Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Dasha mengambil ponsel dan mengetik pesan untuk Sera.
Untuk Sera:
Aku tidak akan pulang malam ini. Bos ada urusan di luar kota, dan aku tidak tahu sampai kapan. Hanya ingin memberi kabar supaya kau tidak khawatir. Sweet dreams, bestie! 😘
Tak lama, balasan masuk.
Sera:
Nikmati saja, bestie! 😏
“Duh, dasar. Kalau kau tahu yang sebenarnya, kau pasti tidak akan bilang begitu,” gumam Dasha sambil mengusap matanya.
Ia kemudian menekan panggilan video. Wajah Lea muncul di layar.
“Hai, Mima!” sapa gadis kecil itu ceria.
“Hai, sayang. Leo di mana?” suara Dasha lembut, meski jelas masih terdengar serak.
“Mima habis nangis, ya?” tanya Lea polos. Dasha tersenyum getir. Ia tak bisa berbohong pada anak-anaknya.
“Mima cuma kangen kalian, Sayang.”
Lea memanggil kakaknya, dan beberapa detik kemudian, wajah Leo muncul.
“Lea bilang Mima nangis. Kenapa?” tanyanya tenang tapi penuh rasa ingin tahu.
“Tidak apa-apa, Nak. Mima cuma rindu.”
“Kami juga rindu, Mima. Natal ini Mima pulang, kan?”
“Ya, Mima pulang. Dan Mima akan bawa seseorang. Kalian harus bersikap baik padanya, ya?”
“Siapa, Mima?” tanya Lea dengan mata berbinar.
“Itu rahasia. Kalian akan senang saat melihatnya.”
“Kami tidak sabar!” seru keduanya bersamaan.
Dasha tertawa kecil. “Baiklah, nanti Mima telepon lagi. Sekarang waktunya istirahat, oke?”
Setelah menutup panggilan, ia menarik napas panjang. Tapi baru saja menenangkan diri, terdengar tiga ketukan di pintu. Sebelum sempat menjawab, pintu terbuka.
“Aku bilang jangan ganggu aku, Issa. Apa susahnya memahami kalimat sederhana itu?”
“Aku minta maaf,” katanya sambil masuk ke kamar. “Sudah tiga jam, dan aku tak tahan memikirkan kalau kau marah padaku.”
“Sekarang kau gila?” Dasha memelototinya.
“Aku serius,” jawabnya pelan, lalu duduk di sisi tempat tidur. “Aku minta maaf... karena aku cemburu, Dasha.”
“Cemburu?” Dasha menatap tak percaya. “Cemburu pada siapa?”
“Masih belum jelas, ya?” Ia menatap dalam. “Aku masih mencintaimu, Dasha. Bahkan setelah bertahun-tahun.”
Dasha tercekat. “Cinta? Kau bercanda? Kau membawa perempuan ke kantormu karena cemburu? Itu alasanmu?” Air matanya mulai menetes lagi. “Issa, itu tidak masuk akal. Kau menyakiti orang lain, termasuk aku, hanya untuk memancing reaksiku?”
Issa menunduk. “Aku tahu itu salah. Aku hanya... ingin kau peduli. Aku pikir kalau kau cemburu, kau akan marah, dan mungkin mungkin kita bisa bicara lagi seperti dulu.”
“Dan menurutmu itu romantis? Kau benar-benar sudah gila, Issa!”
Ia menunduk, suara patah. “Maaf, Dasha. Aku mohon, maafkan aku.”
Dasha menggeleng keras. “Aku tidak bisa. Biarkan aku sendiri hari ini. Mungkin besok aku bisa berpikir lebih jernih. Sekarang, tolong keluar.”
Issa menatapnya sedih, lalu menuruti permintaannya. Dasha menatap punggungnya hingga menghilang di balik pintu, mencoba menenangkan hati yang masih bergejolak.
Ia berbaring, menatap langit-langit. Dia benar-benar berubah, atau hanya aku yang tidak mengenalnya lagi? pikirnya dalam hati sebelum akhirnya tertidur dengan mata masih basah.
**
Tiga hari berlalu.
Issa tak pernah lelah mencoba mendekatinya lagi, tapi Dasha tetap menjaga jarak. Meski begitu, perlahan ia mulai melihat ketulusan di mata lelaki itu. Amarahnya mereda, meski belum hilang sepenuhnya.
Pagi itu, Dasha keluar kamar dengan wajah masam. Perutnya terasa nyeri. Ia baru saja datang bulan dan seperti biasa, rasa sakitnya luar biasa.
Baru turun beberapa anak tangga, pintu kamar Issa terbuka. “Selamat pagi, Dasha,” sapanya lembut.
Dasha terus berjalan. Tapi baru sampai ruang tamu, rasa sakit itu menyerang lagi. Ia meringkuk di sofa sambil menekan perutnya.
Beberapa menit kemudian, sesuatu yang hangat menempel di perutnya. Ia membuka mata, Issa sedang meletakkan hot compress sambil menatapnya lembut.
“Masih sakit?” tanyanya sambil perlahan memijat perutnya.
“Sedikit,” jawab Dasha lirih. “Terima kasih.”
“Kau mau aku bantu ke kamar?” tanyanya hati-hati.
Dasha ingin menolak, tapi tubuhnya sudah lemah. Issa mengangkatnya pelan, membawanya ke kamar.
“Aku yang siapkan sarapan. Kau istirahat dulu.” katanya sebelum keluar.
“Jangan sampai kau bakar rumah ini, Issa,” gumam Dasha dengan mata terpejam.
Issa tertawa kecil. “Tenang saja. Aku sudah belajar masak waktu kau pergi. Rumah ini aman.”
Tak lama kemudian, aroma daging asap tercium. Dasha membuka mata saat Issa masuk membawa baki berisi sarapan.
“Porchetta?” Dasha langsung bangkit tapi menahan sakit di perutnya. “Kau serius masak ini?”
Issa tersenyum. “Ya. Favoritmu, kan?”
Ia menyiapkan meja lipat kecil dan membantu Dasha duduk. Mereka makan bersama.
“Tidak gosong, ternyata,” komentar Dasha sambil mengunyah.
Issa tertawa kecil. “Terima kasih. Setidaknya satu pujian darimu hari ini.”
Mereka makan dengan tenang. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Dasha merasa damai di dekatnya.
Andai saja waktu bisa berhenti di sini, pikirnya pelan. Tapi ia tahu, masa lalu tak bisa dihapus begitu saja.