NovelToon NovelToon
Aplikasi Penghubung Dunia

Aplikasi Penghubung Dunia

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Mengubah Takdir / Anak Lelaki/Pria Miskin / Menjadi Pengusaha / Kultivasi Modern / Toko Interdimensi
Popularitas:6.9k
Nilai: 5
Nama Author: SuciptaYasha

Arzhel hanyalah pemuda miskin dari kampung yang harus berjuang dengan hidupnya di kota besar. Ia terus mengejar mimpinya yang sulit digapai.nyaris tak

Namun takdir berubah ketika sebuah E-Market Ilahi muncul di hadapannya. Sebuah pasar misterius yang menghubungkan dunia fana dengan ranah para dewa. Di sana, ia dapat menjual benda-benda remeh yang tak bernilai di mata orang lain—dan sebagai gantinya memperoleh Koin Ilahi. Dengan koin itu, ia bisa membeli barang-barang dewa, teknik langka, hingga artefak terlarang yang tak seorang pun bisa miliki.

Bermodalkan keberanian dan ketekunan, Arzhel perlahan mengubah hidupnya. Dari seorang pemuda miskin yang diremehkan, ia melangkah menuju jalan yang hanya bisa ditapaki oleh segelintir orang—jalan menuju kekuatan yang menyaingi para dewa itu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17 Membeli rumah berhantu

Arzhel keluar dari kamar hotel setelah menyelesaikan segala urusannya dengan para dewa. Suasana koridor yang sunyi membuat pikirannya kembali melayang pada sosok Novita.

'Aku harus mencari tahu tentangnya...' gumamnya dalam hati.

Sesampainya di lobi, ia langsung menghampiri meja resepsionis. Seorang wanita muda tersenyum ramah sambil menundukkan kepala.

“Selamat pagi, Tuan. Apa ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.

Arzhel sedikit ragu, namun akhirnya membuka suara. “Hmm… maaf, saya ingin bertanya. Apakah di sini ada karyawan bernama Novita yang bekerja disini?”

Mata resepsionis itu sedikit berbinar, lalu mengangguk. “Benar, ada. Novita memang salah satu staf kami.”

Arzhel menelan ludah, jantungnya berdetak lebih cepat. “Kalau begitu… bisakah saya menemuinya sekarang?”

Resepsionis mengecek sesuatu di layar komputer. Setelah beberapa detik, ia mengangkat kepalanya lagi.

“Sayangnya, jadwal kerja Nona Novita sudah habis untuk pagi ini, Tuan. Kalau tidak salah, ia baru kembali malam nanti.”

Arzhel terdiam. Ada rasa lega karena ia masih punya kesempatan, tapi juga getir karena harus menunggu lagi. Resepsionis menatapnya, lalu bertanya dengan sopan,

“Apakah Tuan ingin sekalian check out sekarang?”

Arzhel menggeleng pelan, berpikir sebentar. “Tidak… saya akan kembali lagi nanti.”

“Baik, Tuan. Silakan.”

Tanpa berkata banyak lagi, Arzhel berbalik dan melangkah keluar dari hotel. Udara siang menerpa wajahnya, membuat pikirannya semakin bising.

“Kalau aku bertemu dengan Novita… apa yang harus kukatakan? Haruskah aku menanyakan kabarnya? Atau menyinggung masa lalu itu? Ah, konyol sekali… semalam aku bahkan hanya bisa diam saat melihatnya.”

Ia menepuk pipinya sendiri dengan kedua tangan, mencoba menyadarkan diri.

“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Untuk sekarang aku harus fokus. Tinggal di hotel setiap malam akan menguras habis uangku, aku harus mencari tempat tinggal baru!”

Ia menarik napas panjang, lalu menegakkan tubuhnya. Dengan langkah mantap, ia berjalan ke arah jalan raya, menyeberang, dan menuju sebuah agen real estat yang terlihat tidak jauh dari sana.

Begitu Arzhel mendorong pintu kaca agen real estate, suara bel kecil berdenting. Di dalam, ruangan itu tampak rapi dan penuh aroma kopi segar.

Seorang karyawan pria dengan jas hitam segera menyambut dengan senyum lebar, seolah-olah sudah lama menunggu kedatangan pembeli.

“Selamat siang, Tuan! Silakan duduk. Ada yang bisa saya bantu? Apakah Tuan mencari hunian, atau mungkin properti investasi?”

Arzhel tersenyum tipis, lalu duduk di kursi empuk berlapis kulit. “Aku sedang mencari tempat tinggal. Tapi bukan kos-kosan atau apartemen. Aku ingin… Sebuah rumah pribadi.”

Karyawan itu mengangguk antusias sambil menyiapkan tablet berisi daftar properti.

“Baik sekali, Tuan. Lokasi yang Tuan inginkan di daerah mana?”

Arzhel berpikir sejenak. Bayangan malam-malam terganggu tetangga kos yang ribut, jemuran yang hilang tiap hari, sampai perlakuan kasar ibu kos tempo hari, semua muncul kembali di benaknya.

'Aku tidak mau mengalami itu lagi,' batinnya, oleh karena itu ia lebih memilih membeli rumah pribadi.

“Aku ingin rumah di pusat kota,” ucapnya mantap. “Aksesnya bagus, dekat mal, restoran, dan tempat umum. Tapi… yang paling penting, aku butuh privasi. Rumah yang tidak mudah diganggu orang lain.”

Karyawan itu tersenyum semakin lebar. “Oh, saya mengerti betul. Tuan ingin rumah yang strategis, tapi tetap tenang dan aman, bukan?”

Arzhel mengangguk. “Ya, benar.”

Dengan cekatan, sang karyawan membuka beberapa listing di tablet lalu memperlihatkan foto-foto rumah modern. Ada yang bergaya minimalis dengan halaman kecil, ada juga yang besar dan mewah tapi terletak pemukiman khusus orang kaya.

Berbagai jenis rumah ditawarkan dengan profesional kepada Arzhe, namun tidak ada yang bisa membuatnya tertarik. Hingga, pandangan Arzhel tiba-tiba berhenti pada satu foto.

Sebuah rumah besar, menjulang setidaknya tiga lantai, dengan cat putih yang mulai pudar di beberapa sisi. Meski sedikit luntur, ada kesan estetik dan klasik yang justru membuatnya tampak berbeda dari rumah modern lainnya.

“Aku pilih yang ini,” kata Arzhel sambil menunjuk layar.

Karyawan itu sempat membeku. “Y–yang ini, Tuan?” Ia menelan ludah, tersenyum canggung. “Rumah ini… Memabg sangat besar, dan… umm… memang sedang dalam listing kami.”

Arzhel mengangkat alisnya. “Berapa harganya?”

Karyawan itu membuka data di tabletnya. “Harganya… hanya 99.000 dolar.”

Arzhel langsung mengernyit. Ia melipat tangan di dada, menatap karyawan itu tajam. “Hanya 99.000 untuk rumah sebesar itu? Padahal rumah ukuran seperti ini, apalagi tiga lantai, biasanya mencapai 300 sampai 500 ribu dolar?”

Karyawan itu tertawa gugup, suaranya sedikit bergetar. “He-he, ya… memang begitu, Tuan. Kondisi pasar sedang—”

Arzhel tidak puas. Ia menyipitkan mata, lalu perlahan mendekatkan wajahnya ke arah karyawan itu, menatap lurus ke matanya.

“Rumah itu berhantu, ya?” Suaranya rendah tapi menusuk.

Senyum karyawan itu membeku. Ia sempat tersentak lalu buru-buru menggeleng. “T-tidak, tentu tidak, Tuan! Hanya… hanya rumor lama saja, orang-orang suka berlebihan.”

Arzhel menahan senyum tipis. Dari tatapan gugup itu, ia sudah tahu kebenarannya. “Benar dugaanku. Pantas saja murah.”

Ia bersandar kembali ke kursi, lalu tertawa kecil. “Rumor hantu, ya? Tak heran tidak pernah laku. Tapi tidak masalah. Aku akan membelinya sekarang juga.”

Karyawan itu membelalakkan mata. “S-sekarang juga?”

“Ya.” Arzhel menepuk meja dengan santai. “Aku tidak suka menunda-nunda.”

Tanpa banyak basa-basi, ia menunduk, lalu dari bawah meja tangannya bergerak cepat. Cincin parsial di jarinya berkilat samar, dan dalam sekejap, segepok uang tunai tebal muncul di tangannya.

Ia menaruhnya di atas meja, membuat karyawan itu sontak terperangah.

Karyawan itu hampir kehilangan kata-kata. “T-tuan… ini…”

“Uang muka? Aku bayar lunas.” Arzhel menatapnya tajam, tapi suaranya tenang. “Segera urus semua surat-suratnya. Aku tidak ingin ada masalah.”

Karyawan itu menelan ludah keras-keras, lalu mengangguk cepat. “B-baik, Tuan! Saya akan mengurusnya sekarang juga!”

Arzhel menyandarkan tubuhnya dengan senyum puas. “Rumah berhantu atau tidak, itu urusan nanti. Tapi dengan harga semurah ini, aku baru saja membuat keputusan terbaik.”

...

⏱️ Beberapa jam kemudian.

Arzhel turun dari taksi dan menatap rumah barunya. Bangunannya besar, menjulang tinggi, cat putih yang mulai memudar justru menambah kesan klasik dan megah.

Dari luar saja, ia bergumam pelan. “Daripada rumah… ini lebih mirip sebuah mansion.”

Ia menegakkan tubuhnya, menarik napas panjang, lalu melangkah ke dalam.

Lorong panjang menyambut langkahnya. Lantai marmer tua berkilat samar, kaca jendela besar di sisi kiri memantulkan bayangan samar tubuhnya. Udara di dalam begitu dingin, jauh berbeda dari luar yang terik.

Brak!

Pintu utama tiba-tiba menutup keras di belakangnya. Arzhel menoleh cepat, jantungnya berdegup kencang.

“Angin?” tanyanya ragu. Tapi tidak ada hembusan yang terasa.

1
Jujun Adnin
kopi dulu
Depressed: "Siapa bilang Iblis itu tak punya hati? Temukan kisahnya dalam Iblis Penyerap Darah."
total 1 replies
Redmi 12c
lanjuuttt
y@y@
🌟👍🏻👍🏾👍🏻🌟
El Akhdan
lanjut thor
Caveine: oke bang👍
total 1 replies
REY ASMODEUS
kerennn 2 jempol untuk othor🤭🤭🤭
REY ASMODEUS
siap nona bos kecil
Redmi 12c
kreeeenn
Redmi 12c
anjaaaiii dewa semproolll🤣🤣🤣🤣🤣🤣
REY ASMODEUS
Thor up banyak ya, ini karya dengan tata bahasa simple tapi masuk akal....
REY ASMODEUS
dewa kuliner dewa gila rasa /Smirk//Smirk//Smirk/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!