Maya, anak sulung yang doyan dugem, nongkrong, dan bikin drama, nggak pernah nyangka hidupnya bakal “dipaksa” masuk dunia yang lebih tertib—katanya sih biar lebih bermanfaat.
Di tengah semua aturan baru dan rutinitas yang bikin pusing, Maya ketemu Azzam. Kalem, dan selalu bikin Maya kesal… tapi entah kenapa juga bikin penasaran.
Satu anak pembangkang, satu calon ustadz muda. Awalnya kayak clash TikTok hits vs playlist tilawah, tapi justru momen receh dan salah paham kocak bikin hari-hari Maya nggak pernah boring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayusekarrahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Suara Alin Tiba-tiba Muncul di Dunia Maya
Keesokan Harinya – Di Kediaman Keluarga Maya
Pagi itu, rumah besar keluarga Arman tampak tenang. Halaman depan luas dengan deretan mobil mewah yang terparkir rapi. Dari dalam rumah, terdengar suara sendok dan piring beradu sarapan sedang berlangsung.
Di meja makan, Alin, yang tengah kuliah semester dua itu, duduk sambil membuka laptopnya. Tangannya sibuk mengetik sambil sesekali menyeruput jus jeruk.
Sementara itu, Ibu Rani sedang mengatur lauk di meja. Wajahnya lembut, tapi ada sedikit lelah yang tak bisa disembunyikan.
“Lin, jangan sambil buka laptop. Makan dulu, nanti sakit perut,” ucap Ibu Rani dengan nada lembut.
Alin menutup laptop pelan. “Iya, mah bentar lagi. Ini cuma mau cek tugas dikit.”
Tak lama kemudian, Pak Arman turun dari lantai atas. Wibawanya langsung terasa,wajah tegas nan datar,jas sudah rapi, dasi sudah terikat. Begitu duduk, suasana meja makan berubah menjadi lebih
“Alin,” suara Arman terdengar berat, “bagaimana kuliahmu? Nilai jangan sampai turun. Kamu tahu sendiri, Kamu ini keturunan Arman Wicaksono alangkah malunya papah kalau kamu main-main dalam kuliah ini."
Alin tersenyum tipis,matanya menggerling sebal “Alhamdulillah, pah. Semua aman. Alin baru dapat kabar, minggu depan ada presentasi besar.”
Pak Arman mengangguk singkat, lalu mengambil koran di sampingnya. Beberapa detik kemudian, ia menghela napas. “Papah sudah dapat laporan dari pesantren. Maya masih saja bikin ulah. Pura-pura tidur, bikin ribut, seenaknya. Anak itu… memang keras kepala dari dulu.”
Ibu Rani menatap suaminya, sedikit ragu. “Pak, mungkin Maya hanya butuh waktu. Namanya juga masih remaja, sedang mencari jati diri. Lagipula dia kan tidak terbiasa hidup seperti itu."
Pak Arman menatap istrinya dengan sorot tajam. “Mah, kamu itu terlalu lembek. Kalau kita biarkan terus dia itu akan makin seenaknya, lihat aja sekarang dia makin sulit dikendalikan. Pesantren itu jalan terbaik. Papah tidak peduli kalau dia protes. Disiplin harus ditanamkan, mau dia suka atau tidak.”
Alin menunduk, mencoba menahan diri untuk tidak ikut berkomentar. Tapi akhirnya ia membuka suara. “Pak… kak Maya itu memang keras kepala, tapi sebenarnya dia nggak jahat. Dia cuma… nggak suka diatur terlalu ketat. Kadang kalau dipaksa terus, dia jadi makin melawan.”
Pak Arman menatap Alin dengan dingin. “Kamu mau membela dia?”
Alin buru-buru geleng. “Bukan begitu, Pak. Alin cuma… kasihan. Alin ngerti kak Maya itu capek juga. Mungkin kalau kita coba pendekatan lain, kakak bisa lebih terbuka.”
Suasana meja makan sempat hening. Ibu Rani mengelus tangan Alin pelan, seakan menyuruhnya berhenti bicara sebelum suasana makin panas.
Pak Arman menaruh korannya, menatap keduanya bergantian. “Dengar baik-baik. Papah tidak akan mengubah keputusan. Maya harus tetap di pesantren sampai dia bisa berubah. Kalau tidak, hidupnya akan hancur. Papah tidak mau keturunan seorang Arman Wicaksono di cap sebagai anak yang tak bermoral."
Ibu Rani menunduk, hanya bisa menghela napas panjang. Alin pun terdiam, menatap piringnya tanpa nafsu makan.
Dalam hati, Alin berbisik lirih, Kak Maya… semoga lo kuat di sana. gue tahu lo nggak suka dipaksa, tapi… gue juga nggak bisa berbuat banyak.
Sementara itu, jam dinding rumah besar itu berdentang, menandakan waktu hampir siang. Pak Arman bangkit, merapikan jasnya, lalu melangkah keluar dengan langkah mantap.
Di meja makan, Ibu Rani dan Alin masih terdiam. Suasana yang tadinya hangat, berubah dingin, sama dinginnya dengan keputusan yang telak sang ayah yang sulit dirubah.
.....
Setelah kejadian di ruang makan itu buk Rani terlihat meninggalkan rumah. Ia akan melihat perkembangan cabang butiknya di ibu kota. Alin sendiri kini sudah berada di kampus nya.
Ia baru saja keluar kelas, langkahnya cepat menuju taman kampus. Mencari bangku kosong, lalu duduk sembari menghela napas panjang. Ia teringat akan percakapan tadi pagi bersama orangtuanya.
Beberapa minggu tanpa sang kakak membuatnya kesepian akut.
Tiba-tiba, suara ceria terdengar dari belakang. Ia menepuk bahu Alin pelan " Eh Lin, gimana kabarmu? kita udah lama ya ga ketemu ,padahal kita satu kampus ."
Alin menoleh. Seorang wanita berambut sebahu dengan totebag besar melambaikan tangan. Itu Mika, sahabat Maya, yang kebetulan memang kuliah di kampus yang sama.
“Eh kak Mika?!” Alin berdiri, mereka berpelukan singkat.
"Gila, lama banget nggak ketemu. lo ngapain duduk sendirian di sini?,"Tanya Mika.
Alin tersenyum tipis. “Ya biasa deh kak, sedikit menenangkan diri dari tugas-tugas kuliah. Kita kan beda angkatan udah pasti jarang ketemu."
Mereka duduk bersebelahan, saling bercerita ringan, sampai tiba-tiba Mika mencondongkan tubuhnya.
“Eh, ngomong-ngomong… Maya gimana kabarnya? Kok udah lama banget nggak update? WA nggak ada, IG juga sepi. Jangan-jangan dia sengaja ghosting gue ya?”
Alin sempat kaku, lalu tertawa hambar. “Eh… itu, kak Maya sekarang lagi di pesantren.”
Mika melotot. “HAH?! Pesantren??! Astaga, gue kira waktu dia cerita itu cuma bercanda. Soalnya gaya ngomongnya Maya kan… ya gitu, kayak lagi bikin skrip FTV.”
Alin tersenyum kecut. “Iya, kak Alin juga awalnya ngira cuma bercanda. Tapi ternyata beneran dimasukin.”
Mika menepuk dahinya dramatis. “Ya Allah… itu anak bisa-bisanya di pesantren. Dia yang tiap hari ngomel aja udah kayak stand-up comedy. Gimana jadinya dia di sana?”
Alin mendesah, wajahnya murung. “Ah itu dia kak, Alin nggak tahu gimana kabarnya. Kak Maya nggak pegang HP."
Mika menatap serius. “Kenapa nggak coba telpon pihak pesantren aja? ya kan?, gue udah kangen banget sama dia."
Alin terlihat berbinar, “Oh iya juga ya,kenapa ga kepikiran sama sekali, tapii... yang punya nomor nya cuma Papah, dia sama sekali ga ngebolehin gue berhubungan sama kak Maya tanpa sepengetahuan dia", wajahnya kembali muram.
"Loh, kok gitu? emangnya kenapa," Mika terlihat keheranan.
Alin menghela napas panjang, "Ya gitu papah takut kalau Alin pengaruhi kak Maya buat kabur, padahal kan nggak."
"Eum kalau gitu coba lo telpon aja papah lo sekarang, biasanya orang kantoran di jam-jam segini itu lagi sibuk-sibuknya kan?,ya siapa tau aja kan dia keganggu jadi dengan ga sengaja dia bakalan kasih nomer nya," Mika menaikkan kedua alisnya.
Alin tampak berpikir sejenak, "Oke, Alin coba ya kak," Ucapnya sembari menekan panggilan ke nomor sang ayah.
Nada tunggu terdengar lama. Alin sampai menggigit bibir sambil sesekali melirik Mika, yang memberi kode anggukan, “ayo, lo bisa”.
Klik. Telepon tersambung.
“Hallo, Lin? Ada apa? Papah lagi meeting. Cepat, jangan buang waktu.” Suara Arman terdengar jelas dibalik benda pipih itu, dingin dan berwibawa.
Alin langsung panik, tangannya dingin. “E-eh iya, Pah… maaf ganggu. Alin cuma mau nanya, boleh nggak Alin… pinjem nomor pesantren? Bentar aja kok, Alin kangen sama Kak Maya.”
Di seberang sana, terdengar suara kursi bergeser dan orang-orang bicara pelan, jelas Papahnya masih di ruang rapat.
“Lin, sudah Papah bilang, jangan macam-macam. Fokus saja pada kuliahmu. Urusan Maya biar Papah yang tangani.”
Alin melirik Mika dengan wajah panik. Mika mengibas-ngibaskan tangan, memebari kode agar Alin terus membujuk.
“Pah, please banget… sekali ini aja. Kalau Alin nggak dengar suara Kak Maya, nanti kepikiran terus. Nanti Alin nggak konsen kuliah, terus nilai turun, Papah juga yang kecewa, kan?” suara Alin lirih tapi cepat, layaknya menembakkan peluru terakhir.
Sunyi. Hanya terdengar helaan napas berat Arman.
“Lin, kamu itu pinter banget cari alasan ya. Tau nggak kalau Papah lagi rapat penting?!”
Alin meringis. “Hehe… maaf, Pah. Tapi janji, cuma sebentar doang. Demi Alin nggak stres.”
Terdengar suara kertas dibalik, lalu akhirnya Arman menyerah.
“Baiklah. Tapi hanya sebentar. Papah kirimkan nomornya nanti lewat pesan. Jangan sampai macam-macam. Ingat, Maya harus tetap fokus di pesantren. Kalau sampai ada hal aneh terjadi, Papah cabut semua aksesmu.”
“SIAP, Pah! Makasih banyak! Papah the best pokoknya!” Alin sampai setengah teriak saking lega.
Klik. Telepon terputus.
Beberapa saat kemudian nomor pihak pesantren sudah dikirim.Alin buru-buru menekan nomor yang baru saja dikirim itu. Nada tunggu terdengar…
tut… tut…
“Assalamu’alaikum, disini dengan Pondok Pesantren Nurul Hikmah. Ada yang bisa di bantu?” suara seorang wanita di seberang terdengar ramah tapi tegas.
Alin kaget sedikit, langsung merapikan suara.
“Wa’alaikumussalam, mbak. Perkenalkan, saya Alin… adiknya Maya Arman Wicaksono. Boleh tidak saya bicara sebentar dengan kakak saya?”
Disebrang sana sempat hening sebentar. “Oh… Maya.” Nada suaranya agak berubah. “Sebentar ya, saya panggilkan dulu. Dia sedang ada di asrama.”
Terdengar suara langkah kaki menjauh. Alin menggenggam ponsel erat, jantungnya berdetak lebih cepat. Mika tersenyum dengan tak sabar.
Beberapa detik kemudian… suara ribut-ribut kecil kedengaran.
“Astagaaa… siapa yang cari gue sih? Lagi enak-enak rebahan juga.” suara khas Maya kedengaran dari jauh.
Lalu, klik sambungan berpindah.
“Halo? Ini siapa? Jangan-jangan sales pulsa lagi ya? Gue udah insyaf, sumpah.”
Alin langsung menangis tertawa. “Kak! Ini Alin!."
Maya terdiam sebentar, lalu berteriak dramatis, “ALIN???!!! Ya ampuuun gue pikir lo udah lupa sama gue! Gila… ini beneran suara manusia, bukan malaikat pencatat dosa, kan?!."
.
.
✨️ Bersambung ✨️