NovelToon NovelToon
Diam-Diam Mencintaimu

Diam-Diam Mencintaimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Fantasi Wanita
Popularitas:543
Nilai: 5
Nama Author: Nildy Santos

Jenia adalah seorang gadis dari keluarga sederhana yang pintar, ceria, sangat cantik dan menggemaskan. namun tiada satupun pria yang dekat dengannya karena status sosialnya di yang di anggap tidak setara dengan mereka. namun selama 6 tahun lamanya dia sangat menyimpan rasa suka yang dalam terhadap seorang pria yang tampan, kaya raya dan mapan sejak mereka duduk di bangku kuliah.. akankah ia akan mendapatkan pria pujaannya itu?? kita akan mengetahuinya setelah membaca novel ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nildy Santos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 9

Hari itu pekerjaan di kantor cukup padat. Jenia sibuk memeriksa draft presentasi bersama timnya hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ia baru saja berkemas ketika suara riuh terdengar dari lobi lantai bawah.

“Eh, itu siapa? Ganteng banget, kayak artis!” bisik salah satu staf.

“Katanya sih pengusaha muda sukses, mobilnya aja mewah banget,” timpal yang lain.

Jenia yang hendak keluar lift langsung membeku saat melihat sosok tinggi dengan setelan jas kasual biru navy berdiri di dekat resepsionis. Senyum hangatnya langsung tertuju padanya.

“Jenia!” panggil Raka lantang, membuat beberapa pasang mata menoleh.

“Rak? Ngapain kamu ke sini?” Jenia berbisik canggung begitu mendekat.

“Menjemputmu, tentu saja. Aku janji sama Ibumu bakal jagain kamu meski di kota.”

Raka mengucapkannya dengan suara cukup keras sehingga beberapa karyawan langsung terperangah.

Dari lantai atas, Rehan yang baru keluar dari ruangannya melihat pemandangan itu. Matanya menyipit, ekspresinya berubah. Ia turun cepat menghampiri mereka.

“Wah, ternyata bener ya kabar yang kudengar. Jadi ini… Raka?” ucap Rehan datar, menatap pria itu dari ujung kepala hingga kaki.

Raka tersenyum sopan dan mengulurkan tangan. “Ya. Sahabat kecilnya Jenia. Dan sekarang… aku kembali untuk menepati janji lama.”

Kata-kata itu membuat Jenia makin salah tingkah.

Tak jauh dari situ, langkah Bastian yang baru saja selesai rapat terhenti. Dari balik dinding kaca, ia melihat jelas bagaimana Raka berdiri tegap di samping Jenia, bahkan melindunginya seolah-olah mereka sudah lama dekat.

Ada rasa aneh yang mengganjal di dadanya. Dinginnya sikap yang selama ini ia banggakan, tiba-tiba runtuh hanya karena pemandangan sederhana itu.

Sopir pribadinya menunggu di pintu keluar, namun Bastian memilih berdiri beberapa saat lebih lama. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras.

“Jen, ayo pulang. Aku sudah pesan tempat makan favoritmu. Kita bisa ngobrol lebih banyak,” ajak Raka.

Jenia ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Ia pamit singkat pada Rehan, lalu berjalan bersama Raka menuju parkiran. Suara decak kagum para karyawan mengiringi langkah mereka.

Di balik jendela lantai dua, Bastian masih memperhatikan. Ada sesuatu yang tak bisa ia kendalikan perasaan kalah.

Keesokan harinya suasana kantor terasa berbeda bagi Jenia. Begitu ia masuk ke ruang meeting untuk menyerahkan laporan, Bastian bahkan tidak menoleh.

“Taruh saja di meja,” ucapnya singkat tanpa mengangkat kepala dari layar laptop.

Jenia terdiam sejenak. Biasanya, meski dingin, Bastian selalu melirik sebentar atau memberi komentar. Kini… ia seakan benar-benar mengabaikannya.

“Baik, Pak,” jawab Jenia dengan suara lirih. Ia berbalik, menahan rasa sesak yang tiba-tiba menyeruak.

Di ruang pantry, Rehan sudah menunggu dengan dua cangkir kopi.

“Jen! Aku tadi lihat mukamu kusut banget. Kenapa?”

“Enggak, nggak ada apa-apa,” jawab Jenia sambil berusaha tersenyum.

Rehan menggeleng. “Kamu nggak bisa bohong sama aku. Aku tahu kamu pasti kepikiran sama sikap Bastian.”

Jenia menunduk, menggenggam cangkirnya erat.

“Kadang aku bingung, Rehan. Dia dingin, tapi entah kenapa selalu bisa bikin aku kepikiran. Tapi sekarang… dia benar-benar seperti nggak peduli.”

Rehan meletakkan tangannya di atas tangan Jenia, menatapnya dalam.

“Kalau dia nggak peduli, biar aku yang peduli. Kalau dia dingin, biar aku yang jadi hangat buatmu. Jen… kamu nggak sendirian.”

Kata-kata itu membuat hati Jenia hangat sekaligus bingung. Ia hanya bisa menunduk, tak berani membalas tatapan Rehan.

Di ruangannya, Bastian diam-diam berdiri di depan jendela besar. Dari celah tirai, ia melihat jelas bagaimana Rehan menyentuh tangan Jenia di pantry. Dadanya kembali bergejolak, tapi ia menolak menunjukkannya.

“Bodoh… kenapa aku harus terganggu begini?” gumamnya.

Namun semakin ia mencoba cuek, semakin bayangan Jenia menyesaki pikirannya.

Sore itu, saat semua orang pulang, Jenia turun ke lobi. Ternyata Raka sudah menunggunya lagi dengan mobil hitam mewahnya.

“Jadi, siap pulang bareng aku?” tanya Raka dengan senyum menawan.

Beberapa karyawan yang masih tersisa berbisik-bisik, menatap dengan kagum sekaligus iri. Jenia merasa malu, tapi tidak enak menolak. Ia pun masuk ke mobil.

Dari lantai atas, Bastian kembali melihat pemandangan itu. Kali ini ia menggenggam ponselnya erat, jemarinya hampir bergetar. Ia sadar perasaan yang selama ini ia abaikan… pelan-pelan berubah jadi rasa takut kehilangan.

Pagi itu suasana kantor cukup sibuk. Jenia sedang sibuk menata berkas untuk persiapan presentasi klien. Wajahnya serius, keningnya sedikit berkerut.

Tiba-tiba suara berat terdengar dari belakang.

“Kenapa lama sekali? Jangan bilang kamu nggak siap?”

Jenia menoleh. Bastian berdiri dengan wajah dingin, kedua tangannya bersedekap.

“Saya sudah siap, Pak. Tinggal menunggu file dari tim desain saja.”

Namun entah kenapa, mendengar jawaban itu, Bastian makin emosi.

“Kalau begini terus, saya nggak yakin kamu pantas ada di divisi ini. Jangan sampai orang-orang berpikir kamu cuma bisa numpang nama tanpa kualitas.”

Ucapan itu membuat ruangan seakan membeku. Beberapa karyawan menoleh, lalu buru-buru kembali pura-pura sibuk.

Jenia terdiam. Bibirnya bergetar, tapi ia menahan diri untuk tidak menjawab. Hatinya sakit. Kata-kata “tidak pantas” itu langsung menusuk, mengingatkannya pada ucapan Bastian sebelumnya bahwa ia “tidak level.”

“Baik, Pak. Saya akan lebih berusaha,” jawabnya lirih, menunduk dalam.

Bastian menatapnya sejenak, ingin menarik ucapannya, tapi gengsinya terlalu tinggi. Ia pun berbalik pergi dengan wajah dingin.

Saat istirahat siang, Jenia duduk di taman belakang gedung sendirian. Ia menatap langit biru, menahan air mata.

“Kenapa harus dia yang selalu menyakitiku? Apa salahku sampai aku dianggap serendah itu?” gumamnya pelan.

Tiba-tiba suara familiar menyela.

“Karena dia bodoh, Jen.”

Rehan berdiri di sampingnya, membawa dua gelas minuman dingin. Ia duduk lalu menyerahkan salah satunya pada Jenia.

“Dia nggak tahu apa yang dia miliki di depan matanya. Kalau dia bisa bilang kamu nggak pantas, biar aku yang buktikan kalau kamu justru wanita paling pantas untuk dicintai.”

Jenia menoleh, matanya berkaca-kaca. Ada getaran hangat di dadanya saat melihat ketulusan Rehan.

Sementara itu, di ruang kerjanya, Bastian duduk gelisah. Ia teringat tatapan mata Jenia yang terluka saat ia berkata kasar.

“Kenapa aku harus bilang begitu? Kenapa aku nggak bisa jujur… bahwa aku justru takut kehilangan dia?” bisiknya pada diri sendiri.

Namun sebelum ia sempat menenangkan diri, pintu ruangannya diketuk. Vita masuk dengan wajah manis, membawa beberapa berkas.

“Bas, kamu tadi terlalu keras sama Jenia. Kamu nggak takut dia benar-benar pergi?” tanya Vita dengan nada menyindir, tapi matanya penuh kemenangan.

Bastian terdiam. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa… mungkin benar, ia sudah mendorong Jenia terlalu jauh.

Suasana kantor sore itu cukup lengang. Beberapa karyawan sudah mulai berkemas untuk pulang. Jenia masih duduk di mejanya, merapikan laporan yang baru saja selesai ia kerjakan.

Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk. Saat ia menoleh, Bastian sudah berdiri di sana dengan jas hitam rapi, wajah dinginnya seperti biasa.

“Boleh saya bicara sebentar?” suaranya terdengar datar, namun ada ketegangan yang ia sembunyikan.

Jenia mengangguk singkat lalu bangkit dari kursinya. Mereka berjalan keluar ruangan menuju lounge kantor yang sepi.

Bastian membuka map kecil, lalu meletakkan sebuah undangan berdesain elegan di hadapan Jenia.

“Aku… dan Vita, akan mengadakan pertunangan minggu depan. Aku harap kamu bisa datang.”

Jenia menatap undangan itu. Matanya bergerak membaca nama “Bastian & Vita” yang tercetak indah. Dadanya terasa sesak, namun wajahnya tetap tenang. Ia menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis.

“Selamat ya, Pak. Semoga acaranya berjalan lancar.”

Kata-kata itu keluar begitu tulus, seolah tak ada beban sama sekali.

Bastian tertegun. Ia menatap Jenia lama, mencari-cari sesuatu dalam raut wajahnya apakah ada luka, kesedihan, atau cemburu. Tapi tidak ada. Jenia benar-benar terlihat biasa saja, bahkan tulus.

“Terima kasih…” hanya itu yang bisa keluar dari bibirnya.

Namun saat mereka berpisah, hati Bastian justru bergemuruh. Ia menendang ego sendiri karena rencananya gagal.

“Aku kira dia akan bereaksi… aku kira dia akan menunjukkan kalau aku penting… tapi kenapa dia bisa setenang itu?” batinnya gelisah.

Malam itu di kamarnya, Jenia duduk sendirian. Ia menatap undangan yang masih tersisa di tangannya. Senyum hambar mengembang di wajahnya.

“Seharusnya aku bahagia, karena akhirnya aku bisa benar-benar berhenti berharap. Mulai besok, aku harus belajar menghapus semua rasa ini.”

Air matanya jatuh tanpa suara, membasahi kertas undangan itu.

Sementara itu, Bastian di rumahnya justru resah. Vita begitu bahagia memamerkan cincin pertunangan pada media sosial. Namun Bastian sama sekali tak merasa lega. Yang ada, justru hatinya dipenuhi rasa kehilangan aneh yang tak bisa ia jelaskan.

“Kenapa… kenapa aku ingin dia bereaksi? Kenapa aku berharap ada luka di matanya?” gumam Bastian, menatap kosong ke arah jendela.

Dan untuk pertama kalinya, ia sadar…

Dirinya sedang kalah dalam permainan yang ia buat sendiri.

1
[donel williams ]
Aku bisa tunggu thor, tapi tolong update secepatnya.
Fathi Raihan
Kece banget!
Celty Sturluson
Ga sabar buat kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!