Menjadi seorang Guru adalah panggilan hati. Dengan gaji yang tak banyak, tetapi banyak amanah. Itulah pilihan seorang gadis bernama Diajeng Rahayu. Putri dari seorang pedagang batik di pasar Klewer, dan lahir dari rahim seorang ibu yang kala itu berprofesi sebagai sinden, di sebuah komunitas karawitan.
Dari perjalanannya menjadi seorang guru bahasa Jawa, Diajeng dipertemukan dengan seorang murid yang cukup berkesan baginya. Hingga di suatu ketika, Diajeng dipertemukan kembali dengan muridnya, dengan penampilan yang berbeda, dengan suasana hati yang berbeda pula, di acara pernikahan mantan kekasih Diajeng.
Bagaimana perjalanan cinta Diajeng? Mari kita ikuti cerita karya Dede Dewi kali ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dede Dewi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengantin Pengganti
Pagi yang ditunggu telah tiba. Diajeng sudah dirias sedemikian rupa oleh tim MUA pilihan bu Khadijah. Jilbab putih, kebaya putih dan jarik batik motif sidomukti yang berarti kemakmuran, menjadikan pakaian adat Solo ini sebagai bagaian dari doa yang baik untuk kedua mempelai. Diajeng sudah duduk manis di kursi rias dengan pantulan wajah yang telah selesai di make up. Waktunya untuk menjadi single tinggal setengah jam lagi, Diajeng merasakan detakan jantungnya semakin kencang berirama.
"Mbak Ajeng, grogi ya." goda sang MUA.
Diajeng hanya tersenyum canggung. Dia menoleh ke arah rias pengantin putra, tinggal setengah jam lagi, waktu ijab qobul harusnya dilaksanakan, tetapi sang pengantin pria belum juga datang ke gedung untuk persiapan dirias. Ada perasaan khawatir, campur kecewa, karena pernikahan yang selama ini dirindukannya belum ada tanda-tanda kelancaran.
"Ya, halo? Gimana Nif? Ini tim MUA sudah menunggu." kata pak Sabari yang sibuk wira wiri menelpon sahabatnya.
"O, ya sudah. Kutunggu ya." kata pak Sabari sambil menutup panggilan teleponnya.
"Bagaimana pak?" tanya koordinator juru MUA.
"Sebentar lagi, mereka akan meluncur ke sini mbak." jawab Pak Sabari.
Lima belas menit kemudian, rombongan dari keluarga Hisyam telah tiba di gedung Resepsi. Dua mobil telah tiba di depan gedung, memunculkan sosok pak Hanif bersama istri, Raka bersama Nisa dan bu Narti. Serta beberapa kerabat lainnya. Namun, pak Sabari belum menemukan mobil pengantin, beserta pengantin prianya.
"Hanif." Dengan segera pak Sabari mendatangi pak Hanif yang baru saja keluar dari mobil Fortuner miliknya.
"Nif, mana Hisyam? Dia harus dirias dulu Nif." kata pak Sabari dengan raut wajah panik.
"Kita tunggu dulu ya. Hisyam belum ada kabar lagi, sejak kemarin dia ke Tawangmangu, ada kabar bencana dari sana. Adik kandung dan keponakannya terperangkap di sana. Ijah dan Hisyam nekad ke sana demi menjemput Timah, adik Hisyam satu-satunya dan juga Rangga, cucu Ijah satu-satunya." jawab Hanif.
"Astaghfirullah Nif, kenapa kamu ga cegah mereka? Hisyam 'kan harus melangsungkan pernikahan pagi ini juga." kata pak Sabari.
"Udah, Ri. Tapi aku tau gimana jadi mereka. Mereka jelas ga akan tinggal diam melihat dan mendengan kondisi Timah di sana. Makannya mereka nekad ke sana." jelas Hanif.
"Terus, Hisyam menjamin, kalau dia bakan bisa datang saat ijab qobul?" tanya Pak Sabari.
Kali ini pak Hanif hanya menunduk dan menggeleng, seketika membuat jantung pak Sabari bekerja lebih cepat. Dia jelas membayangkan, bagaimana perasaan Diajeng, putri bungsunya harus menelan kekecewaan. Dia sudah terlihat sangat bahagia karena dia akan berhasil duduk di kursi pelaminan dan meneguk nikmatnya berumah tangga. Namun nyatanya, sang mempelai pria belum juga datang, bahkan tidak ada jaminan dia akan datang.
"Tapi..." seketika suara Hanif tercekat, membuat pak Sabari menoleh ke arahnya, menaruh harap pada kalimat lanjutannya.
"Hisyam sudah berpesan, jika sampai waktunya ijab qobul, Hisyam belum ada kabar, maka Hisyam ikhlas untuk tidak jadi menikah dengan Diajeng." katanya.
"Apa? Terus, anakku nasibnya gimana, Nif? Dia akan menanggung malu dong. Mana ada pernikahan tetap berlangsung, dengan tanpa adanya mempelai laki-lakinya?" pak Sabari mulai meninggi nadanya. Dia sangat kecewa dengan keputusan Hisyam.
"Itu dia. Hisyam tidak ingin Diajeng menunggu, dia tidak ingin Diajeng terlalu berharap padanya. Maka, Hisyam sudah menentukan pengantin pengganti untuk Hisyam." kata pak Hanif.
"Yang benar aja Nif, ini bukan acara pengajian, yang ketika pembicaranya berhalangan hadir kemudian digantikan dengan penggantinya. Atau seperti acara seminar, ketika sang narasumber berhalangan hadir bisa diganti. Ini ijab qobul Hanif, bukan sekedar mengisi acara ijab qobul. Tetapi ini akan menentukan takdir sampai hari tua mereka. Ini akan merubah status haram menjadi halal, Hanif." debat pak Sabari masih tidak terima.
"Hisyam sudah mempertimbangkan semuanya, sebelum dia pergi bersama ibunya."
Saat mereka masih debat, seorang panitia dari keluarga Diajeng mendekati Pak Hanif dan pak Sabari yang kini sedang berdiri di depan ruang ganti pengantin di sebelah gedung utama.
"Maaf pak Bari, pak penghulu sudan datang." lapornya.
Pak Hanif dan pak Sabari saling pandang, untuk kesekian kalinya, hingga kemudian pak Sabari mengangguk dan berjalan menemui sang penghulu, sedangkan pak Hanif mencoba menghubungi rekan seprofesinya yang sedang bertugas mengevakuasi korban bencana tanah longsor di Tawangmangu.
"Halo, gimana dok, apakah ada perkembangan informasi tentang keluarga saya yang jiga berada di sana?" tanya Pak Hanif.
"Ada? Atas nama siapa dok?" tanya pak Hanif dengan darah yang berdesir hebat.
"Fatimah Azzahra? Lalu, atas nama Muhammad Hisyam, bagaimana dok?" tanyanya khawatir.
"Apa??"
"Innalillahi wainnailaihi roji'un." gumam pak Hanif lirih, dengan ponselnya yang hampir saja jatuh dari genggaman.
"Pakde, pakde Hanif, ada apa Pakde?" tanya Raka yang sudah sigap dengan kondisi pak Hanif. Raka segera mengambil alih ponselnya pak Hanif.
"Halo, saya Raka. Maaf, ada kabar apa dari Tawangmangu?" tanya Raka.
"Innalillahi wainnailaihi roji'un. Biak dok, Terimakasih atas informasinya." kata Raka sambil menutup ponselnya.
"Raka."
"Ya pakde?"
"Masuklah ke gedung nak." titah pak Hanif.
"Untuk apa pakde? Bukankah kita akan sampaikan pada pak penghulu, bahwa pernikahannya dibatalkan pakde?" tanya Raka, Seketika pak Hanif menggeleng, membuat Raka terkejut.
"Lalu, bagaimana dengan mas Hisyam pakde? Mas Hisyam 'kan...." kalimat Raka tak kuasa dilanjut. Ada duka yang mendalam dalam dadanya mendengar kabar dari dokter di seberang.
"Kamu lanjutkan acara ini, kamu gantikan dia ya." kata pak Hanif sambil menepuk pundak Raka.
"Sa saya? Saya menggantikan mas Hisyam?" tanya Raka sambil jari telunjuknya menunjuk mukanya sendiri.
"Iya. Kamu."
"Tapi pakde..." tolak Raka dengan ragu.
"Tidak ada waktu Raka. Masuklah!" kata Pak Hanif.
"Tapi Pakde... saya hanya bertugas ngarei manten." tolak Raka.
"Hisyam memilihmu." kata pak Hanif lagi.
"Tapi Pakde..."
Pak Hanif mengangguk, dan berujar
"Ini pesan Hisyam kemarin." kata pak Hanif.
Raka memandang pak Hanif cukup lama.
"Bu Narti." panggil pak Hanif pada ibunda Raka yang sejak tadi berdiri bersama Nisa tak jauh dari mereka.
"Ya pak Hanif?" jawab bu Narti sopan.
"Ijinkan putramu untuk menikah hari ini ya." kata pak Hanif tak luput untuk meminta restu kepada orangtua Raka.
"Ta tapi pak Hanif..." Bu Narti ragu, menoleh ke arah Raka.
"Ini pesan Hisyam."
"Mas Hisyam memangnya kenapa pak Hanif?" tanya bu Narti belum mengerti.
"Hisyam tidak bisa datang ke acara ini."
"Tapi pak..."
"Kau ridhoi dia, agar pernikahannya berkah!" titah pak Hanif yang tak berani dibantah bu Narti sekeluarga.
Mereka sudah dipanggil oleh panitia acara, dan dengan segera pak Hanif beserta rombongannya memasuki gedung resepsi yang di depan sudah disiapkan meja kursi untuk ijab qobul.
Sesuai reequest dari Hisyam, konsep pernikahan ini adalah konsep syar'i, dimana pengantin perempuannya tidak disandingkan dengan mempelai laki-laki. Diajeng masih duduk di ruang riasnya. Hingga saat ijab qobul telah selesai diucapkan, barulah Diajeng keluar dari ruangannya.
"Maaf, mas, apakah anda yang bernama Muhammad Hisyam?" tanya pak penghulu.
"Maaf pak, dia bernama Raka Nugraha, dia yang akan menggantikan Muhammad Hisyam." kata pak Hanif, meninggalkan tanya pada penghulu tersebut.
"Maaf, mas Muhammad Hisyam nya, ke mana ya pak?" tanya penghulu.
"Baru saja, kami mendengar kabar, bahwa dia telah wafat pak." jawab pak Hanif dengan suara berat.
"Innalillahi wainnailaihi roji'un." seketika gemuruh suara orang-orang disekitar menggema.
"Jadi, ini acara ijab qobul tetap berjalan? Dengan pengantin penggantinya, mas Raka Nugraha?" tanya pak Penghulu.
"Benar pak." jawab Pak Hanif.
"Apakah hal ini sudah disetujui dari pihak mempelai wanita?" tanya penghulu.
"Sudah pak." kali ini pak Sabari yang menjawab, seketika pak Hanif menoleh pada pak Sabari, dan memberi isyarat ucapan Terimakasih kepadanya.
"Boleh pinjam KTP nya, mas?" tanya pak penghulu. Raka segera merogoh dompetnya yang kusam, termakan usia, dia cabuk kartu identitasnya berwarna biru itu.
"Ini pak." kata Raka sambil mengodorkan kartu identitas birunya.
"Baik, pak Sabari, bisa dimulai acara ijab Qobulnya." kata pak penghulu.
"Baik, pak." jawab Pak Sabari sambil menerima mikrofon dari pak penghulu.
"Bismillahirrohmanirrohim, saudara Raka Nugraha, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan putri saya Diajeng Rahayu binti Sabari, dengan mahar uang lima juta, lima ratus lima puluh lima ribu lima ratus rupiah dan lima puluh gram emas dibayar tunai." kata pak Sabari.
"Saya terima nikah dan kawinnya Diajeng Rahayu binti Sabari, dengan maskawin tersebur, tunai." jawab Raka dengan lantang dalam satu tarikan nafas.
typo kah????