Disarankan membaca Harumi dan After office terlebih dahulu, agar paham alur dan tokoh cerita.
Buket bunga yang tak sengaja Ari tangkap di pernikahan Mia, dia berikan begitu saja pada perempuan ber-dress batik tak jauh darinya. Hal kecil itu tak menyangka akan berpengaruh pada hidupnya tiga tahun kemudian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fakta
Selama tiga hari, Sandi sengaja menghindari Ari. Bukan tanpa alasan dia melakukannya. Sandi hanya ingin rasa yang sudah ada, tak sampai terlalu dalam. Dia takut patah hati, apalagi Ari adalah tipe lelaki idaman sebagian wanita. Tampan, mapan dan royal.
Sandi bangun pagi-pagi sekali, supaya bisa nebeng pada Mak Jum dan pulang sedikit larut.
Bahkan Chat yang Ari kirimkan juga Sandi abaikan. Intinya, dia hanya menjadikan tempat kosnya untuk istirahat malam.
"San ..." Suara berat itu memanggilnya, begitu Sandi turun dari motor.
Jumat malam, Sandi pulang bersama Willy. Kebetulan lelaki yang sedang menantikan kelahiran buah hatinya, menuju ke arah yang sama dengannya. Istri Willy, mengidam makanan yang tempat jualannya tak jauh dari kosan Sandi.
"Terima kasih, Bang Wil! Salam buat Mba Jena." Sandi melambaikan tangannya.
Dua pekan berkerja bersama, Sandi sudah mengenal istri dari Willy. Karena sering ditawari makan bekal yang dibawa dari rumah. Di waktu jeda kerja atau ketika makan siang, Willy melakukan panggilan video pada istrinya.
"Kok Chat aku nggak dibalas, dibaca doang." Ari menghampirinya.
"Aku sibuk banget, Mas!" Sandi berdalih, "Aku langsung masuk, ya! aku capek banget." Dia memijat sendiri pundaknya yang terasa pegal.
"Kamu udah makan?" Tanya Ari.
Sandi mulai melangkah ke arah pagar kosan di samping warung kopi. "Udah tadi, dibeliin Bang Ringgo." Kali ini benar adanya, setiap lembur lebih dari dua jam. Dia mendapatkan jatah makan malam.
Ari mensejajarkan langkahnya. "Aku sengaja belum makan malam, karena nungguin kamu buat ajak makan bareng." Padahal waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
Tangan Sandi tertahan di udara, saat dirinya hendak membuka pintu pagar. Dia teringat chat dari Ari, sebelum waktu magrib. Mendadak Sandi jadi merasa bersalah, dia berbalik menatap lelaki yang kali ini mengenakan kaus lengan pendek berwarna putih dan celana training abu. "Mau makan di mana? Aku temani."
"Serius?"
Sandi mengangguk. "Kalau gitu, aku beli dulu. Nanti kita makan bareng di ruang tamu. Kamu bisa mandi dulu kalau mau." Kata Ari.
Sandi menggelengkan kepalanya. "Jangan deh Mas! mending makan di warungnya aja. Aku nggak enak sama penghuni yang lain. Apalagi ini udah malem." Pernah dia mendengar sindiran dari penghuni kos, ketika dirinya baru saja pulang dari menonton bioskop bersama Ari.
"Kamu nggak ganti baju dulu?" Tanya Ari.
Sandi menunduk seraya mengendus tubuhnya sendiri. "Apa aku bau badan?"
Ari melambaikan tangannya. "Nggak, kamu masih wangi. Dari sini masih tercium wangi parfum kamu." Sangkalnya. "Agak dingin, kamu biasanya pake kardigan."
Sabtu malam dan Minggu pagi kemarin, Sandi memang mengenakan Kardigan, setiap keluar kosan. Atau ketika dirinya bekerja, tapi memang hari ini Sandi tak mengenakannya. Koleksi Kardigan miliknya telah berpindah ke tempat keranjang cucian kotor. "Kotor semua, mas!"
Keduanya berbalik menuju pinggir jalan. "Kamu tunggu sini, sebentar aja!" tanpa menunggu jawaban dari Sandi. Ari berlari kecil, masuk ke dalam warung kopi. Tak sampai satu menit, lelaki itu kembali menghampirinya. "Pakai ini, aku tau kamu kedinginan." Ari memakaikan Hoodie berwarna hijau army padanya.
Lalu apa yang terjadi pada Sandi?
Tentu saja, Sandi hanya bisa mematung dengan tindakan spontan lelaki yang disukainya. Hingga ... Sebuah jentikan jari menyadarkannya. "Ya ... Mas?" Sandi menatap bingung lelaki yang berdiri, berjarak satu meter darinya.
"Apa yang sedang kamu pikirkan? Kenapa bengong? Aku panggil malah diem aja." Kata Ari.
"Nggak mikirin apa-apaan kok!" Sandi menyahut gugup. "Udah yuk jalan, keburu malem." Demi menutupi rasa gugup, Sandi berjalan terlebih dahulu. Dia berbelok ke arah kiri.
"San ..."
Sandi menghentikan langkahnya, dia berbalik menatap bingung lelaki manis tampan itu. "Iya Mas?"
"Jalannya ke arah sana." Ari menunjuk ke arah kanan.
Wajah Sandi sontak memerah malu, niat hati tidak ingin menunjukkan salah tingkahnya. Malah jadi salah jalan. Rasanya Sandi malu sekali.
Jarak tukang sate, kurang lebih sekitar seratus meter dari warung kopi. Sepanjang perjalanan, Sandi hanya menjadi pendengar. Ari menceritakan kejadian di warung kopi tadi sore.
Ketika ada dua orang laki-laki adu jotos hanya karena seorang perempuan. Intinya keduanya mengaku sebagai pacar perempuan yang sama.
"Terus akhirnya gimana?" Tanya Sandi.
Mereka telah sampai di salah satu pedagang kaki lima, yang menyediakan menu sate. "Aku pisahin lah, tapi mereka udah babak belur. Terus aku nasehatin, untuk tidak menjadikan perempuan yang mereka perebutkan sebagai pasangan lagi."
"Lah, kenapa?" Tanya Sandi bingung.
"Biar adil, nggak ada yang dapat."
"Ya nggak bisa gitu lah, kali aja salah satu dari mereka benar-benar mencintai perempuan itu." Sandi membantah pendapat Ari.
"Tapi bagaimana dengan perempuan itu? Bisa aja si perempuan terpaksa menerima salah satu dari mereka."
Sandi bisa melihat rahang lelaki di sebelahnya, yang tiba-tiba mengeras dan suara terdengar mengeram. Sepertinya Ari sedang menahan amarah. "Ya nggak tau lah mas, toh itu urusan mereka. Bukan urusan kamu, apalagi aku." Katanya santai. "Jadi nggak usah kesel gitu. Kok kesannya Mas Ari kayak mengalaminya sendiri." Sandi menerka.
Ari sontak menoleh, "aku nggak kesel. Kan aku lagi cerita ke kamu."
"Ngeliat aku biasa aja! Nggak usah melotot gitu! Aku nggak ngerti apa-apa loh!" Sandi membantah. Jelas-jelas barusan Ari melotot padanya, "mending sekarang kamu pesan makanan. Katanya lapar belum makan." Dia menunjuk ke arah penjual dengan dagunya.
Ari menoleh ke arah penjual dan menyebutkan kesannya. "Kamu makan lagi, ya?"
"Aku cuma temani kamu."
"Kamu butuh banyak tenaga untuk menghadapi kerasnya ibu kota."
"Tapi nggak dengan cara banyak makan."
"Cak, tambah satu porsi lagi." Kata Ari pada penjual. "Kamu mau minum apa?"
"Mas, aku minum aja. Nggak usah makan." Sandi menolak.
"Cak, minumnya samain sama saya aja." Seolah tak peduli, Ari tetap memesan dua porsi.
"Mas Ari, ih ..." Dengus Sandi kesal.
"Apa sih Sandi?" Ari menyangga kepalanya dengan tangannya sendiri. "Besok pagi jalan yuk!"
"Mas Ari nggak jelas banget, tadi marah, terus semuanya sendiri. Sekarang malah ngomong kayak gitu." Sandi mencebik.
"Kapan aku marah?"
"Tadi melototi aku."
"Aku nggak melotot, emang mata aku kayak gini."
"Terserah." Sandi memilih abai, dia mengambil ponsel dari dalam tasnya.
Dua gelas minuman tersaji di meja mereka. Ari menyodorkan ke arah Sandi. "Besok jalan yuk!" ajaknya.
Sandi menggeleng, "aku besok lembur setengah hari."
"Ya udah pulang kerja."
"Kemana?"
"Enakan gunung atau pantai?"
Sandi menaikan bahunya. "Nggak kepikiran."
"Hapenya taruh dulu, dong! Aku lagi ajak kamu ngomong."
"Bentar mas, aku balas Wa dulu. Penting ini." Sandi terlihat serius menatap layar sementara jarinya sibuk mengetik. Hingga sate terhidang di depannya, barulah Sandi memasukan ponsel ke dalam tasnya. "Kamu mau ajak aku jalan, emang mau kemana? Lagian kita baru kenal seminggu loh! Masa mas Ari udah berani ngajak aku jalan."
"Seminggu gimana? Aku udah tau kamu sejak Mia kerja di Surabaya, kok! Kamu juga tau aku, kan?"
"Akrabnya baru seminggu, Mas! Apa nggak aneh?"
"Aneh kenapa?" Tanya Ari. "Kita sambil makan." Dia mulai menyantap hidangan di depannya.
"Kamu ngajak aku jalan, tapi kamu nggak nanya dulu. Apa aku jomblo atau tidak, kalau ada yang marah gimana?"
Ari meletakan tusukan di sisi piring, dia mengambil tisu dan mengelap sekitar mulutnya sendiri. "Oke, sekarang aku tanya. Kamu kalau aku ajak jalan, ada yang marah atau nggak?"
"Ya nggak sih, aku abis diputusin." Sandi tersenyum kecut. "Makanya aku minta pindah kesini."
Ari terkekeh, "lari dari kenyataan ya? Atau lagi cari obat patah hati?"
"Dua-duanya sih mas!" Sandi nyengir. "Mas Ari sendiri, ngapain ngajak aku jalan. Kayak jomblo aja."
"Emang aku jomblo." Sahut Ari santai, sambil mengunyah sate. "Kamu nggak nanya tentang aku ke Mia?"
Sandi menggelengkan kepalanya. "Aku nggak nanya."
"Ohhh ... Gitu." Ari kembali memakan satenya.
Sempat hening, keduanya sibuk dengan makanannya masing-masing. Suara obrolan meja sebelah dan kendaraan yang melintas menjadi pengisi suara di antara keduanya.
"Kerjaan lancar mas?" Tanya Sandi tiba-tiba.
"Alhamdulillah sejauh ini lancar." Jawab Ari.
"Mas Ari kerja di kementerian apa?" Tanya Sandi lagi.
Ari tidak langsung menjawab, dia memilih meminum air jeruk hangat pesanannya. "Aku resign."
Mata bulat Sandi melebar, dia menoleh menatap lelaki di sebelahnya. Seolah tak percaya.
"Lihat aku biasa aja. Nggak usah kaget gitu."
"Bukannya Mas Ari udah diangkat jadi ASN. Kok bisa keluar sih? Kan sayang."
"Ceritanya panjang, kalau mau dengar. Besok pulang lembur, kita jalan keluar kota. Gimana?"
Karena penasaran, tanpa pikir panjang. Sandi menyetujuinya. Baru kali ini ada orang yang mundur dari ASN.