Di tengah masalah pelik yang menimpa usaha kulinernya, yang terancam mengalami pengusiran oleh pemilik bangunan, Nitara berkenalan dengan Eros, lelaki pemilik toko es krim yang dulu pernah berjaya, namun kini bangkrut. Eros juga memiliki lidah istimewa yang dapat membongkar resep makanan apa pun.
Di sisi lain, Dani teman sedari kecil Nitara tiba-tiba saja dianugerahi kemampuan melukis luar biasa. Padahal selama ini dia sama sekali tak pernah belajar melukis. Paling gila, Dani tahu-tahu jatuh cinta pada Tante Liswara, ibunda Nitara.
Banyak kejanggalan di antara Dani dan Eros membuat Nitara berpikir, keduanya sepertinya tengah masuk dalam keterkaitan supernatural yang sulit dijelaskan. Keterkaitan itu bermula dari transfusi darah di antara keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OMIUS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang Ketiga
“Dan, enggak perlukah sampai harus setiap hari terapi Ibu. Seminggu dua kali saja sudah cukup. Kondisi Ibu sekarang sudah jauh membaik.”
Aku paham, Nitara berkata seperti itu dikarenakan merasa tak enak hati. Dia mengira ibunya sendiri yang telah memaksaku agar melakukan terapi pijat saban hari. Sementara aku dinilainya tak kuasa untuk berkata tidak.
Nitara salah. Sama sekali aku tidak merasa dipaksa. Yang ada justru aku sendiri yang berinisiatif saban hari melakukan pijat terapi pada Tante Liswara. Tiada rasa lelah yang didapatiku karena aku antusias. Malah sehari saja aku tidak menyambangi rumah ibunya, rasanya seperti menyia-nyiakan jatah waktu bahagiaku.
Unik memang, atau malah suasana batinku saat ini tengah menyimpang. Bagaimana mungkin aku menyamakan aktivitas terapi pijatku pada Tante Liswara, sebagaimana halnya ketika aku dulu semasa remaja rutin mengencani pacar pertamaku.
Tak heran bila segenap isi kepalaku kini tengah sepenuhnya terbelit bayang-bayang paras Tante Liswara, sehingga susah sekali untuk berpaling.
Memang sesat akal! Amatlah tidak waras aku ini! Bukan karena waktu itu aku masih berstatus pria beristri, melainkan karena jatuh cinta pada seorang perempuan yang sudah kuanggap ibuku sendiri. Pengganti Mamah yang sudah meninggal.
Jangan ditanya sampai sedemikian sesatnya aku jatuh cinta! Masih masuk akal andai aku tiba-tiba jatuh cinta pada Nitara. Parasnya senantiasa terlihat segar, padahal saban hari terpapar asap dapur rumah makan yang dikelolanya. Tubuh sintalnya beberapa kali malah sempat menggemaskanku, apalagi statusnya sekarang yang janda tanpa anak.
Memang bentuk muka Nitara belum sebagus ibunya. Meski begitu dagu indahnya telah cukup untuk menobatkannya sebagai perempuan menawan. Kendati demikian tiada pernah hatiku sempat bergetar bertatap muka dengannya.
Bandingkan dengan Tante Liswara yang sudah setengah abad lebih usianya. Tubuhnya yang dulu sintal kini kurus kerontang. Malahan sempat setengah lumpuh, dan hanya dapat duduk kursi roda. Pun dengan binar-binar terang di wajahnya, kini hilang entah kemana berganti sendu. Kendati demikian sukar untuk dibantahku, adalah layak jika kata cantik tetap perlu disematkan di parasnya.
Sekali lagi, sampai sebelum aku tiba-tiba kerasukan hasrat melukis, Tante Liswara masih kuanggap layaknya ibuku sendiri. Perasaanku terhadapnya tak ubahnya sikap seorang anak yang mendapati ibunya terserang stroke, terenyuh. Walau tidak saban hari, namun aku rutin melakukan terapi pijat padanya. Kulakukan dengan sepenuh hatiku sebagai bentuk baktiku pada beliau.
Lain halnya dengan hari-hariku berikutnya. Setelah terkagum-kagum oleh keindahaan lukisan perdanaku, yang bertema lukisan wajah seorang perempuan muda di dalam sebuah studio lukis, bola mataku mendadak tak kuasa untuk berpaling dari lukisanku.
Sampai pernah aku hanya diam mematung selama berjam-jam lamanya, memandangi kecantikan wajah perempuan dalam lukisan perdanaku. Sedangkan perempuan itu tak lain Tante Liswara semasa muda dulu.
Kemudian aku tersadar. Kala itu aku seperti mengulang pengalaman semasa bujangan dulu, betah berlama-lama memandangi kemolekan seorang perempuan, sebelum kemudian aku jatuh cinta padanya untuk selanjutnya diperistri olehku.
Spontan aku menampik. Menolak mentah-mentah kalau aku telah jatuh jatuh cinta pada Tante Liswara. Bukan beliau!
Terlampau menyimpang andai aku benar jatuh cinta padanya. Aku hanya terperangkap jerat-jerat pesona wajah perempuan dalam lukisanku sendiri. Barangkali karena guratan kuasku di kanvas terlampau sempurna, berdampak pada lukisan perdanaku yang begitu hidup saat dipandang.
Anehnya paras Tante Liswara dalam wujud asli sekoyong-koyong berubah di mataku. Tiba-tiba terpancar kilau aura yang tak kalah memesona dengan model dalam lukisan perdanaku. Aku tak lagi mendapatinya sebagai perempuan bermuram durja akibat kepergian suami tercinta.
Di mataku, Tante Liswara malah selayaknya gadis rupawan yang penuh dengan keceriaan. Membuatku betah berlama-lama memandanginya, sebagaimana halnya menatap wajah perempuan dalam lukisan perdanaku.
Ilusi! Aku tetap menampik jika Tante Liswara telah mengundang cinta datang menghampiriku lagi. Segala pesona yang ditemukanku darinya hanyalah produk ketidakberesan otakku.
Yakin diriku, pada waktunya nanti Tante Liswara akan kembali seperti semula. Namun, kiranya realitas berkata lain. Senantiasa berada di sampingnya ternyata amat membahagiakanku.
Pada akhirnya aku harus mengakui, adalah benar bila aku sudah terjerat cinta Tante Liswara. Tapi, kenapa aku sampai sebegitu terperdaya pesonanya? Sekoyong-koyong, dan hanya bermula dari menggagumi keindahan seraut wajahnya dalam lukisan karyaku sendiri.
Ini menyiksaku. Aku akan terperosok dilema besar, bingung bersikap. Hasratku sudah tak kuasa menahan diri, selekasnya aku harus mengungkapkan isi hati pada Tante Liswara. Tetapi, nalar sehatku keras menegurku. Mengingatkanku jika perempuan yang tengah membuatku tergila-gila itu adalah pengganti mendiang Mamah.
Nalar sehatku juga mengingatkanku, alangkah murkanya Nitara jika tahu aku nekat mengutarakan isi hati pada ibunya. Dipastikan dia tak akan mengizinkanku lagi untuk melakukan terapi pijat. Malahan mungkin aku terlarang masuk ke rumah ibunya.
Dengan mempertimbangkan segala untung ruginya, terpaksa aku memilih memendam rasa ini hingga hampir dua tahun lamanya. Satu pilihan yang sesungguhnya amat mendera batinku.
Tiga minggu usai aku resmi tergila-gila pada Tante Liswara, sebuah pengalaman unik sempat menyambangiku. Aku mempergoki perselingkuhan istriku.
Ya, istriku didapatiku tengah tidur bareng pria lain. Meski begitu aku menilainya lain. Istriku justru sengaja mengarahkanku agar mempergoki perselingkuhannya.
Satu sore sepulang dari rumah Tante Liswara, aku beroleh informasi dari sepupuku kalau istriku tengah berada di rumah orangtuanya. Karena ponselnya susah kuhubungi, sengaja aku datang ke rumah orangtuanya yang tengah kosong.
Tiba di sana sepi menyambutku. Aku memanggil nama istriku, tapi tidak ada jawaban. Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Langkah kakiku membawaku ke kamar utama, tempat istriku biasa tidur. Pintu kamar itu sedikit terbuka hingga mencipta celah. Aku bisa melihat sesuatu yang membuat perutku mulas. Istriku tengah tidur bersama seorang pria di ranjang yang sama, tanpa sehelai benang pun.
Apakah aku lantas murka seketika? Mengamuk sembari menghajar pria selingkuhan istriku? Tidak. Aku malas mengumbar emosiku. Aku hanya bersikap biasa-biasa saja. Aku cukup berdiri di ambang pintu sembari menatap mereka. Hatiku kosong, tidak ada rasa sakit, tidak ada cemburu. Kalau digambarkan, aku kala itu tak ubahnya tengah menonton adegan ranjang di layar lebar.
Kemudian aku masuk ke dalam kamar. Tetap amarah enggan membuncah di dadaku. Lebih-lebih keinginan, untuk menghajar pria kurang ajar yang meniduri istriku sampai babak belur. Ibarat kata, aku malah tak ubahnya anggota Satpol PP yang tengah melancarkan operasi pekat. Hanya bermaksud melakukan sedikit interogasi pada dua orang berperilaku mesum di kamar.
Pria yang menemani istriku di ranjang terbangun karena langkah kakiku. Ia terkesiap hebat, lantas panik akan kemunculanku di kamar. Ia mencoba menutupi tubuhnya dengan selimut. Wajahnya pucat pasi, matanya memancarkan ketakutan. Sementara istriku masih terlelap. Dia terlihat begitu damai tanpa menyadari kehadiranku.
Aku malas memedulikan pria itu. Fokus perhatianku hanya pada istriku yang masih lelap. Duduk di kursi di samping ranjang, aku membangunkan istriku.
"Melan, Bangun!" suaraku hanya datar saat menepuk-nepuk bahu istriku.
“Aku... aku bisa jelaskan. Ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan!” Malah pria itu yang menimpali, sementara istriku masih juga lelap.
"Heh, aku bukan lagi bicara denganmu!" timpalku tanpa mau menoleh. Pandanganku tetap kepada istriku, sembari semakin kuat menepuk-nepuk bahunya. "Bangun, Melan!"
Istriku mulai bereaksi, perlahan membuka matanya. Pandangannya kosong selama beberapa detik, lalu sadar akan keberadaanku. Terkesiap luar biasa melihat siapa yang membangunkannya.
"Dani ... kenapa, kenapa kamu di sini?"
"Kenapa kamu tidur bareng laki-laki itu?"
Istriku tidak menjawab. Ia hanya menatapku, matanya membaca setiap detail ekspresiku yang menurutnya... mungkin terlalu datar. Tidak ada kemarahan. Tidak ada kesedihan. Tidak ada apa-apa.
"Sepertinya Melan ingin aku ngamuk, begitu kan?" sahutku, masih dengan suara datar. "Atau, jangan-jangan kamu memang merencanakan semua ini, agar aku mempergoki perselingkuhanmu?"
Pria selingkuhan istriku mencoba menyela. "Tolong, jangan marah dulu, ini ada..."
“Diam kamu, aku tidak sedang bicara denganmu!” hardikku, sembari menoleh sebentar ke pria itu.
“Melan cuma lelah saja, Dani.” Istriku akhirnya berbicara.
“Lelah kenapa?”
Istriku hanya diam dan menunduk. Selama satu menit hanya keheningan yang mengisi kamar ini, sampai-sampai aku mendengar napas ketakutan pria di sampingnya. Aku menunggu. Aku tidak terburu-buru. Aku hanya ingin tahu.
"Lelah dengan semuanya. Dengan pernikahan kita."
Kalimat itu seharusnya menyakitiku, merobek hatiku menjadi kepingan-kepingan kecil. Tapi sekali lagi, yang kurasakan hanya kehampaan. Seperti mendengar berita tentang orang lain.
"Kamu pikir ini solusinya?"
Istriku menggeleng, masih menunduk dan tak berani beradu pandang denganku. "Aku tidak tahu lagi. Aku tidak tahu harus berbuat apa."
Aku menghela napas. Sementara benakku menyebut, yang tengah kulakukan ini bukanlah interogasi. Ini lebih mirip obrolan antara dua orang yang sudah tidak punya ikatan emosional lagi. Istriku tidak menunjukkan rasa bersalah, dan aku tidak menunjukkan kemarahan. Kami seperti dua orang asing yang kebetulan bertemu di sebuah tempat yang salah, pada waktu yang salah.
“Aku harus pulang. Ada pekerjaan yang mesti kuselesaikan.” Sambil beranjak berdiri aku berkata lagi, tetap dengan nada yang kalem.
Usai berkata aku melangkah keluar kamar. Meninggalkan begitu saja istriku dan lelaki selingkuhannya. Keduanya hanya bisa melongo oleh sikapku atas perselingkuhaan mereka.
Tiba di rumah, aku benar-benar malas memedulikan perselingkuhan istriku. Padahal harga diriku sebagai suami telah dicabik-cabik oleh pria selingkuhan istriku. Yang kulakukan sepulangnya ke rumah hanyalah menuntaskan hobi mendadakku, melukis di kanvas.
Sejak menorehkan karya perdanaku, aku seperti ketagihan untuk terus menelurkan karya lukisan lainnya. Berbeda dengan lukisan perdanaku, yang menurutku tercipta akibat campur tangan kuasa misterius dalam menggerakkan tanganku untuk melukis, karya-karyaku selanjutnya lebih didorong oleh hasratku sendiri sebagaimana sebuah hobi. Temanya pun beraneka ragam, namun tetap bercorak realisme.
Kendati demikian terdapat pula karya lukisku, yang proses kreativitasnya sama persis dengan lukisan perdanaku. Karya lukis yang bukan dilatarbelakangi perintah otakku, namun dorongan kuasa luar yang tiba-tiba datang dan menguasai tubuhku. Jumlahnya mencapai enam buah. Sama halnya dengan lukisan perdanaku, enam lukisanku itu juga hanya menampilkan seraut wajah Tante Liswara semasa muda dulu.
"Dan, kita bercerai saja! Melan harus jujur berkata, Melan sudah tidak mencintaimu lagi.”
Bahkan ketika istriku kemudian memintaku untuk menceraikannya, aku benar-benar tanpa emosi saat menyanggupi permintaannya. Apalagi selama tiga tahun menikah, istriku belum jua memberiku keturunan. Padahal dulu kami menikah atas dasar cinta, setidaknya aku yang mencintai istriku.
o3o