NovelToon NovelToon
Gadis Kecil Milik Sang Juragan

Gadis Kecil Milik Sang Juragan

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romansa
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: PenulisGaje

Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.

Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.

Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

9. Lamaran Yang di Tolak

Sore ini suasana kembali terasa damai. Setelah tadi siang dilalui dengan adanya hal tak menyenangkan serta air mata, kini suasana damai itu kembali terasa. Meski yang menangis masih belum mau keluar dari kamar dengan alasan tak ingin kedua kelopak matanya yang membengkak dilihat orang, di dapur rumah ibu Nur tetap menjalankan aktifitas seperti biasanya.

Selain terlihat mbok Nah yang sibuk membasuh udang yang telah dikupas kulitnya, tampak pula ibu Nur sedang membalik tempe yang sedang digoreng. Sedangkan Armand dan Lala, kedua orang itu duduk di dekat pintu dapur, entah sedang membicarakan apa.

"Bu... " mbok Nah memanggil ragu. Suaranya bahkan terdengar pelan, serta sembunyi-sembunyi melihat anak sang majikan yang entah sedang membisikkan apa di telinga Lala.

"Apa?" tanya ibu Nur tanpa menatap lawan bicaranya.

Sejenak mbok Nah tampak ragu untuk berbicara. Bibirnya bahkan hanya sanggup mengucapkan, "Itu... itu... "

"Itu apa, Nah?" kembali ibu Nur bertanya tanpa menatap wanita paruh baya yang sudah lama bekerja padanya itu. Meski mbok Nah tidak menginap dan hanya bekerja dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore, namun ibu Nur sudah mengenal watak dan perilaku mbok Nah dengan baik. Karena itulah, begitu merasa si mbok ragu dan tak juga mengatakan apapun setelah beberapa menit berlalu, ibu Nur pun menghela napas dan kemudian langsung mematikan kompor setelah mengangkat tempe terakhir yang baru saja matang.

Setelah meletakkan tempe tersebut ke dalam wadah untuk meniriskan minyaknya, ibu Nur berbalik untuk menatap wanita paruh baya yang sudah menemaninya selama separuh hidupnya itu. "Ada apa, Nah? Apa yang sebenarnya mau kamu sampaikan? Kenapa kamu ragu begitu?" tanya ibu Nur beruntun.

Mbok Nah tak lagi merasa ragu. Jika antensi sang majikan sudah terarah penuh padanya, maka tak ada jalan baginya untuk tak menjawab pertanyaan yang diajukan padanya itu.

"Itu... tadi pas saya belanja ke warung, saya dengar gosip dari ibu-ibu yang sedang belanja. Gosipnya itu... "

"Kamu ternyata suka ikutan gosip juga, Nah."

"Nggak begitu, Bu." cepat mbok Nah membantah. Dirinya berani bersumpah bahwa pantang baginya untuk ikut ke dalam kumpulan ibu-ibu tukang gosip itu.

"Ya lalu?"

"Gosip yang mereka omongin itu tentang tuan Armand semua, Bu."

Ibu Nur menghela napas. Sebenarnya bukan hal baru lagi baginya mendengar gosip yang mengenai putranya itu yang sampai ke telinganya. "Gosip tentang apa?" tanyanya lelah.

"Ibu-ibu itu ngomongin tuan Armand yang mereka bilang memalukan karena kedapatan jalan sama Nissa di pasar malam. Kata mereka, udah tua kok mainnya sama gadis bau kencur. Nggak bermoral kata mereka." bisik mbok Nah pelan seraya kembali melirik sosok yang sedang mereka bicarakan.

Seketika ibu Nur memejamkan kedua matanya. Hembusan napasnya juga terdengar berat.

"Kurang kerjaan." ibu Nur mendumel dalam hati. Tak habis pikir dengan beberapa tetangganya yang suka sekali mencampuri urusan orang lain.

"Udah gitu ya, Bu... " mbok Nah masih belum puas bercerita. Wanita paruh itu bahkan menggeser posisinya agak merapat ke sang majikan setelah menuntaskan pekerjaannya mencuci udang yang telah dikupas kulitnya itu. "Mereka juga ngatain Nissa. Bilang Nissa nggak tau malu karena berani godain tuan Armand. Kata mereka, kecil-kecil udah ada bakat jadi pelac*r, sama kayak ibunya."

"Astaghfirullah... " ibu Nur hanya bisa berucap dalam hati. Tiba-tiba rasa panas menyeruak dalam hati akibat rasa marah kala mendengar kalimat yang menyakitkan seperti itu.

Sungguh, meski kalimat tersebut tak ditujukan padanya, ibu Nur juga merasakan sakit yang menyesakkan dalam dadanya. Ia saja yang mendengar bisa merasa sesakit ini, apa lagi Nissa, yang perkataan tersebut ditujukan kepada gadis belia itu. Ibu Nur tak dapat membayangkan akan seberapa sakitnya gadis itu jika mendengarnya secara langsung.

"Trus, masih ada satu lagi, Bu."

"Apa lagi, Nah?" ibu Nur menekan dadanya, mencoba meredam rasa sesak yang ia rasakan. Sambil menatap asisten rumah tangganya itu, ibu Nur kembali bertanya, "Apa lagi omongan sampah yang mereka sebarkan?"

Kembali mbok Nah melirik sang juragan yang masih asyik berbisik-bisik dengan Lala. Terlihat sesekali Lala mengangguk, seolah menyetujui apapun yang dikatakan oleh sang majikan.

"Nah... " panggil ibu Nur tak sabar. Ibu Nur sudah mempersiapkan diri andai mendengar gosip murahan yang jauh lebih buruk, eh mbok Nah malah melirik ke arah putranya terus menerus. "Kalau kamu nggak mau ngomong apapun lagi, mending lanjut masak. Itu udang jangan lupa dimasak sesuai dengan menu kesukaannya Nissa, supaya suasana hatinya sedikit membaik."

Mbok Nah langsung menganggukan kepala. Tapi rupanya ia masih belum selesai bercerita. Begitu melihat sang majikan ingin kembali meneruskan menyiapkan menu masakan untuk makan malam, wanita paruh baya itu langsung memegang tangan sang majikan. Suaranya semakin mengecil saat bercerita, "Tapi si Ipah, si pemilik warung sempat bisik-bisik nanya sama saya. Katanya, benar nggak kalau tuan Armand mau ngelamar si Lilis, putrinya pak Lurah? Undangan juga sedang dicetak katanya."

"Hah?" ibu Nur membeliak terkejut. Untuk beberapa detik lamanya, ibu Nur hanya sanggup membuka dan menutup mulutnya tanpa bisa mengatakan apapun. Wanita paruh baya yang masih tampak segar bugar itu bahkan sampai mengerjapkan mata berulang kali karena tak menyangka akan mendengar gosip seperti itu.

"Orang bodoh mana yang nyebarin gosip seperti itu?" pertanyaan itu langsung ibu Nur ucapkan setelah berhasil mengendalikan diri. "Si Ipah yang nyebarin langsung atau dia dengar dari ibu-ibu tukang gosip itu?" kesal, marah sekaligus geli menjadi satu dalam dada ibu Nur. Orang-orang kurang kerjaan itu benar-benar harus mendapat teguran serius darinya karena sudah berani menyebarkan berita seperti itu.

Kembali mbok Nah terlihat ragu. Tapi karena sudah kepalang basah, ia menjawab, "Si Ipah bilang, dia dengar berita itu dari sumbernya langsung."

"Maksudnya, pak Lurah Somad yang ngomong begitu?" tanya ibu Nur demi memastikan. Begitu melihat wanita paruh baya yang hanya lebih muda beberapa tahun saja darinya itu mengangguk, ingin sekali rasanya ibu Nur mengumpat. Andai putra kesayangannya tak berada di dekat pintu dapur sana, entah seperti apa kata-kata kasar yang keluar dari bibirnya.

Meski ibu Nur dulu pernah mencoba untuk menjodohkan Armand dengan anak gadis dari pak Lurah itu, tetap saja ibu Nur tak menyukai adanya gosip yang takutnya malah akan merugikan putranya.

"Ibu-ibu tukang gosip dan pak Lurah itu, mereka semua benar-benar nggak tau mal... "

"Assalamualaikum... "

Perkataan ibu Nur terhenti. Kalimat yang tak bisa ia selesaikan hingga akhir itu terganggu dengan adanya seruan, yang suaranya cukup mereka kenal siapa pemiliknya.

*****

Dan, di sinilah mereka berada sekarang. Di ruang tamu, duduk berhadapan dengan pak Lurah berserta istri dan juga putri mereka, Lilis.

Jika ibu Nur menahan amarah seraya menatap tajam Somad, pak Lurah yang duduk tetap di hadapannya, yang sepertinya bisa sedikit menebak mengenai kedatangan mereka ke rumahnya, maka Armand menatap tamu mereka itu dengan tatapan tenang seraya mengabaikan tatapan memuja Lilis, yang tak sedikitpun mengalihkan pandangannya sejak mereka duduk di ruang tamu di rumah ibunya ini.

Risih sudah pasti Armand rasakan. Jika tak mengingat sopan santun, Armand akan menegur wanita dan meminta ayah dari gadis itu untuk memperingati putri mereka agar tak berperilaku memalukan seperti itu.

"Begini nak, Armand dan juga ibu Nur, sebaiknya bapak nggak perlu berbasa basi lagi." Somad, Lurah yang telah menjabat selama 2 periode itu berdehem. Usai menoleh sejenak ke arah istrinya yang duduk di sisi sebelah kirinya, ia arahkan lagi tatapannya ke arah depan. Perlahan ditatapanya secara bergantian kedua sosok yang duduk di hadapannya itu seraya berucap, "Kedatangan kami ke sini ingin menyampaikan niat baik kami."

"Niat baik?" Armand mulai merasakan ada yang tidak beres. Lilis yang tampak menunduk malu sambil memegang lengan ibunya membuat Armand mulai bisa menebak ke arah mana topik pembicaraan ini mengarah.

Dengan semangat Somad mengangguk. Jabatan Lurah yang sudah disandangnya selama 2 periode itu membuatnya memiliki kepercayaan diri jika niat baiknya pasti akan diterima. "Begini, nak Armand, ibu Nur, saya di sini mewakili putri saya, Lilis, untuk melamar putranya ibu Nur menjadi suaminya putri yang sangat saya sayangi itu."

Sontak saja Armand berdecak. Tak peduli lagi apakah tindakkannya itu akan menyinggung orang yang duduk di hadapannya. Bukannya salahnya bersikap tak sopan begitu. Salah mereka sendiri yang telah tidak tahu malu dengan datang ke sini untuk melamarnya.

Benar saja. Somad tampak tersinggung. Ekspresi pria yang rambutnya mulai tampak memutih itu terlihat marah. "Apa maksud dari sikap nak Armand tadi? Apakah nak Armand menolak lamaran kami?" tanya Somad yang masih mencoba menahan diri.

"Ya." jawab Armand tanpa ragu. Tak peduli jika wajah Lilis tampak memucat dan adanya kekecewaan diselimuti kemarahan dalam pancaran matanya, Armand dengan santai mengatakan, "Kalau hanya itu yang ingin pak Somad sampaikan, sebaiknya kita akhiri saja pembicaraan kita ini sampai di sini. Saya sibuk. Masih banyak pekerjaan penting yang lebih membutuhkan perhatian saya daripada terus duduk di sini."

"Apa kurangnya putri saya?" cepat Somad berucap saat melihat pria yang sangat digilai putrinya itu hendak berdiri. "Saya rasa di desa ini, Lilis adalah satu-satunya gadis yang cocok menjadi istrinya nak Armand. Selain cantik, statusnya yang merupakan anak Lurah pastinya akan membuat nak Armand nggak akan malu menggandeng dia ke mana-mana. Terlebih, dengan menjadi menantu saya, saya jamin segala urusan nak Armand di sini akan saya permudah."

"Pak Somad sedang berjualan rupanya." Armand tersenyum tipis. Ia merasa lucu mendengar perkataan sosok di depannya itu yang begitu menyanjung putrinya dan juga menganggap tinggi jabatan Lurah yang disandangnya. "Tapi sayangnya, saya tidak tertarik untuk membeli apapun barang yang sedang pak Somad perjual-belikan." ucap Armand ringan tanpa merasa perlu menahan diri.

Pada saat pak Somad sudah mengepalkan kedua tangan demi menahankan kesabaran, maka Lilis terlihat tak dapat membendung air mata. Gadis yang tak lagi mengenakan riasan berlebihan itu terisak pelan, suaranya terdengar bergetar saat memanggil kedua orang tuanya. "Pak... Bu... "

"Coba dipikirkan lagi, nak Armand." sambil menekan amarah dalam dada akibat merasa terhina akan penolakan yang diterima, pak Somad kembali mencoba untuk mengubah pikiran pria yang duduk dengan tenang sambil menyandar di sofa di hadapannya itu. "Saya janji, jika nak Armand bersedia menikah dengan putri saya, nak Armand nggak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun. Bahkan nak Armand juga nggak perlu mengeluarkan biaya untuk mas kawin. Pokoknya nak Armand tau beres saja. Biarkan yang lain menjadi urusan sa... "

"Saya bukan orang miskin, pak Somad. Saya juga bukan benalu." sela Armand cepat tanpa menunggu pria paruh baya di depannya itu menyelesaikan perkataannya. "Kalau-kalau pak Somad lupa, uang saya pastinya lebih banyak daripada yang bapak miliki. Dan jika memang saya sudah menemukan gadis yang tepat, maka segala sesuatunya sudah pasti akan menjadi tanggungan saya. Jadi, tolong jangan membuat keadaan seolah-olah saya menjadi pria kere, yang bahkan tidak mampu memberikan mas kawin untuk calon istri saya." tutur Armand lantang.

Sungguh, Armand tak pernah ingin memamerkan kekayaan yang ia miliki.. Tetapi, pria paruh baya di hadapannya itu tak sedikitpun memikirkan harga dirinya dengan mengatakan kalimat seperti itu. Jadi, Armand merasa tidak ada salahnya untuk menyadarkan pria itu bahwa kekayaan yang pria paruh baya itu masihlah tidak ada apa-apa nya bila dibandingkan dengannya.

Bagi sebagian pria di luaran sana, tawaran pak Somad itu pastinya terdengar sangat menggiurkan. Akan tetapi bagi Armand sendiri, tawaran tersebut seakan-akan menginjak harga dirinya.

Kalau begitu, jangan salahkan dirinya bila Armand tak lagi menahan diri.

"Kalau begitu, artinya nak Armand menolak lamaran saya?" tanya pak Somad sambil menggeretakkan gigi. kedua telapak tangannya bahkan terasa perih karena kepalan tangannya yang begitu erat.

"Ya."

"Yakin kamu menolak anak gadis saya yang paling sempurna di desa ini?" tak ada lagi nada ramah saat pak Somad menanyakan pertanyaan itu.

"Sangat yakin." jawab Armand tanpa ragu. Bahkan dengan santainya Armand kembali berucap, "Jangan meninggikan seseorang hanya karena dia putri bapak. Putri bapak tidaklah sesempurna itu."

Perkataan Armand yang telak tersebut langsung disambut suara tangis Lilis yang terdengar sampai keluar rumah. Menyebabkan tetangga di kanan kiri serta depan langsung keluar dari rumah mereka karena penasaran akan penyebab kenapa suara tangis itu bisa terdengar.

Sedangkan Armand sendiri tampak tak perduli. Tatapan tajam yang menyimpan amarah serta rasa tersinggung dari sosok di depannya itu tak juga mampu mengusik ketenangannya.

"Saya akan ingat penghinaan yang kami terima hari ini, Armand. Rasa malu yang kami rasakan hari ini pasti akan kami tebus sampai tuntas."

Armand tak bergeming. Ancaman yang dilontarkan dalam amarah tersebut ditanggapinya dengan dengusan seraya menggelengkan kepala.Bahkan setelah satu keluarga itu pergi dan Armand merasakan lengan kanannya digoncang oleh ibunya dengan pelan, ketenangan Armand tetap tak terusik.

Bukan Armand ingin meremehkan lawan. Hanya saja, Armand tak sedikit pun merasa gentar dengan kalimat ancaman yang dilontarkan oleh pak Somad.

Saat menoleh ke arah ibunya, bisa Armand lihat pancaran kecemasan dalam tatapan wanita paruh baya yang sangat dikasihinya itu.

Untuk menenangkan sang ibu tercinta, Armand tersenyum seraya berkata, "Ibu tenang saja, jangan takut. Aku bukannya ingin meremehkannya. Tapi, aku hanya percaya, segala sesuatunya sudah ada yang ngatur. Jadi, kita liat saja apa yang akan mereka lakukan."

Selain mengangguk, memangnya apa lagi yang bisa ibu Nur lakukan. Sambil mencoba meredam rasa takut yang tiba-tiba menyeruak dalam dada, ibu Nur berharap agar tak ada hal buruk yang menimpa mereka, terutama sang putra kesayangan.

1
Ana Umi N
lanjut kak
y0urdr3amb0y
Wuih, penulisnya hebat banget dalam menggambarkan emosi.
Alucard
love your story, thor! Keep it up ❤️
PenulisGaje: makasih udah mau mampir dan baca cerita saya 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!