Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.
Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.
Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.
Yuk, simak kisahnya di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Usia 7 bulan kehamilan
Beberapa bulan berlalu, kehamilan Hana kini memasuki usia tujuh bulan. Perutnya semakin membesar, langkahnya sedikit berat, namun ada cahaya baru yang tampak di wajahnya. Setiap pagi, ia lebih sering tersenyum, meski dalam diam hatinya masih menyimpan rasa ragu tentang rasa cinta yang tumbuh perlahan kepada suami yang sejatinya bukan sepenuhnya miliknya.
Hari itu adalah jadwal kontrol kehamilan. Awalnya Hana akan pergi ditemani Jamilah, seperti biasanya. Namun pagi itu, saat Hana bersiap dengan pakaian sederhana dan jilbab longgar, Hansel tiba-tiba menghampirinya.
“Biar aku yang antar,” ucap Hansel singkat, Hana sempat tertegun, bahkan Jamilah pun terkejut. Namun Hansel tidak memberi ruang untuk penolakan. Dengan tenang ia meraih tas kecil milik Hana, lalu mempersilakan istrinya itu untuk masuk ke dalam mobil.
Perjalanan menuju rumah sakit dipenuhi obrolan kecil. Hansel menanyakan apakah Hana sering merasa lelah, apakah ada makanan yang ia idamkan, bahkan tentang tidur malamnya yang kadang terganggu. Semenjak Hana hamil, perhatian Hansel memang berubah. Dia lebih lembut, lebih sabar, bahkan kerap menuruti permintaan kecil Hana tanpa banyak protes. Tanpa sadar, suasana itu membuat Hana merasa nyaman.
Di ruang pemeriksaan, dokter mulai melakukan USG. Hana berbaring di ranjang, matanya menatap layar monitor yang menampilkan sosok mungil yang bergerak di dalam rahimnya. Jantung kecil itu berdetak cepat dan penuh kehidupan. Hansel yang berdiri di sampingnya menatap layar itu tanpa berkedip. Matanya berbinar penuh kebahagiaan. Lalu, tanpa sadar, ia meraih tangan Hana dan menggenggamnya erat.
“Ini … detak jantung anak kita,” bisiknya lirih, seolah berbicara kepada dirinya sendiri. Senyum bahagia itu begitu tulus hingga menusuk hati Hana. Dan saat dokter menjelaskan perkembangan janin yang sehat, Hansel tiba-tiba menunduk, mengecup kening Hana dengan lembut.
Hana membeku, dadanya bergemuruh. Ia ingin memalingkan wajahnya, namun hatinya menolak. Ia justru menatap Hansel, menatap senyum bahagia pria itu yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Setelah pemeriksaan selesai, Hansel dengan sigap membantu Hana bangun. Tangannya melingkari bahu istrinya itu, menuntunnya perlahan. Sebelum keluar ruangan, Hansel menoleh, menatap Hana, lalu berbisik dengan suara bergetar.
“Terima kasih … sudah merawat bayi ini dengan baik.”
Kata-kata itu sederhana, tapi bagi Hana terasa seperti pengakuan cinta. Di balik rasa syukurnya, muncul keinginan egois keinginan untuk memiliki Hansel sepenuhnya. Dalam hatinya ia bergumam, 'Bukan hanya bayi ini yang ingin aku jaga. Aku ingin menjaga hatimu juga, Mas … meskipun aku tahu ada Nyonya Laudya di antara kita.'
Setelah pemeriksaan selesai, Hansel mengajak Hana untuk mampir makan siang di sebuah restoran tenang di pusat kota. “Kamu pasti lapar,” ucapnya sambil menyetir pelan, “sekalian kita rayakan bayi kita sehat.”
'Iya, bayi kita ... ini bayi kita Mas,' Hana tersenyum berulang kali mendengar kata itu dari mulut Hansel. Hana lalu mengangguk pelan, hatinya masih diliputi rasa bahagia bercampur getar yang aneh akibat perlakuan Hansel di ruang USG tadi. Dia tak bisa berhenti memikirkan kecupan di keningnya, juga genggaman tangan yang begitu hangat.
Mereka tiba di sebuah restoran elegan. Hansel dengan sigap menarik kursi untuk Hana, lalu memesan makanan yang ia tahu cocok untuk ibu hamil. Sesekali ia menanyakan apakah Hana nyaman, apakah kursinya terlalu keras, atau apakah ia ingin tambahan bantal di punggung. Semua perhatian itu membuat Hana tak bisa menahan senyumnya. Namun, kebahagiaan kecil itu buyar seketika.
Dari meja lain yang tak jauh, terdengar suara riang sekelompok wanita. Hana menoleh, dan matanya langsung bertemu dengan sosok Laudya. Wanita itu duduk bersama beberapa rekannya sesama artis, wajahnya cantik meski terlihat letih, namun matanya langsung menangkap pemandangan di hadapannya, suami yang ia cintai, tengah makan siang bersama wanita yang sedang mengandung bayi mereka.
Laudya tertegun, dadanya bergemuruh. Teman-temannya pun ikut menyadari arah pandangan Laudya, lalu mengikuti sorot matanya.
“Eh, itu bukannya suamimu itu, Laudya? Siapa tuh perempuan di sebelahnya?” salah seorang rekan artis bertanya dengan nada penasaran.
“Kelihatan mesra sekali, ya … Tuan Hansel kan?” sahut yang lain sambil tersenyum penuh arti. Hansel terkejut begitu teman-teman Laudya menyapanya. Dia refleks berdiri dan melihat istrinya yang terus menatapnya dengan pandangan tajam. Hana hanya bisa menunduk, jantungnya serasa mau meloncat keluar.
Laudya menegakkan tubuhnya, lalu tersenyum kaku.
“Oh, iy … benar, itu suamiku. Dan perempuan itu…” ia berhenti sejenak, menahan gejolak emosi, “istri dari rekan bisnis kami yang sedang dinas di luar kota. Mereka titipkan dia sementara pada kami.”
Sejenak keheningan menyelimuti. Teman-teman Laudya tampak saling pandang, tidak sepenuhnya percaya. Tapi karena status Laudya sebagai figur publik, mereka memilih menelan saja penjelasan itu.
“Ohh … begitu ya. Pantas, aku kira tadi…” salah satu dari mereka terkekeh canggung, mencoba mengalihkan topik. Hansel menahan napas panjang. Ia tahu betul tadi hampir saja rahasia mereka terbongkar. Makan siang itu pun berakhir dengan cepat. Hana lebih banyak diam, menyadari kehadirannya hanya memperburuk keadaan. Hansel mengantar Hana pulang lebih dulu, lalu menyusul kembali ke kantor sebelum akhirnya malam menjelang ia pulang ke rumah bersama Laudya.
Malam itu, ketegangan tak bisa dihindari.
Di kamar mereka, Laudya membuka suara dengan nada dingin.
“Kamu hampir saja membuat masalah besar, Mas. Kalau tadi ada satu saja yang curiga lebih jauh, gosip itu bisa tersebar ke mana-mana. Dan kamu tahu sendiri, reputasimu … bisa hancur.”
Hansel melepas jasnya dengan gerakan kasar. “Aku tidak berniat mempermalukanmu, Laudya. Aku hanya ingin memastikan Hana dan bayi itu baik-baik saja.”
“Dengan cara makan berdua di restoran umum?!” Laudya meninggikan suaranya. “Kamu tahu aku setuju dengan pernikahan ini demi seorang anak. Demi kita ... bukan untuk kamu pamerkan perhatianmu kepada Hana di depan orang lain!”
Hansel terdiam, menatap wajah istrinya. Ada lelah sekaligus luka di sana. Ia menarik napas panjang, menahan diri agar tak terpancing.
“Laudya…” suaranya melembut, “aku minta maaf. Aku tidak berpikir sejauh itu. Aku hanya ingin menemaninya dan itu tidak lebih.”
Namun, sorot mata Laudya tetap tajam. “Ingat satu hal, Mas. Aku rela karena aku ingin bayi itu. Tapi aku tidak rela jika kamu mulai … terbawa perasaan. Jangan sampai aku menyesal dengan keputusan yang sudah kita buat.”
Keheningan panjang menyelimuti kamar. Hanya suara napas mereka berdua yang terdengar. Hansel berbaring di ranjang tanpa menjawab, sementara Laudya membelakangi suaminya, menutup mata meski hatinya bergetar hebat.
'Maafkan aku Laudya ... tapi kini aku sudah memakai perasaan ... aku jatuh cinta pada kelembutan Hana, pada kepedulian Hana yang jarang aku liat dari kamu. Aku minta maaf sudah berbohong padamu, Laudya.' Hansel menghela napas berat, lalu turun dari ranjang, melihat tak ada pergerakan dari Laudya lagi, perlahan dia keluar kamar. Langkah kaki Hansel menuntun ke kamar tamu, kamar di mana kini di tempati oleh Hana sejak dia hamil.
Mampir ke sini juga ya kakak...
udah lah Ray kalo gua jadi lu gaya bawa minggat ke Cairo tuh si Hana sama bayinya juga, di rawat di rumah sakit sana, kalo udah begini apa Laudya masih egois mau pisahin anak sama ibu nya
Rayyan be like : kalian adalah manusia yg egois, kalian hanya memikirkan untuk mengambil bayi itu tanpa memikirkan apa yg Hana ingin kan, dan anda ibu jamilah di sini siapa yg anak ibu sebenarnya, Hana atau Laudya sampi ibu tega menggadaikan kebahagiaan anak ibu sendiri, jika ibu ingin membalas budi apakah tidak cukup dengan ibu mengabdikan diri di keluarga besar malik, kalian ingin bayi itu kan Hansel Laudya, ambil bayi itu tapi aku pastikan hidup kalian tidak akan di hampiri bahagia, hanya ada penyesalan dan kesedihan dalam hidup kalian berdua, aku pastikan setelah Hana sadar dari koma, aku akan membawa nya pergi dari negara ini, aku akan memberikan dia banyak anak suatu hari nanti
gubrakk Hansel langsung kebakaran jenggot sama kumis 🤣🤣🤣
biar kapok juga Jamilah
Pisahkan Hana dari keluarga Malik..,, biarkan Hana membuka lembaran baru hidup bahagia dan damai Tampa melihat orang" munafik di sekitarnya
Ayo bang Rey bantu Hana bawa Hana pergi yg jauh biar Hansel mikir pakai otaknya yang Segede kacang ijo itu 😩😤😏
Hana buka boneka yang sesuka hati kalian permainkan... laudya disini aku tidak membenarkan kelakuan mu yang katanya sakit keras rahim mu hilang harusnya kamu jujur dan katakan sejujurnya kamu mempermainkan kehidupan Hana laudya... masih banyak cara untuk mendapatkan anak tinggal adopsi anak kan bisa ini malah keperawatan Hana jadi korban 😭 laudya hamil itu tidak gampang penuh pengorbanan dan perasaan dimana hati nurani mu yg sama" wanita dan untuk ibunya Hana anda kejam menjual mada depan anakmu demi balas budi kenapa endak samean aja yg ngandung tu anak Hansel biar puas astaghfirullah ya Allah berikanlah aku kesabaran tiap baca selalu aja bikin emosi 😠👊