Aluna Haryanti Wijaya, gadis lembut yang menikah demi menjaga kehormatan keluarga. Pernikahannya dengan Barra Pramudya, CEO muda pewaris keluarga besar, tampak sempurna di mata semua orang. Namun di balik janji suci itu, Aluna hanya merasakan dingin, sepi, dan luka. Sejak awal, hati Barra bukan miliknya. Cinta pria itu telah lebih dulu tertambat pada Miska adik tirinya sendiri. Gadis berwajah polos namun berhati licik, yang sejak kecil selalu ingin merebut apa pun yang dimiliki Aluna.
Setahun pernikahan, Aluna hanya menerima tatapan kosong dari suaminya. Hingga saat Miska kembali dari luar negeri, segalanya runtuh. Aluna akhirnya tahu kebenaran yang menghancurkan, cintanya hanyalah bayangan dari cinta Barra kepada Miska.
Akankah, Aluna bertahan demi cintanya. Atau pergi meninggalkan Barra demi melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Mari bercerai
Barra akhirnya melangkah masuk, pintu kamar terdorong sedikit keras hingga membuat semua kepala menoleh. Suasana yang semula hangat mendadak berubah dingin. Andra langsung bangkit dari kursi, sementara Aluna refleks menghentikan tawanya.
“Barra,” sapa Andra singkat, mencoba menjaga wibawa meski ia tahu sorot mata pria itu penuh kemarahan yang dipendam.
Barra hanya menoleh sekilas ke arah Andra, sebelum matanya kembali tertuju pada Aluna. “Kamu kelihatannya baik-baik saja sekarang, bisa tertawa lepas seperti itu,” ucapnya, nada suaranya berat dan menyakitkan.
Aluna menahan diri, tidak ingin keributan baru pecah di depan ibunya Barra dan juga Andra. Namun wajah Barra begitu dekat dengan wajahnya, matanya menyala penuh cemburu.
“Aku rasa, sudah waktunya aku pamit,” ujar Andra dengan tenang, meletakkan kembali map biru di meja. Ia menepuk bahu Aluna, memberi isyarat seolah berkata jangan khawatir. “Cepat sembuh, Lun. Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan hubungi aku.”
Andra pun melangkah keluar, meninggalkan ketegangan yang semakin terasa begitu pintu tertutup rapat. Kini hanya tersisa tiga orang di ruangan itu, Aluna yang duduk di ranjang, Ratih di kursi samping, dan Barra yang berdiri dengan rahang terkunci menahan amarah.
“Kenapa kamu harus senyum-senyum seperti itu sama dia?” suara Barra meledak, penuh tuduhan.
“Kamu pikir aku nggak lihat betapa bahagianya kamu di samping dia? Seolah aku ini nggak pernah berarti apa pun buatmu!”
Aluna yang sejak tadi berusaha menahan diri akhirnya tak bisa lagi diam. Air matanya jatuh, tapi suaranya tegas.
“Berarti? Barra, kapan kamu pernah memperlakukanku sebagai istri yang berarti? Yang aku terima hanya sakit hati, dinginnya sikapmu, dan tuduhan-tuduhan tanpa dasar! Jangan balikkan semuanya ke aku, seolah akulah yang salah!”
Ratih bangkit dari duduknya, mencoba menengahi, namun Barra tak memberi kesempatan.
“Kamu berani membandingkan aku dengan Andra?!” pekiknya.
Aluna menatapnya lurus, penuh luka namun juga berani.
“Aku tidak membandingkannya ... tapi kenyataannya … dia lebih menghargai aku daripada kamu yang katanya suamiku!”
Kata-kata itu seperti cambuk, Barra semakin meledak, sementara Ratih kini berdiri di antara keduanya, wajahnya geram.
“Cukup, Barra!” seru Ratih. “Kamu sadar nggak apa yang kamu lakukan? Dari tadi kamu hanya menyakiti Aluna. Aku muak melihat sikapmu yang buta ini!”
Namun Barra malah menoleh cepat, menatap ibunya dengan sorot tak kalah tajam. “Mama selalu belain dia! Dari dulu Mama nggak pernah berpihak padaku! Seolah-olah aku bukan anak Mama sendiri!”
Ratih terperanjat mendengar kalimat itu, tapi Aluna lebih dulu angkat suara, suaranya pecah oleh tangis.
“Kalau memang kamu nggak sanggup lagi bersama aku, katakan sekarang, Barra. Jangan terus siksa aku dengan sikap dinginmu!”
Barra menatapnya lama, napasnya berat. Dan dari bibirnya keluar kalimat yang membuat udara di ruangan seakan berhenti.
“Aku memang mau pisah, Aluna. Aku ingin ceraikan kamu. Dan setelah itu … aku akan menikahi Miska.”
Keheningan mencekam. Aluna terisak, tubuhnya gemetar hebat, matanya membelalak tak percaya. Ratih terpaku, wajahnya pucat dan sulit menerima kenyataan bahwa anak kandungnya sendiri baru saja mengucapkan kata-kata itu.
“Barra…” suara Ratih parau, tangannya terangkat tanpa ia sadari.
“Kamu sadar nggak apa yang baru saja kamu bilang?”
“Aku sadar, Ma,” jawab Barra dingin, nyaris tanpa emosi.
“Itu pilihanku ... dan aku nggak akan tarik kata-kata ini kembali.”
Plak!
Tamparan keras dari tangan Ratih mendarat di pipi Barra, menggema di seluruh ruangan. Air mata jatuh di pipi Ratih, tangannya bergetar.
“Kamu bukan anak yang aku kenal lagi, Barra!” jeritnya penuh kecewa. “Bagaimana bisa kamu menghancurkan rumah tanggamu sendiri hanya demi Miska? Adik iparmu sendiri?!”
Barra terdiam, menahan perih di wajahnya, tapi sorot matanya tetap keras. Sementara Aluna menutup wajah dengan kedua tangannya, menangis tanpa henti. Ruangan itu hening, hanya tersisa suara tangisan dan detak jantung yang berdegup tak karuan. Semua terasa runtuh, dan masa depan terasa semakin suram.
“Kau tega sekali, Barra!” suara Ratih pecah. “Aku tidak mengenalmu lagi ... bagaimana bisa kau berkata begitu di depan istrimu sendiri? Dan Miska … dia adik iparmu sendiri?! Apa kau sudah kehilangan akal sehatmu?”
Barra terdiam, menahan perih di pipinya, tapi sorot matanya tetap keras. Aluna masih terisak di sisi ranjang, hatinya hancur mendengar keputusan yang di luar dugaan.
Tanpa menoleh lagi pada Aluna atau Ratih, ia berbalik dan melangkah menuju pintu. Setiap langkahnya terdengar jelas, berat namun mantap, seakan tak ada penyesalan sedikit pun. Pintu ruangan terbuka lalu tertutup kembali dengan bunyi yang meninggalkan hening panjang menusuk.
Aluna duduk terpaku di ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Air mata mengalir deras tanpa bisa ia bendung. Semua perasaan bercampur jadi satu, sakit hati, kecewa, marah, sekaligus hancur. Seumur hidupnya, ia tidak pernah merasa sehina ini. Ia menikah dengan harapan bisa membangun rumah tangga yang bahagia, tapi yang ia terima hanyalah penghinaan, pengkhianatan, dan luka.
“Mama…” suara Aluna bergetar, ia menoleh pada Ratih dengan tatapan penuh putus asa. “Apa aku ini salah, Ma? Kenapa aku diperlakukan begini? Kenapa dia tega … tega memilih adik tiriku sendiri ketimbang aku?”
Ratih langsung meraih Aluna dalam pelukan, membiarkan menantunya menangis di bahunya. Mata Ratih pun basah, dadanya sesak menahan kecewa pada menantunya.
“Kamu nggak salah, Nak…” bisiknya lirih. “Barra yang buta. Mama sendiri nggak habis pikir bagaimana bisa dia berubah seperti ini. Kamu jangan salahkan dirimu. Kamu jauh lebih berharga dari yang dia pikirkan.”
Aluna semakin terisak dalam pelukan itu. Hatinya benar-benar hancur. Kata-kata Barra yang ingin menceraikannya terus terngiang di telinganya, bagai pisau yang mengiris tanpa ampun.
Sementara itu di luar ruangan, Barra berjalan cepat di lorong rumah sakit. Wajahnya keras, pikirannya penuh amarah dan kebingungan. Tangannya mengepal di sisi tubuh, namun ia menolak menoleh kembali. Dalam hatinya, ada bara cemburu terhadap Andra yang sulit ia akui, bercampur dengan hasrat aneh yang selama ini ia pupuk pada Miska.
Di dalam ruangan, Ratih menatap wajah Aluna yang basah oleh air mata. Tekad lahir dari dalam dirinya, sesuatu yang tak pernah ia rasakan sekuat ini.
“Aluna, dengar Mama…” Ratih memegang kedua pipi Aluna, memaksanya menatap mata tuanya yang penuh keyakinan.
“Kalau Barra tetap keras kepala seperti ini, Mama yang akan berdiri di pihakmu. Kamu bukan sendirian. Kamu jangan biarkan air matamu jadi kemenangan untuk mereka. Mama janji, Mama akan lakukan apa saja untuk melindungi kamu.”
Aluna terisak lagi, tapi kali ini ada kilatan lain di matanya sebuah luka yang perlahan berubah menjadi tekad. Ia sadar, kalau terus bergantung pada Barra, hidupnya hanya akan dipenuhi penderitaan.
Semoga karma cepat menjemput mu 😡😡😡