulu. Tapi bukan sekarang waktunya. Maksudnya... gimana ya jelasinnya... aku mau kamu ngomong bentar sama aku, tapi bukan di rumah ini.”
“Terus kau mau ngomong sama aku di mana?”
Yola memikirkan bagaimana caranya bisa berbicara dengan Yoto, karena ini adalah kesempatan langka yang tidak ingin ia sia-siakan. Walaupun terdengar sangat berbahaya, entah kenapa Yola justru berani untuk melakukannya.
“Sebentar ya, aku ganti baju dulu. Kamu tunggu di sini aja, nanti aku kasih tahu kita akan pergi ke mana.”
“Oke, aku tunggu kamu.”
Lima menit kemudian...
Yola datang dengan pakaian rapi, menghadap ke arah Yoto. Entah kenapa, penglihatan itu membuat Yoto kangen akan masa lalu. Namun ia tahu, dirinya tidak bisa kembali lagi ke masa lalu.
“Udah siap? Kalau udah, ayo kita masuk ke dalam mobil.”
“Udah kok. Tapi aku mau kunci rumah dulu, ya.”
Yoto yang menunggu di dalam mobil hanya diam saja. Tetapi entah kenapa, dirinya merasa Yola banyak berubah selama menikah. Ia terlihat lebih cantik, meski dulu pun sudah cantik.
Terkadang, seseorang yang tidak bisa dimiliki memang terlihat lebih indah dibanding seseorang yang dimiliki. Bagi Yoto, memiliki atau tidak memiliki Yola tetaplah sama—ia tetap terlihat indah.
Sesampai di tempat nasi goreng, tempat yang dulu mereka makan bersama saat SMA, Yoto merasa bingung dengan Yola. Padahal awalnya ia hanya ingin berpamitan, tapi mengapa sekarang jadi terasa semakin dekat.
“Yoto...”
“Ya, kenapa?”
“Kita makan di sini dulu ya. Soalnya aku belum makan tadi. Suami aku belum pulang jadi aku nggak makan, aku nungguin dia udah 3 jam. Tapi itu udah biasa sih. Memang suami aku sering lembur. Tapi nggak apa-apa, seenggaknya dia selalu ngasih kabar.”
Yoto mendengar itu dan merasa kesal. Namun entah kenapa, dirinya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Yola sudah bukan pacarnya lagi.
Ia harus siap menerima konsekuensi itu. Tidak semua urusan Yola bisa dicampuri olehnya lagi.
“Kamu masih sama ya kayak dulu. Setiap aku cerita apa pun, kamu diam aja dan nggak pernah ikut campur. Entah kenapa sifat kamu itu masih sama aja. Tapi pas kamu ninggalin aku... bagi aku itu nggak sama aja sih. Ya, tapi aku juga nggak bisa nuntut kamu buat kasih tahu aku. Mungkin aku memang bukan orang yang penting di hidup kamu.”
Yoto yang mendengar itu hanya diam. Mungkin memang dirinya salah karena tidak berpamitan dulu. Padahal ia sempat menelepon Yola, hanya saja telepon itu tidak diangkat.
Walau bagaimanapun, mereka berdua memiliki kesalahan. Namun mereka tidak sadar, bahwa keduanya sama-sama salah, bukan hanya salah satu dari mereka.
“Kamu mau pesan apa? Nasi goreng biasa ya, yang pedas itu?”
“Iya, boleh. Makasih ya, Yola, udah pesenin.”
“Iya, sama-sama.”
Yoto memang sama seperti dulu. Tapi entah kenapa, sifatnya terasa lebih dewasa dan wajahnya makin tampan. Yola menyadari, sejak dulu sebenarnya Yoto sudah tampan, hanya saja ia tidak sadar.
“Kamu udah ada pacar sekarang?”
“Enggak sih. Aku masih fokus kerja aja, soalnya baru selesai studi S2. Kamu sendiri gimana, udah S berapa sekarang?”
“Aku nggak kuliah. Aku langsung nikah sama suami aku. Udah 7 tahun kami menikah, tapi kami masih belum dikaruniai anak. Aku sempat keguguran kemarin. Tapi nggak apa-apa, mungkin itu kelalaian aku sendiri, bukan salah suami aku.”
Yoto merasa heran. Mengapa pernikahan Yola terdengar seperti bukan keinginannya sendiri? Tapi melihat cara Yola bercerita, ia tahu bahwa Yola mencintai suaminya sangat dalam.
“Kamu sayang banget ya sama suami kamu. Dari tadi aku dengar, kayaknya kamu selalu ngebela dia setiap ada masalah apa pun.”
“Bukan ngebelain sih. Tapi emang dia orangnya baik. Aku juga percaya kalau dia setia sama aku. Entah kenapa ya, setiap aku butuh apa pun, dia selalu ada.”
“Baguslah kalau dia selalu ada. Nggak kayak aku, yang tiba-tiba menghilang. Tapi aku udah cukup bahagia kok, lihat kamu bahagia. Karena aku sayang sama kamu, dan itu udah cukup buat aku.”
Yola merasa kesal dengan sifat pasrah Yoto. Tapi entah kenapa, justru sifat itu membuatnya sadar bahwa dulu mungkin ia hanya mencintai sendirian. Yoto tidak benar-benar mencintainya.
Yoto diam saja, menunggu makanan datang. Tak lama, handphonenya berdering dari kantor. Ia mengangkat telepon itu di depan Yola.
“Malam, Pak. Besok ada meeting dengan klien baru jam 10.00 pagi, bagaimana?”
“Besok jam segitu saya nggak ada rapat dengan siapa pun, kan?”
“Nggak ada, Pak. Besok Bapak free. Tapi mohon maaf, kalau misalkan ada klien yang minta rapat dadakan.”
“Nggak apa-apa. Itu bukan salah kamu kok. Lagian, besok berarti saya harus selesaikan tugas saya supaya bisa libur dua minggu. Soalnya saya merasa butuh liburan.”
Yola mendengar itu dan merasa takjub. Ternyata pria masa lalunya kini jadi pria yang sibuk dan berwibawa. Ia tidak menyangka, Yoto bisa menjadi seperti itu.
Setelah telepon ditutup, Yoto menatap Yola. Namun Yola tidak sedikit pun berpaling.
“Kenapa? Ada yang aneh ya sama muka aku? Kayaknya dari tadi kamu lihat muka aku terus.”
“Kamu kerja apa sih? Kayaknya sibuk banget.”
“Enggak kok. Itu cuma rapat doang. Biasalah, kerjaan. Kalau nggak ada rapat ya tugas. Kalau nggak ada tugas ya rapat. Kalau nggak rapat ya pertemuan. Begitu-begitu aja lah siklus hidup kerja.”
“Melihat kamu udah berubah dan jadi orang dewasa kayak sekarang, bikin aku sadar sih. Betapa cemerlangnya kamu. Betapa bersinarnya kamu, dari dulu sampai sekarang.”
Yoto yang mendengar itu hanya tersenyum. Rasanya ia ingin mendekap erat wanita di depannya. Tapi ia tahu, wanita itu sudah menjadi istri orang.
Begitu juga Yoto, rasa ingin tahunya tentang Yola sangat besar. Ia ingin tahu kesibukan Yola, kehidupan pernikahannya, dan hal-hal kecil bersama suaminya. Tapi semua itu terbatas, karena ia sadar: ada batasan saat berhadapan dengan istri orang lain.
Makanan pun akhirnya disajikan. Yoto mulai makan, sementara Yola menatapnya.
“Yoto, aku minta makanan kamu boleh nggak?”
“Boleh, ambil aja. Kalau kamu suka, biar nanti aku pesan lagi.”
“Ya udah deh... kalau emang nggak boleh, kayaknya kamu segitu jijiknya banget sama aku.”
“Bukan jijik. Kamu kan udah jadi istri orang. Aku juga tahu batasan di mana kita bisa dekat, dan di mana nggak. Lagian, sekarang kita berteman. Jadi kita juga harus tahu konsekuensi dan batasnya.”
Begitu Yola mendengar perkataan Yoto, kenapa hatinya terasa sedih? Ia merasa seperti sudah tidak bisa lagi dekat dengan Yoto.
“Kalau waktu bisa diputar... kamu masih mau nggak sama aku?”
Yola kaget dengan pertanyaan yang ia lontarkan sendiri. Kenapa ia bertanya hal seperti itu kepada pria masa lalunya?
Yoto mendengar itu dan merasa kaget. Ia tidak bisa menjawab apa-apa. Namun di dalam hatinya, ia merasa bahagia mendengar pertanyaan itu.