Orang bilang Abel yang jatuh cinta duluan dengan gombalan-gombalan itu, tapi Abi juga tahu kalau yang rela melakukan apa saja demi membuat Abel senang itu Laksa.
.
Berawal dari gombalan-gombalan asbun yang dilontarkan Abel, Laksa jadi sedikit tertarik kepadanya. Tapi anehnya, giliran dikejar balik kok Abel malah kabur-kaburan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanadoongies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
“Biar yang cowok agak lebih berguna.”
Laksa memilih duduk di bangku paling belakang, dekat jendela, dekat dinding pula. Memang tempat paling wuueeenak untuk memejamkan mata.
“Dasar betina! Kalau nggak ngoceh kayaknya bakal perang dunia,” seru Dipa.
“Berisik aja lo, Dipa. Nama lo nih nggak ada yang milih, blangsak sih.”
“Sumpah, ya. Bisa-bisanya gue satu kelas sama singa PMS.”
Setelahnya, mereka saling berkejaran mengelilingi kelas. Dipa gencar mengejek, Clarista semakin dibuat kebakaran jenggot karenanya.
“DIPAAAA! GUE ABISIN, YA, LO!”
Demo ekstrakurikuler dimulai setelah bel masuk berkumandang. Semua siswa-siswi berkumpul di tepi lapangan, menunggu giliran untuk tampil atau sekedar cari hiburan semata.
Di tengah gegap gempita itu, Bian lagi-lagi mendatangi Abel. Bahkan tak segan-segan meminta Anjani untuk pergi lebih dulu. Ketegangan di antara keduanya belum juga usai, bagian ini Abel yang bertahan lebih lama.
Bukan karena ingin membenci, tapi rasa-rasanya sedikit belum terima saja. Terlepas dari siapa yang jadi korbannya, tak seharusnya Bian berlaku tidak adil pada mereka.
“Gue minta maaf atas apa yang gue lakukan kemarin. Nggak seharusnya gue kelewatan sampai bentak-bentak lo kayak gitu.”
“Udah lewat, Bi. Kalau lo ngusir Anjani cuma buat ngomongin ini, kayaknya nggak perlu deh.”
“Lo masih marah?”
“Marah?” Abel terkekeh pelan. “Yang harusnya marah itu Laksa, kenapa malah jadi gue deh?”
“Lo nggak balas pesan gue dari semalem.”
“Gue tinggal nonton. Udah, ah, mending gabung sama yang lain daripada diciduk BK. Ogah gue kalau harus bersihin kamar mandi di hari yang menyenangkan ini.”
Bian tertawa kecil. Ia jatuhkan tepukan di atas puncak kepala. Kebiasaan pasti, sayangnya tidak berarti apa-apa.
“Nanti pulang bareng?”
“Nggak janji.”
“Hari ini ikut demo ekskul?”
“Enggak. Biar yang lain aja, gue lagi nggak mood buat buka suara.”
“Biasanya suka pamer tuh.”
“Ya, ‘kan, biasanya. Sekarang lagi beda.”
“Gue ikut demo,” ujarnya ketika mereka mulai meninggalkan tempat.
“Ngapain? Tanding basket sama tim lain?”
“Iya. Semangatin dari tribun, ya?”
“Ogah! Mending gue cari camilan daripada teriakin nama lo. Bikin seret aja.”
“Bi, dari mana?” tanya Evan. “Anak-anak udah ngajakin prepare. Kita kebagian demo nomor empat.”
“Gue nyusul bentar lagi.”
“Pacarannya nanti lagi. Lebih pentingan demo nih!”
“Duluan sana.”
Selepas kepergian Evan, Bian kembali menghadap Abel lagi. Ditatapnya gadis itu dengan senyum hangat sebelum mendaratkan tepukan di puncak kepala.
“Jangan lupa semangatin gue dari tribun,” ujarnya sambil berlalu.
Ketika menoleh, Abel mendapati Laksa tengah menatapnya dengan dahi mengerut.
Sial! Kenapa rasanya kayak ketahuan lagi selingkuh sih?
Satu persatu ekstrakurikuler mulai pamer kepiawaian masing-masing. Mulai dari peleton inti, drama, tari modern, basket dan berakhir dengan penampilan lain yang tak kalah memukau.
Abel masih duduk di tribun pinggir lapangan, ditemani seporsi cirambay dengan Anjani yang tengah menyantap batagor. Keduanya anteeeeeeng sekali mentang-mentang sedang mengonsumsi sesuatu yang nikmat tiada tanding.
“Bel?”
“Hmmm.”
“Misalnya nih, misalnya, ya, ... gue nggak setuju kalau lo sama Bian, lo mau gimana?”
“Ya, nggak gimana-gimana. Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu deh? Lo nggak diem-diem naksir Bian kayak cerita fiksi yang akhirnya bikin kita putus persahabatan, ‘kan?”
“Nggak lah, gila. Mending gue pacaran sama Dito daripada diem-diem naksir Bian.”
“Terus kenapa? Gelagat lo kayak tau sesuatu deh. Ngaku nggak lo lagi menyembunyikan apa?”
Anjani meneguk air minumnya sebelum kembali berbicara. Mendadak jadi kering tenggorokan, padahal bicara juga masih taraf seadanya.
“Nggak tau, rasanya kayak kurang sreg aja. Bian tuh baik, tapi ... ah, nggak tau deh. Pokoknya kalau bisa jangan sama Bian aja.”
“Berarti boleh kalau sama Laksa?”
Anjani kontan merotasikan bola matanya. “Plis deh, jangan dikasih hati malah minta jantung. Nggak tau diri banget lo!”
“Katanya jangan sama Bian, berarti, ya, sama Laksa.”
“Cirambay lo dikasih obat halusinasi, ya? Kok habis makan langsung nge-fly aja.”
“Sial!”
Sebetulnya, ada satu persekian dari dirinya yang mengiyakan ucapan Anjani. Tapi jika harus menyebutkan bagian yang mana, Abel juga masih kebingungan. Bian itu baik, tapi kalau harus dijadikan kekasih, sepertinya harus berpikir berulang kali.
“BIAN! BIAN! BIAN! BIAN!”
Semakin lama, teriakan itu terdengar semakin kencang. Lebih-lebih ketika Bian dan kawan-kawan mulai memasuki lapangan. Maklum, namanya juga bintang lapangan, kalau nggak dielu-elukan namanya, pasti ada yang kurang.
“Idih. Idih. Idih. Pake ngelihat sini dulu. Mau caperin lo tuh, Bel.”
“Julid amat lo.”
“Bukan julid tapi geli.”
Perebutan skor dimulai ketika peluit dibunyikan. Dengan gaya permainan masing-masing, kedua tim mampu memberikan penampilan yang memukau. Tapi tidak seperti harapan Bian, Abel justru duduk tanpa memberikan teriakan-teriakan maut. Oh, sepertinya cirambay yang dipadukan dengan cireng isi itu jauh lebih memikat ketimbang cowok-cowok ber-jearsey oranye yang kini mulai berkeringat.
Abel menunduk, tali sepatunya lepas tiba-tiba. Mulanya ia ingin mengabaikan, tapi Anjani dan orang-orang sekitar mulai berdiri karena pertandingan berubah jadi lebih sengit.
Pertandingan berjalan semakin seru, beberapa siswa mulai berbondong-bondong masuk tribun demi mendapat sudut menonton yang pas. Abel mulai terdorong ke kanan-kiri, sampai akhirnya terperosok pada anak tangga di bawahnya.
“AKHHHH!”
Anehnya, sesuatu seperti menahan gravitasinya.