Di tengah hiruk pikuk Akademi Cyberland, Leon Watkins, seorang jenius dengan kekuatan "Dream" yang memungkinkannya memanipulasi mimpi dan kenyataan, justru merasa bosan setengah mati. Kehidupannya yang monoton mendadak terusik ketika ia dan teman sebayanya, Axel Maxx yang flamboyan, secara tak terduga ditarik ke dalam sebuah misi rahasia oleh sosok misterius. Mereka harus menembus "Gerbang Sejati," sebuah portal menuju dimensi yang mengerikan dan mengancam dunia. Petualangan yang akan mengubah segalanya, dan menyingkap takdir yang jauh lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan, baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DARK & LIGHT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 : Duka Sang Instruktur & Pengungkapan Kosmi
Kembali ke Akademi Beladiri Cyberland, pagi itu Instruktur Xu memulai rutinitasnya seperti biasa, mempersiapkan diri untuk menghadapi hari yang panjang penuh dengan murid-murid yang bersemangat—dan Leon Watkins.
Namun, ketika ia memasuki ruang kelas yang kosong, pandangannya tertuju pada selembar kertas yang terlipat rapi di meja Leon. Sebuah kerutan muncul di dahinya. Leon bukan tipe yang meninggalkan catatan.
Dengan rasa ingin tahu yang aneh, Instruktur Xu mengambil catatan itu. Saat ia membaca baris demi baris, ekspresi wajahnya berubah. Kerutan di dahinya semakin dalam, lalu alisnya terangkat karena terkejut, dan akhirnya, raut wajahnya diliputi kesedihan yang mendalam.
Ia membaca kalimat "Saya pergi untuk misi yang sangat penting" dengan alis bertaut, namun saat mencapai bagian "Terima kasih untuk semuanya. Meskipun Anda menyebalkan, Anda adalah satu-satunya yang bertahan menghadapi saya," sebuah desahan berat lolos dari bibirnya.
"Bocah kurang ajar itu," gumam Instruktur Xu, suaranya parau. Ia meremas catatan itu di tangannya, namun ia tidak menghancurkannya. Sebaliknya, ia melipatnya kembali dengan hati-hati dan memasukkannya ke saku seragamnya. Ada kesedihan yang tak terucap di matanya, kesedihan seorang mentor yang tahu muridnya akan menghadapi bahaya yang tak terbayangkan.
Ia tahu Leon tidak akan meninggalkan Akademi begitu saja, kecuali untuk sesuatu yang sangat besar. Firasat buruk merayapi hatinya, namun ia juga tahu bahwa Leon, meski nakal dan seenaknya, adalah seorang jenius yang ditakdirkan untuk hal-hal besar.
"Dasar bocah bodoh, berani-beraninya dia pergi tanpa izin," tambahnya, berusaha menyembunyikan emosinya di balik nada marahnya yang biasa. Ia hanya bisa berharap Leon akan kembali.
Sementara itu, ribuan kilometer jauhnya dari Akademi yang tenang, Leon dan Axel melangkah maju menuju Gerbang Sejati. Denyutan merah dari celah dimensional itu terasa seperti detak jantung monster raksasa. Aroma belerang semakin kuat, dan suara-suara mengerikan dari dalamnya terasa semakin nyata. Axel menelan ludah, wajahnya sepucat kain, tapi ia tetap melangkah maju, didorong oleh tekad yang rapuh dan keberanian Leon yang menular.
Dengan satu langkah berani, mereka menembus batas antara dunia mereka dan apa yang ada di baliknya. Mereka mengharapkan kengerian yang mereka saksikan dalam hologram—langit merah darah, puing-puing kota yang hancur, dan siluet makhluk-makhluk raksasa. Namun, apa yang mereka temukan adalah sesuatu yang sama sekali berbeda, dan sama-sama membingungkan.
Begitu mereka melewati ambang gerbang, mereka tidak langsung masuk ke "Neraka" yang mengerikan. Sebaliknya, mereka menemukan diri mereka berdiri di sebuah ruangan kosong yang luas dan bercahaya putih bersih. Tidak ada dinding, tidak ada langit-langit, hanya hamparan cahaya tak berujung yang terasa dingin namun tidak menyilaukan. Suara-suara mengerikan dari Gerbang Sejati langsung terputus, digantikan oleh keheningan mutlak.
Axel tersentak. "Apa... apa ini?" Ia memutar tubuhnya, mencari pintu masuk yang baru saja mereka lewati. Gerbang itu telah lenyap, digantikan oleh dinding cahaya yang mulus. "Kita terjebak!"
Leon menyipitkan mata, mengamati sekeliling. Ia merasakan energi yang sangat besar dan kuno di ruangan ini, jauh melampaui apa pun yang pernah ia rasakan sebelumnya. Ini bukan ilusi. Ini adalah realitas yang berbeda.
Tiba-tiba, suara familiar itu kembali bergema, bukan dari satu arah, melainkan dari setiap sudut ruangan, seolah suara itu adalah bagian dari cahaya itu sendiri. "Selamat datang, para Pembawa Harapan."
Sosok hologram berjubah gelap yang mereka temui di Gate Red Spider Queen muncul kembali di tengah ruangan, kini terlihat lebih jelas, meskipun wajahnya masih tertutup tudung. Auranya terasa lebih lembut di ruangan ini, namun otoritasnya tetap tak terbantahkan.
"Pembawa Harapan?" ulang Axel, bingung. "Apa-apaan ini? Dimana kita? Dan kenapa kami tidak langsung ke 'Neraka' itu?"
Sosok itu tidak langsung menjawab. Sebaliknya, di samping hologramnya, tiga hologram lain muncul. Salah satunya adalah seorang pria bertubuh kekar dengan aura api yang membara. Yang kedua adalah seorang wanita anggun yang memegang tongkat bercahaya, dikelilingi oleh percikan es. Dan yang ketiga adalah seorang prajurit lapis baja dengan pedang raksasa di punggungnya, memancarkan aura kegelapan yang pekat. Ketiganya tampak berpose dalam posisi siap tempur.
"Kalian tidak sendirian dalam perjuangan ini," jelas suara sosok berjubah. "Ada 'Pembawa Harapan' lain di dunia lain, sama seperti kalian, yang juga telah 'terbangun' dan menghadapi ancaman yang sama. Kalian adalah orang-orang terpilih, bukan hanya di Cyberland, tetapi di seluruh alam semesta."
Leon terdiam, otaknya bekerja keras untuk memproses informasi ini. Dunia lain? Alam semesta? Skala krisis ini jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.
"Misi kalian," lanjut suara itu, "tidak hanya untuk menyelamatkan Cyberland. Cyberland hanyalah salah satu dari sekian banyak dunia yang terancam oleh kegelapan yang menyebar. Misi kalian adalah untuk menyelamatkan dunia-dunia lainnya juga."
Axel menatap hologram-hologram lainnya dengan mata terbelalak.
"Maksudmu, ada lebih banyak 'Neraka' di luar sana? Dan kita... kita harus pergi ke setiap dari mereka?"
"Tepat," jawab sosok berjubah. "Gerbang Sejati ini adalah nexus, titik pusat yang menghubungkan Cyberland ke Gerbang Sejati di dunia-dunia lain yang terancam. Kalian telah terpilih karena potensi dan kemampuan unik kalian untuk melewati setiap ujian. Sistem 'Dream' milikmu, Leon, adalah kunci untuk memanipulasi realitas di berbagai dimensi. Dan sistem Petir milikmu, Axel, adalah kekuatan penghancur yang tak tergantikan."
Leon merasakan gelombang pemahaman. Ini bukan lagi tentang mengatasi kebosanan atau mencari uang. Ini adalah tujuan sejati. Sebuah misi kosmik yang melampaui batas planet mereka.
"Jadi, kita akan bertemu dengan 'Pembawa Harapan' lainnya?" tanya Leon, matanya tertuju pada hologram prajurit berpedang gelap.
"Ya," jawab suara itu. "Tetapi tidak secara langsung di sini. Setelah kalian menyelesaikan 'ujian' di Gerbang Neraka Cyberland, kalian akan diarahkan ke Gerbang Sejati di dunia berikutnya, di mana kalian mungkin akan bertemu dengan 'Pembawa Harapan' lainnya. Mereka juga sedang menjalani ujian mereka sendiri."
Axel menghela napas. Beban di pundaknya terasa semakin berat, namun entah mengapa, ada sedikit rasa bangga dan tujuan yang baru ditemukan. Ia bukan lagi sekadar tuan muda guild yang takut mati, tetapi seorang pahlawan yang dipilih untuk misi yang tak terbayangkan.
"Bersiaplah, para Pembawa Harapan," kata suara itu, hologram mulai memudar. "Perjalanan kalian baru saja dimulai. Neraka Cyberland adalah langkah pertama. Buktikan bahwa kalian pantas menjadi penyelamat alam semesta."
Ruangan bercahaya putih itu mulai bergetar, dan di hadapan mereka, sebuah lubang hitam kecil mulai terbentuk, berdenyut dengan energi gelap. Itu bukan lagi Gerbang Neraka merah menyala yang menakutkan, melainkan sebuah portal ke tempat yang tidak diketahui.
Leon menatap lubang hitam itu, lalu ke arah Axel. Ketakutan Axel terlihat jelas, namun ada kilatan tekad di matanya. Leon menyeringai. Ini adalah awal yang sebenarnya. Tantangan yang ia idamkan, kini datang dengan skala yang jauh melampaui impian terliarnya.
"Mari kita selesaikan ini, Gendut," ucap Leon, melangkah maju tanpa ragu menuju portal kegelapan yang berdenyut.
Axel menghela napas lagi, memejamkan mata sesaat untuk mengumpulkan keberanian. "Tentu saja," bisiknya, mengikuti Leon. "Demi dunia... atau demi alam semesta, kurasa." Mereka melangkah bersama, siap menghadapi apa pun yang menanti di balik portal itu, di tengah kegelapan yang tak terbatas.
Kalau ada masukan kritik & saran mohon tulis di komen gays janga lupa like🔥✌️😃