Tentang Dukun Santet Legendaris — yang berjaya dalam Mengusir Belanda, Tiga Abad Silam.
Tapi nasibnya berakhir tragis: dibakar hidup-hidup hingga arwahnya gentayangan
Sampai tahun 2025..
Jiwa LANANG JAGAD SEGARA:
tiba-tiba tersedot ke dalam tubuh ADAM SUKMA TANTRA, seorang INTERPOL Jenius, Muda dan Tampan.
Syarat tinggal di tubuh itu: cari dalang di balik pembunuhan Adam.
Maka dimulailah petualangannya menyelidiki kasus-kasus kriminal dengan cara aneh: Lewat Santet, Jimat Ghoib, dan Mantra Terlarang yang tak sesuai zaman. Tapi, justru cara kuno ini paling ampuh dan bikin partnernya cuma bisa terpana.
“Lho, kok jimatku lebih nendang daripada granat?!” — ujar Lanang, si Dukun Gaptek yang kini terjebak dalam lumpur misteri masa lalu.
Sanggupkah ia mewujudkan keinginan Jiwa asli sang pemilik tubuh?
Atau jangan-jangan justru terhantui rasa bersalah karena ternyata, penyebab Matinya Adam masih....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Ritual Intra Pati
***
“Jadi, bagaimana caranya kita bisa tahu siapa pencuri sepatu Adam?” Bryan akhirnya membuka suara setelah cukup lama diam. Nada suaranya masih menyimpan sisa kekesalan. “Kalau kau saja tidak bisa memberi ciri-ciri yang jelas, lalu kita harus mencari dengan cara apa?”
Lanang tersenyum tipis, tampak santai. “Itu mudah. Kita hanya perlu pergi ke kantor pusat kalian. Aku bisa melihat satu per satu orangnya. Jika wajahnya muncul, aku pasti mengenalinya.”
Bryan melirik sekilas. “Semudah itu?”
“Ya, semudah itu,” jawab Lanang mantap.
Bryan menghela napas panjang. “Baiklah. Kita berangkat sekarang.”
Mereka segera pergi. Bagaimanapun caranya, mestika itu harus segera ditemukan.
Mobil melaju menembus jalanan kota. Di dalam kabin, suasana sempat hening beberapa menit. Lanang bersandar, pandangannya menerawang keluar jendela. Banyak hal berkecamuk dalam pikirannya.
Alasan mengapa ia nekat membongkar jati dirinya pada Bryan sebenarnya cukup sederhana. Masalah Adam ini terlalu pelik. Mustahil ia bisa menyelesaikannya seorang diri. Ia membutuhkan seseorang yang dapat dipercaya. Dari semua orang, Bryan adalah sosok yang terlihat cukup sabar, tulus, dan sungguh-sungguh peduli pada Adam.
Namun dari semua percakapan sejak tadi, Lanang baru menyadari sesuatu. Ia belum pernah menyebutkan siapa dirinya sebenarnya.
Ia menoleh perlahan ke arah Bryan. “Bryan, kau tidak penasaran siapa aku sebenarnya? Maksudku, siapa yang ada di tubuh Adam sekarang?”
Bryan sempat melirik sekilas. Baru kali ini ia benar-benar sadar. Selama ini ia berinteraksi begitu alami dengan sosok Adam yang berbeda ini, sampai-sampai ia tidak terpikir untuk menanyakan namanya. “Benar juga. Aku belum tahu.”
Lanang menarik napas panjang lalu menyeringai. “Namaku Lanang Jagad Segara. Dukun santet sakti mandraguna dari tanah Jawa. Aku pernah berperan penting dalam mengusir Belanda. Namun nasibku berakhir tragis, karena mati dibakar hidup-hidup tiga ratus tahun lalu.”
Tiba-tiba terdengar suara decitan keras.
“Ckkiiiitttt!”
Ban mobil berderit panjang. Bryan menginjak rem mendadak hingga mobil nyaris menabrak kendaraan di depan. Klakson dari belakang langsung bersahut-sahutan.
“Gila! Kau kenapa? Lihat, kendaraan di belakang sudah membunyikan klakson!” Lanang terpekik kaget, jantungnya berdegup kencang.
Bryan segera menepikan mobil. Tangannya sedikit gemetar di setir. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri.
Lanang langsung mengomel. “Astaga, Bryan! Kau kira aku hantu gentayangan? Baru saja aku memberitahukan namaku, kenapa reaksimu seperti itu?”
Bryan menoleh. Matanya masih menyimpan keterkejutan. “Aku hanya… kaget. Tidak menyangka. Ternyata bukan hanya Adam yang bernasib tragis karena ditembak, tetapi nasibmu juga tidak kalah mengenaskan, karena dibakar hidup-hidup. Itu…”
Kalimat itu terhenti. Bryan buru-buru menatap ke depan lagi, menyalakan mesin, lalu kembali membawa mobil ke jalan.
Lanang mendengus kesal, tetapi akhirnya memilih diam. Jelas ada yang janggal dari reaksi Bryan.
Sebenarnya, jawaban Bryan barusan hanyalah kebohongan. Ada rahasia lain yang membuatnya begitu kaget sampai hampir menabrak mobil. Namun rahasia itu belum saatnya ia ungkapkan. Ia harus memastikan sesuatu terlebih dahulu.
---
Tak lama kemudian mereka tiba. Suasana kantor pusat Interpol sore itu cukup sibuk, meski ritmenya berbeda dari bayangan Lanang. Banyak staf hilir-mudik membawa berkas, suara telepon berdering bersahut-sahutan seperti katak di hutan hujan. Lanang sempat tertawa geli. Deretan komputer menyala di setiap meja, dan ia mengira semua orang sedang menonton televisi.
Lanang mengerling ke kiri dan ke kanan. “Jadi ini markas besar Interpol? Kukira isinya prajurit bersenjata, ternyata orang-orang hanya duduk mengawasi layar seperti televisi.”
Bryan menahan senyum. “Mereka staf administrasi. Yang biasa kau lihat di lapangan berbeda. Itu tim penyidik. Mereka jarang berada di sini.”
Lanang mengikuti Bryan berkeliling, tetapi wajahnya semakin murung. Tidak ada satu pun orang yang ia kenali sebagai pencuri sepatu.
Bryan menghela napas kesal. “Sudah kuduga. Yang datang ke rumah Adam pasti tim lapangan. Kita tidak akan menemui mereka di sini.”
“Lalu bagaimana?”
“Begini saja.” Bryan melangkah menuju ruang administrasi. Ia meminta akses kunjungan ke basis data staf.
Petugas yang berjaga menatap curiga. “Mengapa meminta akses data staf? Ini bukan prosedur yang biasa dilakukan, Pak Bryan.”
“Ini penting. Penyelidikan terkait kasus Adam,” ujar Bryan tegas. “Apa salahnya jika saya melihat data anak buah saya sendiri?”
Staf itu masih ragu, tetapi akhirnya menyerah. “Baiklah. Ini PIN aksesnya. Tolong jangan disalahgunakan.”
Setelah mendapat akses, Bryan segera membawa Lanang ke mejanya. Di sana, komputer miliknya dan komputer Adam berdampingan.
Lanang mendekat dengan mata berbinar. “Oh… jadi ini yang disebut televisi itu?”
Bryan menoleh sambil mengernyit. “Ini komputer.”
“Kalau begitu, mengapa gambarnya bisa bergerak?”
“Itu video.”
Lanang mengangguk-angguk, meski wajahnya tetap kebingungan. “Tapi sebenarnya untuk apa kita duduk di sini? Bukankah seharusnya mencari pelaku, bukan duduk-duduk begini?”
Bryan menarik napas panjang, berusaha sabar. “Tujuannya agar kau bisa melihat wajah orang-orang ini lewat foto. Jika pelaku ada di antara mereka, kau pasti mengenalinya.”
Lanang menyipitkan mata. “Jadi maksudmu, melihat lukisan mereka?”
“Iya, anggap saja begitu.” Bryan enggan berdebat lebih jauh.
Lanang kemudian menatap layar dengan saksama. Matanya mengikuti cepat pergeseran data wajah para staf, hingga tiba-tiba ia berseru, “Berhenti, itu dia.” Jarinya menunjuk salah satu foto. “Orang ini. Aku ingat jelas wajahnya. Dia yang masuk ke rumah Adam sendirian, lalu keluar sambil membawa kotak sepatu.”
Bryan menoleh, dan darahnya seakan membeku. “Apa…?”
Foto yang ditunjuk Lanang adalah Rafael.
Masalahnya, Rafael memiliki saudara kembar, yaitu Jeremiah.
Keduanya sama-sama anggota baru, yang baru dilantik tahun ini. Sialnya, keduanya langsung ditempatkan di bawah asuhan Adam.
Bryan terdiam. Kepalanya serasa berputar.
Sial. Jika benar ini Rafael, lalu bagaimana dengan Jeremiah? Atau jangan-jangan justru sebaliknya?
Lanang menatap bingung. “Kenapa? Bukannya aku sudah menunjukkan? Itu pelakunya, kan?”
Bryan mengusap wajah dengan kasar. “Masalahnya mereka kembar identik. Wajahnya sama persis, dan sama-sama dekat dengan Adam. Mereka juga sama-sama tahu sandi rumahnya. Kalau kita salah tangkap lalu salah interogasi, situasinya bisa kacau. Pelaku yang sebenarnya bisa kabur sebelum sempat kita amankan.”
Kesunyian tiba-tiba melingkupi ruangan. Bryan menatap layar komputer dengan rahang mengeras, sementara Lanang justru tampak semakin penasaran.
“Jadi… apa langkahmu selanjutnya, Tuan Interpol?”
(Itu pertanyaan dari Mbak Author.)
Bryan masih terpaku pada layar komputer. Wajah Rafael menatap dingin dari foto, tetapi bayangan Jeremiah ikut menghantui pikirannya. Tidak ada jalan keluar yang jelas. Jika salah langkah, kasus ini akan makin runyam.
Lanang memperhatikan gelagat Bryan. Ia bisa merasakan keruwetan yang sama, bahkan kepalanya sendiri ikut pening. Terlalu rumit kalau hanya menebak.
“Halah, sudah cukup kita buang waktu. Sekarang waktunya pakai jalan pintas,” celetuk Lanang. Iya memutuskan untuk mencoba 'Ritual Intra Pati'
Ritual yang dulu tak pernah ia lakukan, karena kekuatannya belum sempurna seperti sekarang.
Padahal Ia sadar betul, bisa saja ritual itu bisa membahayakan dirinya sendiri. Tapi dia tak mau buang waktu lebih lagi.
"Huft..."
Lanang menarik napas panjang. “Bryan, cepat carikan aku ruangan yang paling sepi di gedung ini.”
Bryan menoleh heran. “Untuk apa?”
“Sudah, ikuti saja.”
Tanpa banyak bertanya, Bryan menuntunnya ke ruang konferensi VVIP—ruangan besar dengan meja panjang, kursi empuk, dan suasana sunyi. Biasanya digunakan para petinggi untuk rapat, tetapi hari itu kosong melompong.
Lanang duduk bersila di lantai. “Kau juga, ayo duduk di depanku.”
Bryan mendengus malas. “Hhh… baiklah.” Ia ikut duduk bersila, menatap Lanang penuh curiga.
“Sekarang atur napas mu. Pusatkan pikiran, dan ikuti semua gerakanku.”
Bryan menurut, meski keningnya berkerut. Ia menirukan pola rumit gerakan tangan Lanang di hadapannya. Namun di tengah jalan, ia tiba-tiba menghentikan gerakan.
“Tunggu dulu. Sebenarnya,,, kita ini mau melakukan apa?”
***
seru dan menyeramkan.
tapi suka
semakin seru ceritanya