Hari yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan Eireen justru berubah menjadi neraka. Dipelaminan, di depan semua mata, ia dicampakkan oleh pria yang selama ini ia dukung seorang jaksa yang dulu ia temani berjuang dari nol. Pengkhianatan itu datang bersama perempuan yang ia anggap kakak sendiri.
Eireen tidak hanya kehilangan cinta, tapi juga harga diri. Namun, dari kehancuran itu lahirlah tekad baru: ia akan membalas semua luka, dengan cara yang paling kejam dan elegan.
Takdir membawanya pada Xavion Leonard Alistair, pewaris keluarga mafia paling disegani.
Pria itu tidak percaya pada cinta, namun di balik tatapan tajamnya, ia melihat api balas dendam yang sama seperti milik Eireen.
Eireen mendekatinya dengan satu tujuan membuktikan bahwa dirinya tidak hanya bisa bangkit, tetapi juga dimahkotai lebih tinggi dari siapa pun yang pernah merendahkannya.
Namun semakin dalam ia terjerat, semakin sulit ia membedakan antara balas dendam, ambisi dan cinta.
Mampukah Eireen melewati ini semua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eireyynezkim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Gadis Biasa
Beruntungnya, Ayah yang sedari tadi mendengar dari balik tembok sekat ruang tidur utama kamar itu segera masuk.
Melihat Eireen sudah kesulitan bernapas, laki-laki itu bergerak cepat, mendekati istrinya.
"Sayang?!"
Ia mencoba melepas tangan istrinya yang mencekik Eireen.
Namun, istrinya tetap bersikeras, seolah sudah dikuasai oleh emosi yang memburu. "Dia bukan gadis biasa. Dia sama sepertiku, terlatih sejak kecil, Sayang. Pasti dia mendekati putraku atas suruhan seseorang, akan kubunuh dia sebelum itu!"
Ayah Xav menghela napas, segera memeluk istrinya, menariknya menjauh. "Ayo!"
"Black... Lepas!!" Kalau sudah marah, Navya selalu keceplosan memanggil suaminya dengan sebutan namanya.
Namun, sang suami tidak mau melepaskan.
"Tenang, Sayang. Tenang dulu. Kau mulai lagi terpengaruh kejadian terakhir!"
"Tidak. Tenang bagaimana? Biarkan aku membunuhnya!"
Sementara Ayah Xav menenangkan istrinya, Eireen sudah tertunduk, terbatuk-batuk, mengambil napas dengan tersengal.
Ia belum pernah merasakan seperti sudah diambang kematian seperti tadi. Perempuan satu-satunya yang menjadi Kepala Keluarga memang bukan hanya menang pada aura, tapi kekuatan dan kecekatan yang mematikannya juga sangat berbahaya.
Eireen memaksakan berdiri, bersandar dinding dengan satu satu. Sedang satu tangannya lagi, memegangi lehernya yang masih memerah.
Ia tatap sepasang suami istri itu, sambil tetap waspada, karena entah apa yang akan terjadi setelah ini, mungkin bisa jadi berbahaya.
"Dia terlatih sejak kecil, kau jangan percaya dengan donor darah atau apapun itu. Dia..."
Ucapan Ibu Xav tercekat, saat Eireen berteriak, "Suruhan?!"
Sontak, sepasang suami istri itu menatap ke arahnya. Eireen walaupun masih belum bisa bicara lancar memaksakan bicara. "Siapa...?! Aku bahkan tidak ingat masa kecilku, Nyonya."
"Lantas kau mau membunuhku, hanya karena aku tampak terlatih dari kecil? Iya?! Aku... hanya anak buangan, yang tidak ingat masa kecilnya. Puas, kau, hah?!" imbuhnya menggebu-gebu.
Gigi Eireen menggertak, matanya memerah, berkaca-kaca. Ia paling benci membahas masa lalunya, lebih-lebih harus mengakui diri sebagai anak buangan begitu.
Mengingat, itu sama saja seperti menyayat hatinya sendiri dengan pisau berkali-kali.
Astacala, tampak terdiam. Navya justru melihat dirinya yang dulu pada diri Eireen. Sosok perempuan kuat yang penuh luka masa kecil dan bahkan hilang ingatannya juga sama.
"Silakan cari tahu, kemanapun, kepada siapapun! Tentang apa yang kau curigakan kepadaku. Yang jelas, aku.... hanya berniat menolong orang yang sudah menyelamatkan nyawaku. Hanya itu, Nyonya. Ya, anakmu menyelamatkan nyawaku, dan aku hanya membalas budi untuk itu. Kalau kau tidak percaya juga, silakan bunuh aku, tapi jangan apa-apakan Bos dan rekanku!"
Tidak ada gurat kebohongan di wajah Eireen.
Ucapannya lugas, sorot matanya begitu yakin dan bahkan nada suaranya tidak gemetar sama sekali.
Astacala menghela napas. Ia lantas memeluk istrinya dari samping, membawanya pergi. "Ayo, tenangkan dirimu dulu, Sayang!"
Navya yang teringat dengan masa lalunya pun menurut. Pikirannya tiba-tiba penuh, seolah disergap banyak hal di satu waktu.
Navya terduduk di lantai. Ia cengkram pakaian bagian kakinya sendiri, memukulnya frustasi. Entah kenapa banyak hal terjadi dalam hidupnya, tidak sesuai rencananya, justru semakin memburuk saja dari hari ke harinya.
Tidak berselang lama, Dokter Nathan masuk ke kamar itu.
Laki-laki itu membawa kotak P3K, menatap Eireen yang masih duduk menunduk, menghadap lantai.
"Boleh aku masuk?"
Suara laki-laki itu membuat Eireen menegakkan kepala. Ia menatapnya nanar. "Pergi! Aku sedang tidak dalam mood yang baik untuk meladenimu bicara."
Dokter Nathan tersenyum tipis. Wajahnya tampak tenang, menanggapi. "Tuan Besar memintaku untuk merawat lukamu."
"Heh. Setelah istrinya mau membunuhku, dia sok baik begitu? Buat apa? Aku tidak butuh!"
"Setidaknya, biarkan aku merawatmu, Eir. Agar aku.. bisa mengatakan pada Tuan Kalan, kalau kau baik-baik saja di sini."
"Bos? Kau bisa menghubungi Bosku? Apa mereka baik-baik saja?"
Dokter Nathan tersenyum tipis. "Kalau aku cerita sambil merawat lukamu bagaimana? Sepertinya bukan ide yang buruk, kan?"
Eireen diam. Dokter Nathan mulai beranjak mendekat. "Demi Tuan Kalan, kau harus baik-baik saja. Agar aku... juga bisa dengan tenang menyampaikan kabarmu padanya."
Eireen tidak melarang, bahkan sampai laki-laki itu duduk di sebelahnya, meletakkan kotak P3K di sebelahnya.
"Boleh aku periksa dulu?"
Eireen mendongakkan kepala, agar laki-laki itu bisa melihat lehernya.
Setelahnya, Dokter Nathan mulai mengeluarkan alat-alat medisnya untuk menangani luka cengkraman di leher itu.
Ia mulai merawat lukanya, sambil bicara. "Tuan Kalan dan lainnya baik-baik saja. Tadi... anggota Keluarga Alistair yang bersama mereka, sempat menghubungkanku dengannya."
"Benarkah? Berarti, mereka masih disekap?"
"Maaf, aku tidak bisa menjelaskan lebih lanjut. Yang jelas, mereka baik-baik saja. Tuan Kalan menghubungiku, karena ingin tahu kabarmu tadi itu."
"Kau bilang apa?"
"Ya kubilang kau akan baik-baik saja. Suaranya terdengar lega."
"Bisa aku bicara dengannya?"
"Maaf, selama penyelidikan berlangsung belum bisa. Tapi aku, bisa menyampaikan pesanmu kepadanya kalau kau mau. Ah ya, tadi... dia juga menitip pesan sih."
"Apa?"
"Katanya, kau jangan khawatirkan mereka, fokus saja di sana. Jaga sopan santun, jangan cepat emosi, biar kalian bisa bertemu lagi. Setelah ini... dia akan mentraktirmu makan seafood sampai kau puas, di kapal pesiar."
Eireen tersenyum. Benar, itu adalah ucapan bosnya, bukan buatan Dokter Nathan. Mengingat, ia selalu merengek kepada bosnya untuk liburan bersama, naik kapal pesiar, makan seafood sepuasnya.
Eireen menghela napas lega, karena bosnya baik-baik saja, pasti rekannya yang lagi juga baik.
Dokter Nathan ikut tersenyum tipis. "Boleh aku tanya sesuatu?"
"Katakan saja!"
Sambil tangannya masih cekatkan merawat luka di leher Eireen, Dokter Nathan dengan tenang mulai bertanya, "Kenapa sampai Nyonya Besar menyerangmu tadi?"
"Entahlah, katanya aku sudah terlatih dari kecil sepertinya. Jadi dia mau membunuhku, karena takut aku mendekati putranya atas suruhan orang. Padahal aku saja tidak ingat, masa kecilku seperti apa. Eh dia mencurigainya. Aneh sekali kan?"
"Hmm. Kau harus maklum, Eir. Naluri seorang ibu melindungi anaknya memang begitu. Kalau kau memang tidak salah, jangan takut, Tuan dan Nyonya Besar bukan orang yang seperti dikatakan orang-orang, kejam membunuh tanpa alasan. Satu minggu ini, cobalah bersabar dulu, jangan terbawa emosi, biar hasil penyelidikan membuktikan semuanya. Ok?"
"Ck. Satu minggu? Masalahnya aku juga punya urusan, bagaimana aku baru keluar satu minggu?"
"Urusan apa?"
"Ada lah, masalah pribadi."
"Bisa kau katakan padaku, Eir? Siapa tahu, aku bisa bantu?"
"Kau tidak bisa bantu, percuma."
"Hmm. Padahal aku bisa melakukan apapun."
"Ck. Kau masih memancingku untuk mengorek informasi? Astaga... baiklah, akan kuceritakan. Beberapa hari lalu, aku dikhianati calon suamiku, yang ternyata selingkuh dengan anak dari orang yang sudah kuanggap ayah. Kuusir mereka dari tempat resepsi yang kubiayai. Eh, mereka mau buat resepsi sendiri satu minggu lagi, tidak, enam hari lagi. Aku.. ditantang untuk datang ke sana dengan laki-laki yang lebih dari mantanku itu. Jadi aku harus datang ke sana. Ini aku malah terkurung di sini, sial benar nasibku!"
Dokter Nathan sampai menghentikan gerakan tangannya, menatap Eireen lamat-lamat.
"Kenapa? Aneh begitu kau menatapku, hah?"
Dokter Nathan tersenyum tipis. "Kau menceritakan pengkhianatan, di hari pernikahan dengan mudahnya? Maksudku, seperti tidak ada beban begitu."
"Ya buat apa laki-laki pengkhianat seperti itu ditangisi? Atau sampai membuatku meratap, hidup seolah paling menderita? Tidak, aku... tidak mau merendahkan harga diriku begitu. Tidak akan! Intinya aku harus keluar dari sini, dan menghadiri resepsi itu, atau harga diriku tak akan terselamatkan di mata mereka!"
Dokter Nathan tersenyum lebar, tangannya lanjut bekerja. "Kau memang unik."
Di sisi lain, Ayah Xav yang mendengar percakapan mereka pun menatap sang istri, di sebelahnya.
"Apa?" tanya istrinya ketus.
"Mirip seseorang. Gagal menikah, tidak menangis, terlalu berani dan emosian."
"Menyindirku?"
Ayah Xav terkekeh. Sang istri pun melotot. "Kau... sungguhan jadi lemah sekali ya, sekarang? Lihat, bagimu mudah sekali percaya pada gadis itu!"
"Entahlah, semakin aku mendengarnya, semakin berkurang tendensi negatifku terhadapnya."
"Kau... jangan-jangan sudah jatuh cinta padanya, iya?!"
"Astaga.... ingat umur. Dia seusia anak-anak kita, masih juga kau cemburu?"
"Heh. Kau saja menyamakan dia denganku waktu muda!"
Ayah Xav terkekeh. Ia peluk istrinya itu. "Maaf? Tapi memang mirip kan?"
"Kau...?!" Istrinya mau mengamuk, laki-laki itu segera menyela, "Iya, aku hanya mencintaimu istriku...! Sudah-sudah tenang ya. Jangan terbawa emosi lagi!"
Xav dan Xev yang mendengar percakapan orang tuanya, lewat alat komunikasi khusus keluarga yang juga menyadap suara pun saling tatap.
Xev terkekeh, Xav geleng-geleng kepala. Entah kenapa ayah ibunya masih seperti itu saja bucinnya sampai sekarang.
"Tapi aneh sih memang gadis itu. Pasti ibu langsung terpikir, kalau dia sama saja dengan Ale__"
"Jangan sebut nama itu!" sela Xav dengan nada tegas.
"Hmm. Ya-ya. Tapi... kenapa juga kau menyelamatkannya? Jangan-jangan kau jatuh cinta padanya?"
"Jangan bicara omong kosong! Aku hanya tidak mau, perempuan itu mati, setelah mengantarku. Itu saja!"
"Benarkah?"
"Lagipula, aku tidak menyelamatkannya, hanya meninggalkan bom asap saja. Dia hidup juga karena usahanya sendiri. Bodoh memang dia, kenapa pakai kembali segala!"
Xev masih menyipitkan mata, menatap curiga saudara kembarnya. Xav mendengus. "Ah sudahlah, sana, kalau ada yang penting lagi, beritahu aku. Sekarang aku mau tidur!"
"Dih, tadi juga bilang mau tidur, tapi waktu aku bilang ibu menemui perempuan itu, kau langsung antusias!"
Xav tidak peduli, sudah menutup matanya, malas berdebat dengan Xev.
"Ok fix. Kalau begini cara mainmu. Aku benar-benar tidak akan memberitahu, walau nanti, akhirnya ibu menghukum mati perempuan itu!"
Xev beranjak pergi, barulah Xav membuka mata.
Laki-laki itu menghembuskan napas kesal. 'Kenapa juga, dia kembali? Membuat rumit saja! Hah!'
Xav pun sebenarnya seperti ayahnya, yang semakin mendengarkan Eireen bicara, semakin hilang curiganya. Jadi, ia agaknya kepikiran juga, kalau sampai gadis itu kenapa-kenapa.
Bahkan setelah mendonorkan darah kepadanya.
Ibaratnya, sekarang ini, justru dia yang hutang nyawa kepada Eireen.
Lima hari berlalu.
Eireen masih terkurung di dalam kamar itu. Beruntungnya, ia benar-benar diberikan makan enak setiap hari.
Jadi, ia bisa menuruti perkataan Dokter Nathan untuk menunggu dengan tenang di situ. Toh Bos dan rekannya juga baik-baik saja.
Eireen walau bosan, cukup menikmati juga, ongkang-ongkang kaki dan menikmati fasilitas di sana. Ia anggap itu sebagai istirahat panjang pertama dalam hidupnya.
Hari itu, adalah h-1 resepsi pernikahan Zeya dan Pram. Eireen mulai gelisah. 'Sial, kalau aku tidak datang, bisa besar kepala mereka!'
Gadis yang tiduran di atas ranjang, menatap atap dengan menyilangkan tangan di bawah kepalanya itu terus berpikir. 'Tapi kalau aku datang mau bawa siapa? Mana ada aku waktu mencari orang?'
Eireen semakin pusing saja. Waktunya sungguh terbuang percuma. Ia pun berguling, menyembunyikan kepala di bawah bantal, karena saking frustasinya.
Ia mengomel sendiri, sampai-sampai tidak sadar, jika seseorang telah masuk ke dalam kamar itu.
"Ehem!" Suara berdehem terdengar, Eireen melempar bantal dari atas kepalanya.
Ia melirik ke sumber suara. Ternyata Felix, tangan kanan dari Ayah Xav yang datang.
"Mau apa?" tanya Eireen ketus sambil mengambil posisi duduk.
"Apa Anda tidak bosan? Saya diminta mengantar Anda jalan-jalan mencari udara segar di luar."
Eireen mengernyit. "Tumben sopan sekali kau bicaranya?"
Felix hanya tersenyum tipis. "Kalau tidak mau, saya bisa..."
"Tidak!" Eireen segera menyela. "Aku mau keluar!"
Gadis itu sudah melompat dari tempat tidur, langsung berjalan. Felix mempersilakan dia lebih dulu, membuatnya semakin curiga. "Aneh."
Eireen pun akhirnya keluar dari kamar itu, melakukan peregangan, merasakan udara yang lebih segera.
Saat itu sudah siang, Felix mengantarnya ke taman bagian dalam Gedung Utama Markas Keluarga Alistair itu.
Tempat itu, bisa dibilang sebagai pusat pemerintahan Keluarga Alistair, sekaligus rumah utama dimana Keluarga Xav tinggal.
Saat Eireen asik duduk di kursi taman itu, diam-diam, dari jauh ia diawasi oleh Ayah dan Ibu Xav.
"Hasil penyelidikan, tidak ada satu pun bukti konkrit, jika dia termasuk dalam musuh yang menyerang Xav saat itu. Bahkan, cerita masa kecilnya yang hilang ingatan, terbuang, dan dicampakkan di hari pernikahan benar, Sayang. Sudah saatnya kita bebaskan dia," ucap sang suami.
"Tapi aku masih merasa ada sesuatu dengan gadis itu. Feelingku tidak mungkin bohong, matanya, aku seperti pernah lihat, tapi entah dimana, Sayang."
"Ya kita bisa terus mengawasinya dari jauh. Bukankah, setelah kita bebaskan, lebih mungkin memergokinya, jika memang dia merencanakan sesuatu?"
"Ck. Terakhir kali, aku gagal, kita gagal mencium bau busuk pengkhianatan dari Aleysha, sampai Xav hampir saja tewas. Kalau bukan karena Fareno, entah akan seperti apa nasib anak kita. Aku... tidak mau sampai kecolongan lagi begitu. Bahkan feelingku benar-benar kuat."
Ayah Xav menghela napas. "Aku menebak, jika feeling itu muncul karena kejadian terakhir kali, Sayang. Kau... masih trauma saja dengan hal itu."
"Kau tidak mengerti!"
"Mungkin. Tapi, aku janji, kali ini, kita tidak akan membiarkan hal buruk menimpa Xav atau Xev lagi. Aku... akan memastikan, membongkar apapun, jika memang gadis itu menyembunyikan sesuatu yang membuatmu curiga. Okay?"
Ibu Vin diam. Sang suami merengkuh kedua lengannya. "Kita tidak pernah membalas kebaikan dengan keburukan, Sayang. Ya walau niatnya masih belum bisa sepenuhnya kita percaya. Tapi, dia layak dilepaskan, untuk sekarang ini. Ya, 'kan?"
"Ck. Terserah kau saja lah! Tapi Xav... anak itu akan aku kurung, sampai kita bisa menemukan Aleysha dan komplotannya. Kau jangan membantunya!"
"Ya. Kurung saja dia, aku setuju. Pusing kepalaku memikirkan anak itu. Mau marah, tapi dia mewarisi sifat istriku."
"Apa kau bilang?" Tatapan mata tajam segera menyorot dari mata perempuan itu.
Ayah Xav terkekeh, segera memeluk istrinya.
"Tidak-tidak. Begitu saja marah. Bercanda, Sayang!"
Sementara itu, Xav sudah bisa bergerak bebas, walau masih dalam masa pemulihan.
Kondisinya sudah lebih baik, makanya ia memaksa mau keluar kamar.
Sayang, para penjaga, tidak memperbolehkannya. "Maaf, Tuan Muda. Perintah Nyonya Besar, Anda tidak boleh kemana-mana dulu."
"Aku hanya ingin melihat keadaan Fareno saja, minggir kalian!"
Sayang, Xav tidak dibiarkan untuk lewat. Ada banyak pengawal sudah membuat pagar pembatas.
"Minggir, atau..."
Xav sudah mengambil ancang-ancang, mau memaksa dengan kekerasan.
Tapi, suara terdengar dari belakang. "Atau apa?"
Xav menoleh, ternyata saudara kembarnya yang datang, menyibak kerumunan orang penjaganya.
"Katakan pada mereka, aku hanya ingin melihat kondisi Fareno saja!"
"Malas."
"Kau
"Cepat kembali ke dalam, atau kau akan kulaporkan ibu dan dikurung di ruang isolasi seperti dulu."
"Mengancam?"
"Ya begitulah."
Xav mengepalkan tangan. Ia sudah pernah dimasukkan dalam ruang isolasi itu dan tidak bisa keluar sama sekali dulu.
Nyalinya ciut, apalagi, kini ibunya lebih marah dari kejadian dulu. Xev yang jadi kaki tangan ibunya pun menggiringnya masuk. "Ayo-ayo, cepat-cepat!"
Ia mau tidak mau pasrah, masuk kembali ke ruangannya. 'Ok, Xav, tenang dulu. Jangan gegabah, atau kau sungguhan tidak bisa kemana-mana!'
"Cepat kembali tidur, kau belum pulih benar!"
Perintah Xev sambil menunjuk ke arah ranjang.
"Aku sungguhan mau..."
Xev seketika mengangkat tab di tangannya, tepat di depan wajah Xav, hingga perkataannya tercekat.
"Kau bisa melihat kondisi Fareno dari sini. Jangan banyak alasan, cepat sana tiduran!" ucap gadis itu sambil meletakkan tabnya di dada Xav.
Kalau sudah begitu, tidak ada yang bisa ia lakukan. Xav tiduran di atas ranjang, mulai melihat kondisi Fareno dari layar benda pipih di tangannya.
Sang ajudan tampak masih belum juga sadar dari koma. Banyak alat penunjang kehidupan harus melekat pada tubuhnya.
Melihatnya, Xav kembali merasakan amarah luar biasa. Gara-gara melindunginya, dari para pengkhianat, ajudannya jadi seperti itu.
"Jangan sampai pengorbanan Fareno kau bayar dengan perilaku bodoh yang mengancam nyawamu!" kata Xev yang seolah bisa menebak jalan pikir saudara kembarnya itu.
"Diamlah, kau tidak tahu apa-apa!"
"Heh. Aku pernah kehilangan seorang ajudan, Xav. Kau tahu itu karena apa juga bukan?"
Xav mengarahkan pandangan kepada Xev.
Saudara kembarnya itu memang tidak pernah terlihat murung, tapi kini, ia sadar, jika dalam dirinya, menyimpan luka yang dipendam dalam-dalam.
Sampai sekarang, Xev tidak mau lagi punya ajudan, karena ia tidak mau kehilangan, atau ada yang berkorban untuknya, hingga ia larut dalam penyesalan bahkan sampai sekarang.
"Oh... akhirnya peka juga kau jadi orang, hah?"
tanya Xev dengan nada mengejek.
Xav diam, wajahnya tampak menyesal dengan kata-kata yang ia lontarkan tadi. Ia salah, Xev bahkan sudah lebih dulu, merasakan apa yang dirasakannya sekarang.
Xev tersenyum tipis. Ia bisa merasakan, apa yang Xav rasakan. "Oh iya, katanya, gadis itu akan diperbolehkan pulang."
"Bukan urusanku!" ketus Xav, padahal dalam pikirannya ada sesuatu yang ia rencanakan.
"Kupikir, kau mau mengucap selamat tinggal padanya."
"Heh. Tidak penting!"
"Baiklah-baiklah. Terserah kau saja, yang penting aku sudah bilang. Oh iya, kau bisa ajak bicara Fareno, mungkin, itu bisa memicu perkembangannya. Aku pergi dan jangan macam-macam. Kau mengerti?"
Xav hanya mengibaskan tangannya, sambil matanya masih fokus melihat layar.
Xev benar-benar gemas sekali. Ingin rasanya ia memukul saudara kembarnya itu. "Awas saja kalau kau sudah sembuh nanti!" ucapnya sambil berlalu ke arah pintu.
Xav tetap tidak menyahut. Lantas, saat suara pintu tertutup terdengar, baru ia melihat ke arah pintu. Ekspresinya jelas sekali sedang merencanakan sesuatu.
Xav menutup diri dengan selimut, mulai bicara kepada Fareno melalui sambungan dari tab di tangannya.
Xev yang diam-diam masih mengawasi saudara kembarnya di depan pintu melalui jam tangan digitalnya tersenyum tipis. "Dasar, padahal bicara begitu saja pakai masuk ke dalam selimut segala?"
Ia merasa saudara kembarnya itu lucu, kalau tidak mau terlihat seperti kekanakan, atau terlihat perhatian.
Dari kecil, Xav selalu bersikap cool, karena bahkan, ibunya pun walau perempuan, sangat keren di matanya. Sebagai penerus sang ibu, ia selalu bersikap begitu.
Beberapa saat kemudian, Eireen diajak ke sebuah ruangan, dimana jamuan makan dengan banyak sekali makanan tersaji.
"Silakan, ini makan siang untuk Anda," kata Felix.
"Tidak ada racunnya kan?" tanya Eireen curiga, karena sejak tadi, bahkan sikap Felix yang terlalu sopan membuatnya berpikiran negatif.
Felix tersenyum tipis. "Tidak ada, Nona. Silakan dinikmati, semuanya aman."
"Aku sih ragu. Atau... biasanya keluarga mafia begini, sebelum disiksa atau dibunuh, memang suka menyenangkan korbannya dulu."
Felix tetap tenang. "Anda tidak perlu khawatir. Kami tidak pernah menyenangkan orang yang ingin kami bunuh. Karena bahkan, orang-orang itu lebih seringnya kami buat memohon akan kematiannya, saat penyiksaan."
"Astaga." Eireen geleng-geleng kepala.
"Bagaimana kau mengatakan itu dengan ekspresi flat saja, Tuan? Sungguh mengerikan."
"Silakan." Felix menarikkan sebuah kursi untuk Eireen duduk. Tapi, gadis itu justru memilih kursi lain, yang berjauhan.
Ia masih curiga saja, jika jangan-jangan makanan di dekat kursi itu diracun.
"Silakan dinikmati, saya permisi sebentar."
Eireen tidak menjawab, membiarkan Felix pergi. Ia malas makan sebenarnya, karena masih curiga. Tapi, melihat ada makanan seafood favoritenya, Eireen pun tidak bisa menahan diri. Rasa makanan yang lezat membuatnya semakin lupa akan kecurigaannya sendiri. Hingga beberapa menit kemudian, Felix datang kembali ke ruangan itu, bersama dengan Ayah Xav.
Melihat si Tuan Besar, Eireen menghentikan makannya, menatap seolah bertanya 'mau apa ke sini?'
"Lanjutkan saja makanmu. Aku ke sini hanya ingin mengatakan, setelah ini kau akan diantarkan pulang," kata Ayah Xav.
Mata Eireen terbuka lebar. Ia sampai reflek berdiri. "Sungguh, Tuan?"
"Ehm. Kami tidak menemukan bukti cukup untuk menahanmu lebih lama. Hidangan ini, adalah sedikit ucapan terima kasihku, karena kau sudah menolong putraku. Atau... kau mau aku memberikanmu sesuatu, sebagai balasan kebaikanmu?"
Eireen mengernyit. 'Apa ini? Dia masih mencoba memancingku?'
"Tidak perlu, Tuan. Saya hanya mau pergi saja dari sini, dan tolong bebaskan juga Bos serta rekan saya yang lain!" ucapnya dengan nada tegas.
"Tentu saja. Tapi, kau yakin, tidak minta apapun?" Sekali lagi, Ayah Xav masih memancingnya.
"Dengan segala hormat, saya hanya balas budi, Tuan Besar. Jadi saya tidak butuh apa-apa untuk balasannya."
Ayah Xav agaknya menyerah, karena gadis di depannya sungguhan tidak sedikitpun terlihat ragu saat bicara. Lebih-lebih, Eireen mulai bicara sopan lagi kepadanya, walau masih ketus.
"Baiklah. Tolong juga maafkan istriku, atas lukamu itu. Dia... hanya terbawa emosi saja."
"Tidak masalah."
Ayah Xav tidak bicara lagi. Laki-laki itu justru berbisik kepada Felix, kemudian beranjak pergi dari ruangan itu.
Namun, langkahnya terhenti, saat Eireen berkata, "Terima kasih, Tuan Besar."
"Terima kasih sudah percaya pada saya."
Astacala melanjutkan langkahnya tanpa berkata apa-apa. Eireen tampak lega, akhirnya ia bisa pulang dan semuanya aman.
Satu jam kemudian, Eireen sudah ada di lapangan terbang utama, Markas Keluarga Alistair.
Ia diantar Felix sampai naik pesawat. "Maaf, saya hanya bisa mengantar Anda sampai di sini. Semoga perjalanan Anda menyenangkan."
"Ehm. Terima kasih, Tuan. Maaf, karena sempat curiga."
Felix tersenyum tipis, karena walau suka blak-blakan kalau bicara, Eireen masih bisa mengucap maaf dan terima kasih.
"Dengan senang hati, Nona. Kalau begitu saya permisi."
Eireen menganggukkan kepala. Felix pergi, ada satu orang pramugari yang mendekat ke arahnya, mengajaknya berkeliling pesawat pribadi sebelum berangkat.
Ya, Eireen berkesempatan mencoba salah satu pesawat mewah, milik Keluarga Alistair. Ada satu kabin tempat tidurnya, ia pun memilih menunggu di sana.
"Kalau begitu saya keluar dulu, Nona. Pesawat akan lepas landas lima menit lagi. Jika ada perlu apa-apa, silakan panggil saya."
"Baiklah."
Sang pramugari keluar dari kabin kamar, Eireen melihat-lihat perabot di sana. Ia memutuskan tidur, biar perjalanan terasa cepat.
Satu jam kemudian, tiba-tiba saja suara pintu kamar mandi terdengar terbuka.
Eireen yang masih setengah sadar membuka matanya, melirik curiga ke arah kamar mandi, di dalam kabin kamar itu.
Bersamaan dengan itu, seorang perawat melapor kepada Xev dengan nada panik. "Nona? Nona? Tuan Muda, Nona!"