Saat kehamilan itu benar-benar terjadi pada Livia, dia bermaksud memberikan kejutan dengan datang ke kantor suaminya untuk mengabarkan kabar bahagia tersebut.
Tapi apa yang dia dapatkan, sangatlah mengguncang perasaannya.
Ternyata di ruangannya, Alex tengah bersama seorang wanita berparas lembut, dengan gadis kecil yang duduk di pangkuannya.
Bukannya merasa bersalah, setelah kejadian itu Alex malah memberi pernyataan, "kita berpisah saja!" Betapa hancur hati Livia. Dia tak menyangka, Alex yang begitu
mencintainya, dengan mudah mengatakan kata-kata perpisahan. Lalu apa jadinya jika suatu hari Alex mengetahui kalau dia sudah menelantarkan darah dagingnya sendiri dan malah memberikan kasih sayangnya pada anak yang tidak ada hubungan darah dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERTEMUAN TAK DISENGAJA
Tubuh Alex terasa lemas, pikirannya kusut. Dia tak bisa melihat ibunya seperti ini.
"Aku akan telepon papa, kak Anita dan kak Aletta.
Kalau Abang mau kelonin si Ishana dan anaknya, sana pergi aja!" Ucap Aurel tajam.
"Diam Aurel, jaga bicaramu. Ishana kakak iparmu sekarang!" Balas Alex yak kalah tajam. Aurel berdecih sebal. Dulu dia memang ingin Ishana menjadi istri abangnya agar Livia si mandul, bisa tersingkir dari kehidupan kakaknya. Tapi sekarang, dia menginginkan Alex bersanding dengan Anneke, karena dianggap lebih pantas. Apalagi setelah kejadian Syaira jatuh dari tangga perosotan dan dia menyalahkan pihak sekolah termasuk Ishana, membuat rasa bencinya pada wanita itu tak terelakkan.
Tiba-tiba ponsel Alex bunyi, dari Ishana. Alex langsung mengangkatnya.
"Ada apa Ishana?"
"Mas Keysha nangis, dia cari-cari kamu."
Bukannya menanyakan keadaan mertuanya, Ishana malah mengabarkan hal yang tidak penting. Alex sedikit merasa kesal.
"Kamu ibunya, masa tidak bisa menenangkan? Ibuku
Sedang terbaring di rumah sakit." Jawab Alex, sedikit meninggikan suaranya karena kesal dan masih merasa was-was dengan kondisi ibunya.
Aurel mengepalkan tangannya erat.
"Ishana memang tak tahu diri. Nyesel aku dulu pernah dekat sama dia. Dan berharap dia menjadi pengganti Livia." Gumamnya yang lebih pantas disebut gerutuan. Tidak diucapkan terlalu keras tapi cukup terdengar di telinga Alex.
"Apa maksud kamu Aurel? Apa yang kamu lakukan dulu pada Livia?" Teriak Alex. Dia lupa teleponnya masih on dan tentu saja Ishana mendengarnya.
"Apa sih bang, aku nggak ngelakuin apa-apa." Elak Aurelie. Dia menepiskan tangan kakaknya yang mencengkeram erat lengannya.
"Pantas saja aku tak pernah bisa menemui Livia, dulu. Ternyata itu ulah kamu?"
"Jangan fitnah! Sudah kubilang aku nggak ngelakuin apa-apa. Lagian ngapain juga Abang masih ingat-ingat perempuan man..."
Plak
Alex tak kuasa lagi menahan emosinya. Mulut Aurel sudah sangat keterlaluan.
"BANG!!"
Aurelie menjerit sambil meraba pipinya yang terasa
Panas dan matanya merah berair.
"Aku tak akan menamparmu, kalau mulutmu tidak tajam!"
"Tapi aku mengungkap kebenaran! Cuma sayang, Abang malah menikah sama si janda gatal itu, daripada sama Anneke yang lebih selevel dengan Abang."
Mulut Aurelie semakin tajam, membuat Alex ingin kembali menamparnya. Tapi kedatangan seorang suster yang memperingatkan mereka, membuatnya urung.
Sementara itu di seberang telepon, Ishana sudah mendengar semuanya. Hatinya begitu sakit. Airmatanya tak terasa bercucuran begitu saja. Dia tahu, Alex belum bisa mencintainya. Selama ini yang bisa membuat Alex berada di sisinya hanya karena Keysha.
Tadinya dia menelepon Alex, ingin menunjukkan pada Aurel, kalau dirinya dan Keysha lebih penting di mata Alex. Sampai saat ini, Alex hampir tak pernah menolak apapun keinginan Keysha. Se-capek apapun dia pulang dari kantor, Alex selalu menyempatkan diri untuk bercengkrama dan bercanda dengan Keysha. Hampir setiap weekend, Alex juga selalu mengajak mereka jalan-jalan.
Tapi ternyata sekarang, bukannya Alex luluh pada Keysha, dia malah mendengar nama Livia disebut-sebut Alex. Bahkan sebelumnya diapun pernah beberapa kali mendengar Alex menyebut nama mantan istrinya tanpa sadar.
Ishana tahu, apa alasan Alex berpisah dari Livia.
Bukan karena sudah tidak mencintai wanita itu lagi. Tapi karena Livia tak bisa memberi dia anak. Dan kenyataannya dirinya sekarang? Sama saja seperti Livia. Entah apa yang akan terjadi jika Alex tahu? Ishana belum berpikir sampai ke sana awalnya. Pikirnya, dengan adanya Keysha itu sudah cukup.
Beberapa hari ini Wulan dirawat di rumah sakit. Alex hampir tak pernah meninggalkan ibunya, kecuali jika berangkat ke kantor.
Hal ini membuat Ishana merasa terabaikan. Begitu juga dengan Keysha yang sering merengek minta bertemu Alex. Tapi Ishana bisa apa? Daripada nanti ujung-ujungnya bertengkar, dia lebih baik membawa Keysha jalan-jalan ke mal atau makan di food court.
Seperti siang itu, dia sudah tak bisa lagi menenangkan Keysha. Anak itu sudah berhari-hari tak bisa bertemu ayah sambungnya itu. Rasa rindunya sudah tak bisa dibendung lagi. Sejak pagi tadi dia terus merengek menanyakan papa Alex-nya. Ishana sudah mencoba menenangkan dengan berbagai cara. Tapi hasilnya nihil. Tangis Keysha semakin keras.
Ishana pun berinisiatif mengajak putrinya pergi ke mal, untuk sekadar jalan-jalan atau makan di luar. Barulah rengekan Keysha berhenti.
Dengan menaiki taksi online, mereka tiba di mal.
Ini sudah masuk weekend, pengunjung mal pun sangat ramai.
"Echa mau makan dulu atau jalan dulu?" tanya Ishana pada anaknya yang kini sudah memasuki usia 4 tahun lebih itu.
"Echa mau beli mainan..." ujarnya manja.
"Ya udah, kita beli mainan dulu, setelah itu kita makan, ya?" Gadis kecil itu mengangguk senang.
Semenjak menikah dengan Alex, Ishana bisa sering-sering membelikan Keysha mainan. Karena setiap bulannya, Alex memberikan uang yang cukup banyak, khusus untuk keperluan Keysha, termasuk untuk membeli mainan. Tentu saja di samping uang bulanan untuk keperluan dapur dan Ishana.
Ishana membawa Keysha ke salah satu toko mainan yang paling lengkap.
Tapi baru saja masuk, matanya melihat sosok yang sangat dikenalnya, juga sedang berada di area mainan.
Hanya saja dia sedang di area mainan bayi.
Ishana sedikit mengerutkan kening. Untuk apa Livia membeli mainan bayi?
"Oh, mungkin untuk kado temannya yang baru melahirkan," bisik hatinya.
Dia sedikit ragu untuk masuk. Tapi tangannya sudah ditarik-tarik terus oleh Keysha. Akhirnya dia pun masuk.
Hari ini Livia memang sedang ada suatu keperluan ke Jakarta. Ada beberapa dokumen yang harus diurus. Dan untuk pertama kalinya setelah satu tahun, dia kembali menginjakkan kakinya di Jakarta.
Cello dan Elis pun ikut dibawa, tapi mereka menunggu di rumah Sean. Tadinya Livia akan membawa mereka ke apartemennya yang dulu ditempati bersama Alex. Tapi sangat riskan. Bukannya GR, bisa saja Alex kebetulan datang.
Livia datang ke mal itu tak sendiri, dia ditemani Sean
tentunya. Tapi tak berdua saja, Siska pun ikut menemani.
Kini Livia sudah mulai akrab dengan keluarga Sean.
Tapi dia masih belum membuka hatinya untuk lelaki itu.
Meski keluarga Sean tidak mempermasalahkan statusnya
sekarang. Bahkan mereka semua, termasuk Dario ayahnya Sean, sudah jatuh hati pada Cello.
"Liv, ini mainan untuk anak usia 3 bulan ke atas. Ini
bagus untuk merangsang sensorik motoriknya," kata Siska sambil mengacungkan mainan yang ditemuinya.
"Ini juga sama, tapi jenis mainannya berbeda. Ambil ini juga ya..."
Livia hanya tersenyum haru sambil mengangguk. Dan itu tak lepas dari penglihatan Ishana.
"Kenapa mereka memberi referensi mainan bayi 3 bulan pada Livia?" pikir Ishana heran.
"Apa mungkin Livia ngadopsi anak? Atau dia sudah
Menikah? Atau..."
Wajah Livia mendadak pucat.
"Enggak. Nggak mungkin! Livia itu mandul. Ya, Livia mandul! Nggak mungkin dia punya anak."
Tanpa sadar dia menarik tangan Keysha untuk mengajak anaknya kembali keluar dari toko itu. Tapi Keysha berontak dan itu malah membuat sedikit keributan. Hingga orang-orang yang ada di sana menoleh ke arah mereka, termasuk Livia, Sean, dan Siska.
"Loh, Liv, itu bukannya Ishana dan anaknya?" tunjuk Sean.
Livia mengangguk tapi berusaha cuek.
"Iya, biarin aja. Ayo ah, kasihan Cello kelamaan nungguin aku."
Sean paham perasaan Livia. Dia hanya mengangguk, lalu membawa mainan-mainan tadi ke kasir.
Sejenak Livia masih berdiri di tempatnya. Matanya menyorot tajam pada Ishana. Wanita itu pun melakukan hal yang sama. Sekarang dia tidak merasa gentar pada Livia, karena merasa Alex sudah menjadi miliknya.
Suaminya! Dia malah berani melangkah mendekati Livia.
"Livia... ada di sini juga?" sapanya dengan senyum lembut. Tapi matanya tak bisa berbohong, kalau ada kilat aneh terpancar di sana.
"Ini tempat umum, nggak ada yang salah kalau saya
Berada di sini seperti yang lainnya. Seperti kamu juga," jawab Livia santai.
Ishana kembali tersenyum.
"Iya, kamu benar. Cuma yang saya heran, kok kamu bisa ke area mainan bayi? Tidak mungkin kan kalau mainan itu buat anak kamu. Menurut Mas Alex, kamu tidak bisa punya anak, sekalipun kamu sudah menikah lagi seperti dia. Maaf ya, Livia, kalau saya lancang."
Livia tersenyum sinis. "Kamu tidak bisa memakai kedokmu di hadapanku."
"Mama... ayo, aku mau beli mainan sekarang."
Keysha menarik-narik tangan Ishana sambil
merengek.
"Iya, tunggu sebentar ya, Sayang. Papa Alex-nya kan belum datang," bujuk Ishana lembut, tapi ekor matanya melirik Livia.
"Liv... kita pulang sekarang? Kasihan..."
"Iya, Tante. Ayok, kita pulang sekarang."
Livia cepat-cepat memotong perkataan Siska. Dia takut wanita itu keceplosan menyebut nama Cello.
Untung Siska langsung paham.dia tak berkata apa-apa lagi dan hanya mengangguk.
Sebelum pergi, Livia menatap tajam wanita di hadapannya. Dia mengangkat salah satu ujung bibirnya, membentuk senyum sinis.
"Tak usah khawatir gitu, aku bukan PELAKOR!" Kata Livia, sebelum berlalu. Membuat kedua tangan Ishana mengepal erat.