Dieksekusi oleh suamiku sendiri, Marquess Tyran, aku mendapat kesempatan untuk kembali ke masa lalu.
Kali ini, aku tidak akan menjadi korban. Aku akan menghancurkan semua orang yang telah mengkhianatiku dan merebut kembali semua yang menjadi milikku.
Di sisiku ada Duke Raymond yang tulus, namun bayangan Marquess yang kejam terus menghantuiku dengan obsesi yang tak kumengerti. Lihat saja, permainan ini sekarang menjadi milikku!
Tapi... siapa dua hantu anak kecil itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 09 : Jalur Sutra
Hari itu adalah siksaan terpanjang dalam hidupku.
Aku merasa seperti seorang jenderal yang telah mengirim pasukan terbaiknya ke medan perang, namun terpaksa hanya bisa menunggu kabar dari menara pengawas yang jauh.
Aku terkurung di kediamanku, menjadi tahanan di sangkar gaunku, sementara di luar sana, di jalanan ibu kota yang ramai, nasib nyawa keduaku sedang ditentukan.
Aku mencoba membaca buku di perpustakaan. Tapi kata-kata di halaman itu hanya kabur menjadi gumpalan tinta yang tak berarti. Aku mencoba menyulam di kamarku, tetapi tanganku gemetar hebat hingga jarum itu terus menusuk jariku, meninggalkan noda-noda darah kecil di atas kain linen yang putih.
Setiap detak jam di dinding terasa seperti palu yang menghantam kepalaku. Pukul sepuluh. Pukul sebelas. Pukul dua belas. Setiap jam yang berlalu membawa Kael lebih dekat ke targetnya, dan membawaku lebih dekat ke keberhasilan atau kegagalan total.
Aku tidak tahan lagi hanya menunggu. Aku harus melihatnya sendiri!
"Lila," panggilku setelah makan siang, suaraku kuusahakan terdengar ringan. "Aku benar-benar jatuh cinta dengan kain sutra biru yang kita lihat di butik Madame Rosa kemarin. Aku ingin memesannya hari ini sebelum kehabisan."
Ibuku dulu adalah pelanggan terbaik Madame Rosa. Permintaan seperti ini wajar dan tidak akan dicurigai. Benar saja, Ayah hanya menggerutu pelan tentang pemborosan, lalu mengizinkanku pergi dengan syarat dua penjaga harus mengikutiku.
Satu jam kemudian, aku berdiri di dekat jendela besar di lantai dua butik Madame Rosa, berpura-pura sedang memilih pola renda dengan antusias.
Lila dan Madame Rosa sendiri sibuk berceloteh tentang sutra terbaru dari benua timur, suaranya berdengung di telingaku seperti lebah. Aku tidak mendengar mereka. Seluruh perhatianku, seluruh inderaku, tertumpah ke jalanan di bawah.
Jalan Sutra. Nadi perdagangan yang terhubung dengan ibu kota. Padat, bising, dan penuh kekacauan yang teratur. Kereta kuda, gerobak pedagang, dan lautan manusia saling berdesakan. Mataku memindai setiap kereta kuda hitam yang lewat, mencari lambang bisnis milik Corvus dari Vane: seingatku lambangnya ialah gagak yang bertengger di atas tumpukan koin emas.
Ya, aku yakin sekarang. Itu benar-benar lambangnya. Corvus selalu membanggakan lambang koin emasnya yang ia selalu sebut dibuat dengan menggunakan emas asli.
Pukul setengah dua kurang lima menit. Jantungku berdebar begitu kencang hingga napasku menjadi dangkal.
Lalu aku melihatnya.
Sebuah kereta hitam sederhana namun elegan, ditarik oleh dua kuda gagah, bergerak lambat di tengah keramaian. Di pintunya, terukir kecil lambang gagak dan koin. Itu dia. Itu Corvus!
Tepat saat kereta itu mendekati persimpangan jalan di bawah jendelaku, kekacauan meledak.
Sebuah gerobak yang penuh dengan ayam, yang entah dari mana muncul, tiba-tiba terbalik. Puluhan unggas berkotek panik, beterbangan ke segala arah. Orang-orang berteriak, para kusir memaki, dan seluruh lalu lintas terhenti total.
Pengalih perhatian yang sempurna.
Di tengah kebingungan itu, aku mencoba mencari pedangku, harapanku, dan akhirnya menemukannya.
Sosok kurus Kael, bergerak cepat dan tanpa suara seperti kucing. Dia melompat dari atap sebuah kios, mendarat di atap kereta Corvus, lalu turun ke sisi yang tidak terlihat oleh kusir. Tangannya bergerak begitu cepat, nyaris tak terlihat.
Dia membuka pintu kereta yang terkunci dengan keterampilan dan keahlian yang luar biasa, lalu melakukan pertukaran dalam sepersekian detik. Kael melompat turun dan melebur kembali ke dalam kerumunan yang panik seolah dia tidak pernah ada di sana.
Seluruh kejadian itu berlangsung kurang dari satu menit dan sulit untuk dipercaya.
Beberapa saat kemudian, para penjaga kota berhasil menertibkan kekacauan. Gerobak ayam itu disingkirkan. Kereta Corvus, dengan muatan palsu di dalamnya, akhirnya bisa bergerak lagi, melanjutkan perjalanannya menuju pertemuan yang sia-sia.
Tidak ada yang menyadari apa yang baru saja terjadi.
Aku bersandar di bingkai jendela, lututku terasa lemas. Aku menekan tanganku ke dadaku, mencoba menenangkan jantungku yang berdebar liar. Kami berhasil. Dia berhasil.
Aku benar-benar berhasil!
Perjalanan kembali ke kediaman terasa lebih menyiksa daripada saat berangkat.
Aku telah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri dan harusnya aku bahagia, tapi keraguan mulai merayap masuk ke kepalaku.
Bagaimana jika Corvus menyadarinya? Bagaimana jika Kael tertangkap setelah aku pergi? Aku harus menahan diri untuk tidak menyuruh kusir memutar balik.
Aku harus bertahan melewati makan malam, mendengarkan celotehan Cedric tentang betapa cerdasnya investasi yang akan dia tandatangani besok, dan anggukan puas dari Ayah. Mereka duduk di sana, begitu sombong dalam ketidaktahuan mereka, sementara aku memegang nasib mereka di tanganku yang gemetar. Rasanya aku ingin tertawa histeris.
Saat jam di aula besar berdentang dua belas kali, aku menyelinap keluar dari kamarku.
Udara malam terasa dingin di kulitku. Taman mawar yang indah di siang hari, kini tampak menyeramkan di bawah cahaya bulan yang pucat. Aku mendekati dinding batu tua di ujung taman, tempat yang telah kami sepakati, jantungku berdebar kencang.
Aku meraba-raba di antara tanaman merambat yang basah oleh embun sampai tanganku menemukan sebuah batu yang terasa berbeda dari yang lain. Aku menariknya. Batu itu terlepas dengan suara pelan, memperlihatkan sebuah lubang yang gelap dan lembap di baliknya.
Dengan napas tertahan, aku memasukkan tanganku ke dalam. Jari-jariku yang dingin menyentuh sesuatu yang kaku dan halus. Kulit.
Aku menariknya keluar.
Di bawah cahaya bulan, aku memegang sebuah tas dokumen dari kulit hitam. Tas yang sama dengan yang dibawa Corvus.
Aku tidak kembali ke kamarku. Di sana, di bawah tatapan bulan yang menjadi saksi bisu, aku membuka tas itu. Tanganku gemetar. Di dalamnya, ada setumpuk perkamen. Dan di bagian paling atas, tergeletak sebuah surat dengan segel lilin merah darah yang masih utuh.
Segel ular hitam yang melingkar. Lambang keluarga Tyran. Bajingan itu.
KRAK!
Jariku yang gemetar mematahkan segel itu.
Kertas itu terasa dingin di tanganku. Tidak sedingin bilah pedang di leherku, tapi dinginnya terasa sama-sama menusuk dan penuh kematian
Aku membuka surat itu. Tulisan tangannya tegas, tajam, dan penuh arogansi. Kata-katanya dingin dan langsung. Itu adalah surat perintah resmi kepada Baron Latona untuk menarik semua investasi atas nama Marquess Tyran.
Aku memegangnya. Bukti yang mustahil. Kunci yang dibutuhkan oleh Duke Raymond.
Senjata yang akan menyelamatkan kami.
Aku telah memenangkan pertaruhan paling berbahaya dalam hidupku.
Aku menatap surat itu, senyum dingin terukir di bibirku. Permainan baru saja dimulai, Marquess. Kali ini leher yang akan ditebas oleh pedang adalah leher sang ular.
Aku telah memenangkan pertaruhan mustahil ini. Tapi di tanganku, aku tidak hanya memegang surat. Aku memegang sebilah pedang.
Pedang yang akan kugunakan untuk menyelamatkan keluargaku, bahkan jika itu berarti aku harus menodongkannya pada ayahku sendiri.