“Dikhianati suami, ditikam ibu sendiri… masihkah ada tempat bagi Andin untuk bahagia?”
Andin, seorang wanita sederhana, menikah dengan Raka—pria miskin yang dulu ia tolong di jalan. Hidup mereka memang pas-pasan, namun Andin bahagia.
Namun kebahagiaan itu berubah menjadi neraka saat ibunya, Ratna—mantan wanita malam—datang dan tinggal bersama mereka. Andin menerima ibunya dengan hati terbuka, tak tahu bahwa kehadiran itu adalah awal dari kehancurannya sendiri.
Saat Andin mengandung anak pertamanya, Raka dan Ratna diam-diam berselingkuh.
Mampukah Andin menghadapi kenyataan di depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Malam itu, suasana rumah tampak sunyi.
Ditempat lain. Ratna duduk di ruang tamu, mengenakan daster satin dan wajah yang dipoles tebal oleh bedak. Tangannya memegang remote, mengganti saluran televisi dengan santai, hingga satu siaran berita membuatnya terpaku.
“Dan inilah dia, bintang baru yang tengah mencuri perhatian dunia hiburan — Andin Pramesta, aktris pendatang baru yang berhasil menjadi pemeran utama dalam film Cahaya Dalam Luka. Film ini sukses besar dan Andin kini menjadi sorotan publik berkat akting dan kisah hidupnya yang menginspirasi.” Begitulah pembawa acara memperkenalkan bintang utama di dalam televisi.
Ratna membeku. Wajahnya menegang.
Remote di tangannya jatuh ke lantai.
Di layar, terpampang jelas sosok Andin dalam gaun putih elegan, berjalan di karpet merah dengan sorot mata tenang dan percaya diri. Senyum lembutnya terpancar — wajah yang dulu sering menunduk, kini berdiri tegak di bawah sorotan kamera. Semua orang betepuk tangan menyambut sang Bintang utama yang sedang naik daun.
Ratna masih tertegun. Tubuhnya kaku.
“Itu… tidak mungkin,” gumamnya lirih.
“Dia… Andin?”
Saat itu juga, suara langkah terdengar dari arah pintu.
Raka baru pulang, membawa kantong plastik dari toko kue. Bajunya masih berdebu tepung, wajahnya lelah, namun ketika matanya menangkap layar televisi, tubuhnya ikut membeku saat menatap televisi.
"Andin!" lirihnya terkejut.
Kantong di tangannya terlepas begitu saja, kue di dalamnya berserakan ke lantai.
Matanya membesar, tak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Andin…?” suaranya bergetar.
“Itu… benar dia?”
Ratna segera mematikan televisi dengan panik.
“Jangan lihat! Sudah, itu hanya kebetulan. Banyak orang mirip—”
Namun Raka tidak mendengarnya. Ia maju, merebut remote, dan menyalakan ulang siaran itu.
Wajah Andin kembali muncul—senyum lembutnya terpampang jelas, bahkan wartawan menyebutkan kisah pahitnya:
“Setelah melalui masa sulit dalam rumah tangganya dan kehilangan anaknya, Andin bangkit menjadi sosok inspiratif yang membuktikan bahwa wanita kuat bisa menaklukkan dunia.”
Raka menatap layar itu tanpa berkedip.
Setiap kata yang keluar dari pembawa acara terasa seperti pukulan di dadanya.
“Dia… kehilangan anaknya… sendirian… saat aku…”
Suara Raka parau. Ia teringat malam di mana ia tak menjawab telepon rumah sakit—malam di mana Andin berjuang sendirian.
Ratna mencoba menutupi kegelisahannya, menyalakan tawa paksa.
“Sudahlah, Raka. Perempuan itu hanya mencari simpati. Dia pasti mengarang semua itu supaya terkenal.”
Tapi Raka tidak menjawab.
Kepalanya menunduk, rahangnya mengeras. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, matanya tampak basah.
“Dia… Dia sekarang sudah sukses,” ucapnya pelan.
“Usaha toko kue itu kini sepi pelanggan. Bahkan beberapa karyawan sudah aku pecat. Apa ini karena karma ku?"
Ratna menegang, wajahnya berubah pucat.
“Raka jangan bicara seperti itu—”
Namun Raka berbalik cepat, menatap Ratna dengan mata tajam penuh penyesalan.
“Cukup! Sudah cukup kebohongan yang kita buat! Aku tidak bisa terus hidup berpura-pura seperti ini.”
Ratna berdiri, menatapnya dengan marah. “Kau lupa siapa yang membantu mu mendapatkan semuanya?, Raka!? Kalau bukan aku, kau masih jadi tukang kue keliling tanpa masa depan!”
“Tapi aku juga lupa,” jawab Raka getir, “kalau karena Ibu, aku kehilangan satu-satunya orang yang benar-benar mencintaiku dengan tulus.”
Suasana membeku.
"Jangan lupa, Raka. Kamu juga bersalah dalam hubungan itu. Buktinya kamu tergoda, kamu bahkan menyakiti Andin dengan meninggalkan nya demi aku. Semuanya tidak sepenuhnya salahku. Semua itu adalah salahmu karena kamu adalah laki-laki yang tidak tau diri"
"Cukup.... jika kamu tidak menggodaku, aku tidak akan menjadi seperti ini"
"Hahahaha. Raka, Raka. Emang pada dasarnya kamu laki-laki mata keranjang. Kalau tidak, kamu tidak akan tergoda bukan?"
Raka diam dengan kesal.
"Kalau begitu ayo kita berpisah saja"
Ratna tidak bisa bicara lagi.
Raka mengambil jaketnya, melangkah keluar rumah tanpa menoleh sedikit pun.
"Raka.... kamu mau kemana? Raka?" Teriak Ratna. Namun Raka tetap melangkah pergi tanpa memperdulikan teriakan Ratna.
Ratna hanya bisa berdiri mematung di ruang tamu, menatap layar TV yang kini kembali menayangkan Andin tersenyum bahagia di panggung penghargaan.
Dan untuk pertama kalinya, Ratna merasakan ketakutan yang nyata —
takut kehilangan kendali atas pria yang dulu ia kuasai sepenuhnya.
.
.
.
Bersambung.