Namanya Elisa, dia terlahir sebagai putri kedua dari keluarga Hanggara, namun hal itu tak membuat nasibnya bagus seperti kakaknya.
Dia bahkan dikenal sebagai perempuan arogan dan sangat jahat di kalangannya, berbeda dengan kakaknya yang sangat lembut dan pandai menjaga sikap.
Marvin Wiratmadja, adalah putra dari Morgan Wiratmadja. Terlahir dengan kehidupan super mewah membuatnya tumbuh menjadi orang yang sedikit arogan dan tak mudah di dekati meski oleh lawan jenisnya.
Namun siapa sangka, ketertarikannya justru tertuju pada seorang gadis yang dikenal berhati busuk dan semena-mena bernama Elisa Hanggara.
Bagaimana takdir akan mempertemukan mereka?
Baca episodenya hanya disini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sujie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Yang Baru
Pagi yang baru dengan harapan yang baru.
Elisa tengah bersiap-siap memakai pakaian layaknya seorang yang sedang mau pergi ke kantor.
Ia memakai celana panjang dengan blouse berwarna putih tulang dan blazer dengan warna senada dengan celananya.
Ia memakai sepatu hak tinggi dan juga menenteng sebuah tas yang senada dengan warna blouse yang dikenakannya.
Rambutnya diikat tinggi model kuncir kuda, sehingga membuat penampilannya nampak begitu segar pagi ini.
Pulasan make up tipis menghiasi wajahnya yang cantik, dengan sentuhan lipstik berwarna merah jambu menambah kesan pada kesempurnaan wajahnya.
Elisa berdiri di depan cermin dan tersenyum pada bayangannya.
"Semoga kau beruntung, Lisa," ucapnya pada pantulan dirinya.
Semalam ia menemukan sebuah lowongan pekerjaan di bagian staf keuangan di perusahaan Globalindo. Perusahaan yang Lisa tahu sebagai perusahaan yang besar di negeri ini.
Lisa tahu pemilik perusahaan itu tinggal di luar negeri bersama keluarganya.
Sesaat ia terdiam saat mengingat jika Marvin juga bekerja di salah satu gedung yang berderet dengan gedung yang akan ia datangi hari ini.
Bagaimana kalau dia bertemu lagi dengan lelaki itu?
"Ah, tidak ... gedung-gedung itu kan ada banyak. Lagipula aku juga bisa menghindar jika nanti akan bertemu dengannya," kata Lisa menenangkan dirinya.
Ia kemudian melangkahkan kakinya dan menuruni anak tangga di depan kamarnya.
Terlihat di bawah sana kakaknya sedang mengobrol santai bersama dengan ayah dan ibunya. Manis sekali, begitulah yang terlihat.
"Lisa?" gumam Stevi lirih saat melihat adiknya berpakaian rapi sekali, namun masih terdengar jelas ditelinga Hanggara dan Maria.
"Selamat pagi," sapa Elisa pada semua orang dengan gaya yang sengaja dibuat angkuh.
"Apa kalian hari ini janjian akan ke kantor bareng?" tanya Hanggara seraya menoleh kedua anaknya secara bergantian.
Elisa hanya tersenyum sedikit lalu mengambil piringnya dan berkata, "Tidak, Pa. Elisa hari ini akan memulai karir Lisa sendiri. Lisa hanya minta restu Papa dan Mama sebagaimana kalian merestui setiap langkah kak Stevi."
"Memulai karir? Dimana?" Tanya Maria.
"Nanti jika Lisa sudah berhasil, akan Lisa beritahu, Ma."
"Lisa, kenapa tidak ikut bersama ku saja? Kita bisa lebih mengembangkan perusahaan Papa jika kita bisa bekerjasama," usul Stevi.
Namun Lisa hanya sedikit tersenyum menanggapinya, "Terimakasih tawarannya, tapi Lisa ingin mengembangkan kemampuan Lisa sendiri. Bekerja dengan profesional tanpa campur tangan siapapun dan belajar banyak dari perusahaan itu nantinya."
Hanggara tampak tersenyum mendengarnya, membuat wajah Stevi berubah seketika.
Sungguh, jika boleh dibilang, hal inilah yang ia takutkan. Jika Lisa bisa berkembang dan menunjukkan prestasinya, bukan tidak mungkin ayahnya akan semakin mempercayai adiknya itu dan juga akan membagi perusahaan menjadi dua bagian.
Ia tidak akan bisa memimpin perusahaan itu secara tunggal, ia tidak lagi bisa membuat peraturan semaunya sendiri.
Tapi rupanya baik Hanggara maupun Maria tidak menyadari tingkah Stevi yang meremas kuat sendok makannya hingga wajahnya terlihat memerah karena emosi.
"Lisa berangkat dulu, Pa, Ma," pamit Lisa seraya mencium tangan kedua orang tuanya. Ia berjalan dengan anggun meninggalkan meja makan. Sepatu hak tingginya membuat irama saat beradu dengan lantai marmer rumahnya.
Samar-samar ia masih bisa mendengar obrolan ayahnya di meja makan.
"Papa senang, akhirnya Lisa mau berusaha menunjukkan kemampuannya. Ya, walaupun bukan di perusahaan kita sendiri. Semoga saja dengan begitu, dia bisa berubah menjadi lebih baik. Bukan begitu, Ma?"
"Mudah-mudahan, Pa," jawab Maria seraya tersenyum hangat.
Sementara Stevi semakin emosi dibuatnya. Tapi ia adalah orang yang pandai menyembunyikan perasaannya. Ia tersenyum dan ikut menimpali obrolan mereka.
"Stevi juga senang melihatnya. Semoga saja Lisa bisa menjaga diri ditempat yang baru. Jika boleh jujur, Stevi akan lebih senang jika Lisa mau belajar di perusahaan kita sendiri. Dengan begitu Stevi bisa mengawasi perkembangannya juga pergaulannya," kata Stevi memancing. Ia melirik sekilas dengan seringai liciknya.
"Papa juga berharap seperti itu, tapi kau tahu sendiri. Adikmu adalah anak yang susah diatur, dia tidak akan menerima saran kita dengan mudah. Dan jika dipaksa juga percuma. Melihat semangatnya hari, rasanya kita perlu sesekali mempercayainya," kata Hanggara mengakhiri obrolan pagi ini.
Ia mengambil air minum yang ada di dekatnya dan meneguknya sampai habis.
"Ya sudah, Stevi berangkat dulu, Pa, Ma," pamitnya kemudian.
Stevi meraih sebuah botol mirip vitamin atau mungkin obat, ia lalu meminumnya sebelum akhirnya melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumahnya.
hmm🤔, bisa jdi sih..atau mngkin kembaran stevi kh!!??